Perguruan Tinggi Perlu Libatkan Mahasiswa Disabilitas
Mahasiswa disabilitas sering kali masih dipandang sebagai penerima manfaat semata, bukan aktor yang mampu berkontribusi dalam pembuatan kebijakan.
Indonesia telah mengalami kemajuan dalam mengembangkan kebijakan terkait pendidikan inklusif. Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, contohnya, mengatur hak bagi orang disabilitas untuk menikmati pendidikan inklusif.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 48 Tahun 2023 yang mengamanatkan perguruan tinggi agar menyediakan akomodasi yang layak bagi mahasiswa disabilitas, termasuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Alhasil, setidaknya ada 93 perguruan tinggi Indonesia yang telah memiliki ULD.
Melalui program Beasiswa ADik (Afirmasi Pendidikan Tinggi) Disabilitas, pemerintah juga memperluas kesempatan bagi orang disabilitas untuk mengakses pendidikan tinggi tanpa terbebani kendala finansial.
Baca juga: Saya Ngobrol dengan Anak Buruh Migran tentang Luka ‘Ditinggal’ Orang Tua
Meski demikian, tantangan untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif masih ada. Mahasiswa disabilitas sering kali masih dipandang sebagai penerima manfaat semata, bukan aktor yang mampu berkontribusi dalam pengembangan kebijakan serta praktik inklusi di kampus.
Padahal, partisipasi mahasiswa disabilitas dalam kebijakan dan praktik inklusi disabilitas sangat penting. Mereka harus diberi kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan dan berperan aktif di dalamnya.
Mahasiswa disabilitas perlu dilibatkan dalam keputusan yang memengaruhi mereka, menjadi bagian integral dalam proses perancangan kebijakan yang bersifat inklusif melalui advokasi diri, aktivisme, dan penguatan diri.
Advokasi Diri Sejak Dini
Advokasi diri merupakan usaha mahasiswa disabilitas untuk menyuarakan pendapatnya dan memperjuangkan pemenuhan hak-haknya. Mahasiswa disabilitas dapat mengadvokasi dirinya dengan menceritakan pengalamannya yang kerap terabaikan, mengkomunikasikan kebutuhannya, serta meminta penyediaan akomodasi yang layak.
Bagi mahasiswa disabilitas, advokasi diri berperan penting bagi kesuksesan akademis mereka. Tanpa advokasi diri, mahasiswa disabilitas mungkin tidak akan mendapatkan akses dan layanan yang mereka butuhkan. Terlebih jika perguruan tinggi yang bersangkutan belum memiliki kebijakan inklusif.
Bentuk advokasi diri yang paling umum dilakukan oleh mahasiswa disabilitas adalah menemui dosen untuk memperkenalkan identitasnya sebagai disabilitas, mengkomunikasikan aksesibilitas dan akomodasi yang dibutuhkan, serta meminta penyediaannya. Selain itu, mahasiswa juga bisa berdiskusi dengan pihak kampus—seperti pengelola ULD atau tim pendamping akademis—untuk mencari solusi yang lebih adaptif dari permasalahan akademisnya.
Bersuara Lebih Lantang Lewat Aktivisme
Aktivisme mahasiswa disabilitas berkaitan dengan bentuk advokasi diri secara kolektif. Bentuk aktivisme yang lazim adalah keterlibatan mahasiswa penyandang disabilitas dalam organisasi kemahasiswaan. Sebagai contoh, mahasiswa disabilitas dapat bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)—sebagaimana dilakukan oleh Stella ketika aktif menjadi mahasiswa.
Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual I Wayan Agus: Siapa pun Bisa Jadi Pelaku Termasuk Orang Disabilitas
Mahasiswa juga bisa bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mendukung inklusivitas. Hafid, contohnya, memilih aktif di UKM Gempita Universitas Negeri Malang dan Ikatan Mahasiswa Netra (Imatra) Universitas Negeri Malang. Aktivisme ini memungkinkan mahasiswa disabilitas menemukan ekosistem pendukung, baik dari kalangan disabilitas ataupun kelompok serupa, untuk melakukan advokasi secara lebih lantang.
Melalui organisasi, mahasiswa disabilitas juga dapat terlibat dalam kampanye kesadaran disabilitas untuk meningkatkan pemahaman tentang disabilitas, baik di kalangan mahasiswa, staf, atau pengambil kebijakan.
Aktivisme juga dapat berbentuk penyelenggaraan forum diskusi untuk mendesak pengambil kebijakan kampus memperbaiki kebijakan serta layanan bagi disabilitas.
Penguatan Diri
Agar mahasiswa disabilitas dapat berpartisipasi aktif dalam kebijakan serta praktik inklusi disabilitas di kampus, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan diperkuat, baik dari sisi internal (individu disabilitas) dan sisi eksternal (lingkungan kampus).
Penguatan di sisi internal memungkinkan mahasiswa disabilitas memiliki modalitas yang memadai dalam advokasi diri dan aktivisme. Idealnya, penguatan tersebut sudah disiapkan sejak dini, sebelum orang disabilitas masuk ke perguruan tinggi. Sedangkan penguatan dari sisi eksternal akan memfasilitasi tindakan advokasi diri dan aktivisme agar berkelanjutan.
1. Penguatan Keterampilan Advokasi dan Kepemimpinan
Untuk melakukan advokasi diri maupun terlibat dalam aktivisme, mahasiswa disabilitas perlu menguasai keterampilan-keterampilan yang bersifat teknis. Keterampilan teknis yang diperlukan antara lain keterampilan komunikasi dan kepemimpinan.
Orang disabilitas perlu diberi kesempatan untuk melatih strategi komunikasi mereka, seperti cara bernegosiasi dengan dosen atau pengambil kebijakan di kampus, berbicara di depan umum, menulis surat, konten media, atau membuat kampanye yang konstruktif.
Baca juga: Krisis Air dan Sanitasi Buruk, Perempuan dan Kelompok Disabilitas Penting Dilibatkan
Sedangkan keterampilan kepemimpinan diperlukan mahasiswa disabilitas agar mereka dapat memahami dinamika kekuasaan dalam pembuatan kebijakan. Pelatihan kepemimpinan dapat mencakup kemampuan untuk membangun jejaring dan memimpin organisasi kemahasiswaan atau kegiatan-kegiatan yang mendukung inklusi disabilitas.
2. Penguatan Karakter Penyandang Disabilitas
Selain keterampilan teknis, mahasiswa disabilitas juga memerlukan penguatan karakter. Ini penting untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya bisa mengadvokasi, tetapi juga mampu mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dalam proses tersebut.
Karakter yang akan banyak mendukung dalam proses advokasi adalah penerimaan diri, keberanian, kepercayaan diri, dan ketangguhan. Namun, penguatan karakter membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga, pengasuhan yang sehat dan pengalaman positif disabilitas dalam relasi sosial di lingkungan heterogen membawa dampak dalam pembentukan karakter tersebut. Program pendampingan, mentoring, serta pelatihan pengembangan diri bagi mahasiswa disabilitas dapat memfasilitasi penguatan karakter ini.
3. Menciptakan ruang aman untuk bersuara
Penting untuk menciptakan ruang aman di kampus, baik secara fisik maupun sosial. Sebab, mahasiswa disabilitas memiliki posisi yang rentan, baik dalam relasi kuasa maupun sebagai bagian dari kelompok minoritas.
Karena itu, kampus harus bebas dari diskriminasi dan stigma, agar mahasiswa dapat mengemukakan pandangannya tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Mahasiswa disabilitas juga perlu mendapatkan validasi atas pengalaman subjektifnya, baik ketika mengomunikasikannya secara pribadi maupun lewat aksi-aksi kolektif. Kampus perlu mendorong budaya-budaya keterbukaan melalui forum diskusi dan bertukar pendapat, khususnya terkait pembuatan kebijakan.
4. Menjaring dukungan dan solidaritas
Dukungan serta jaringan solidaritas diperlukan agar mahasiswa penyandang disabilitas merasa diterima dan memiliki kekuatan untuk berpartisipasi.
Jaringan solidaritas dapat dibangun bersama-sama, melibatkan berbagai elemen kampus. Sebagai contoh keberadaan organisasi mahasiswa yang ramah disabilitas dapat menjadi sumber dukungan yang besar bagi mahasiswa disabilitas.
Kelompok atau pusat studi yang memfokuskan pada isu-isu disabilitas dan keadilan sosial juga dapat menjadi tempat yang ideal untuk membangun dukungan.
Di luar kampus, kerja sama antar ULD, kerjasama dengan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat mendukung jaringan advokasi yang lebih kuat.
Keterlibatan mahasiswa disabilitas sebagai aktor dalam kebijakan serta praktik inklusi disabilitas memerlukan dukungan dan dorongan. Keterlibatan ini tidak hanya akan memperkaya pengalaman akademis dan sosial mahasiswa disabilitas, tetapi juga memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi benar-benar memberikan kesempatan yang setara bagi semua pihak.
Artikel ini ditulis dan didiskusikan bersama dengan mahasiswa serta sivitas akademis dengan disabilitas sebagai bentuk produksi pengetahuan yang inklusif.
Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Hafid Rizki Barokah (mahasiswa program studi S1 Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang) dan Stella Rosita Anggraini (sarjana psikologi Universitas Darul Ulum Jombang) atas masukan dan kerja sama mereka yang berharga.
Unita Werdi Rahajeng, Dosen, Universitas Brawijaya; Pramesti Pradna Paramita, Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, dan Wiwin Hendriani, Dr. / Dosen Fakultas Psikologi UNAIR, Universitas Airlangga
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.