Environment Issues Politics & Society

Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’

Pembangunan Waduk Mbay Lambo telah membuat para Mama kehilangan mata pencarian. Lagi-lagi, perempuan jadi yang paling terdampak masalah lingkungan.

Avatar
  • September 18, 2024
  • 8 min read
  • 1102 Views
Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’

Hermina Mawa, akrab disapa Mama Mince, 50, sempat diam setelah bercerita tentang ladangnya yang hendak tenggelam. Warga Desa Rendubutowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur ini terdampak pembangunan Waduk Mbay Lambo yang jadi Proyek Strategis Nasional (PSN), gawean pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meskipun wacana pembangunannya sudah digaungkan sejak tahun 1999, proyek pembangunan ini baru resmi dilakukan pada 2021.

“Dulu mama ambil pisang di sana. Kalau sudah mulai tumbuh, mama biasanya bisa ambil dan jual ke pasar. Tapi sekarang sudah hilang,” ujar Mama Mince sembari menunjuk lokasi bekas ladangnya.

 

 

Ladang bukan cuma satu-satunya aset Mama Mince yang akan terendam. Seiring pembangunan ke depan, Waduk Mbay Lambo ini juga akan menelan rumah, sampai makam sang suami yang masih berada dalam satu kawasan tempat tinggalnya. Sampai saat ini, ia pun belum terpikir, ke mana akan memindahkan jasad mendiang sang suami.

“Makam suami saya pun akan terendam. Entah mau dipindah ke mana setelah ini,” tambahnya.

Perempuan Desa Rendu
Mama Mince menunjuk bekas kebun pisangnya (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Berdasarkan data BWS (Balai Wilayah Sungai), waduk ini memiliki volume tampungan hingga 51,74 juta kubik. Luas genangannya sendiri mencapai 499,55 hektare, dengan tinggi 48 meter.

Secara manfaat, Waduk Mbay Lambo dicanangkan dapat menjadi media ketahanan pangan dengan menyediakan air baku sampai 205 liter per detik. Selain itu, waduk ini juga diharapkan bisa mengendalikan banjir serta irigasi seluas 4.289 hektare.

penampakan Desa Rendu
Wilayah cakupan Waduk Mbay Lambo (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Sebagai salah satu PSN, waduk ini diklaim jadi yang terbesar di Nusa Tenggara Timur. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bendungan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) II BWS NT II, Ditjen SDA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Yohanes Pabi, mengatakan hal ini kepada Magdalene pada (22/8) lalu di Desa Rendubutowe. Dengan total biaya pembangunan sampai 1,4 triliun, Waduk Mbay Lambo diharapkan dapat menjadi suplesi bagi Bendung Sutami yang sebelumnya sudah ada di Mbay, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Namun, di balik klaim kemegahannya, Waduk Mbay Lambo justru banyak menghadirkan petaka bagi masyarakat di desa terdampak. Hal ini tentu juga berpengaruh pada kehidupan perempuan di Desa Rendubutowe. Bagi para mama, pembangunan waduk ini bukan hanya soal kehilangan lahan, mereka juga kehilangan sumber penghidupan sekarang, atau bahkan, di masa mendatang.

Baca juga: Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai

Berladang Adalah Hidup Kami

Sejak dulu, warga Desa Rendubutowe memang menggantungkan hidup dari ladang. Valentinus Dara, 60, salah satu tokoh adat desa, menyebut bahwa hampir semua keluarga di Desa Rendubutowe setidaknya memiliki 500 meter persegi tanah untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Mulai dari padi, jagung, sampai tanaman berumur panjang, dapat ditemui di ladang-ladang mereka.

“Rata-rata satu keluarga itu punya setengah hektar. Itu ditanami tanam-tanaman tumpang sari seperti padi, jagung, ubi, atau tanaman-tanaman umur panjang. Tapi 75 persen itu jagung,” jelas Papa Valen kepada Magdalene (20/8).

Hamparan bekas ladang masyarakat yang kini sudah hilang karena pembangunan Waduk Mbay Lambo (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Rosalina Vonga, 54, jadi salah satunya. Ia sendiri sudah menanam banyak tanaman di ladangnya. Belakangan, Mama yang akrab disebut Ros ini punya banyak tanaman ubi, yang jadi bahan pangan keluarganya sehari-hari. Penanaman ini juga ia tujukan agar para developer paham bahwa lahan yang akan ditenggelamkan ini adalah lahan hidup. Bukan lahan kosong tak bertuan.

“Jadi saya di belakang rumah itu, ubi penuh. Saya tanam ubi. Selain dijual itu juga saya sengaja supaya mereka (developer) lihat itu bukan tanah kosong,” jelas Mama Ros.

Bukan hanya untuk kebutuhan perut sehari-hari, hasil ladang ini juga jadi komoditas desa yang sering dijual ke kota. Berladang adalah sumber hidup warga desa. Baik dijual mentah, atau pun sudah diolah, hasil panen telah jadi bahan bakar pada mesin perekonomian mereka.

“Jadi hasil singkong itu, ada yang saya bikin keripik, ada juga yang saya drop ke kota dan juga kabupaten. Seminggu itu sampai dengan Rp500 ribu. Kita juga sering bawa jual ke sana (kota) itu hasil ladang lain seperti jambu, kemiri, sampai padi. Dari ladang itu jadinya kita bukan hanya pembeli saja,” tambah Mama Ros.

Baca juga: Upaya Sabana Sumba Demi Hak Masyarakat Adat: Perjuangan Kami Masih Panjang

Petani yang Dipaksa Jadi Nelayan Dadakan

Sejak periode sosialisasi, pembangunan Waduk Mbay Lambo, memang diinfokan akan banyak mengubah tatanan kehidupan masyarakat terdampak. Salah satunya adalah sumber mata pencarian dan juga profesi warga. Hal ini disampaikan Lukas Mere, Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Saat ditemui di kantor Bupati Nagekeo, Lukas mengatakan bahwa waduk ini bisa jadi sarana pemberdayaan masyarakat lewat eksplorasi profesi perairan (nelayan). Menurutnya, masyarakat patut bersyukur karena ini jadi salah satu gambaran bahwa pemerintah ingin mensejahterakan rakyatnya.

Sekda Kabupaten Nagekeo saat ditemui di kantor Bupati Nagekeo (Foto oleh Syifa Maulida/Madgalene)

“Lihat saja itu laut, orang setiap hari bisa dapat uang dari situ. Lewat air (waduk) ini kan kita mau memberdayakan masyarakat supaya mereka jadi nelayan-nelayan. Makanya kalau ditolak itu jadi lucu,” paparnya kepada Magdalene (22/8).

Lain dengan Lukas, warga setempat, khususnya Mama Ros, justru tidak sependapat. Menurut Mama Ros, perubahan profesi ini bukan satu hal yang mudah. Ini menyangkut kehidupan ke depan dan proses adaptasi yang bisa jadi semakin sulit.

“Bapak-bapak itu kan hidupnya sejak dulu dari bercocok tanam. Tiba-tiba, beralih ke profesi (nelayan), pasti susah sekali. Adaptasinya lama,” ujar Mama Ros.

Ketakutan terhadap proses peralihan profesi ini tentu bukan satu-satunya kesulitan yang perlu dihadapi oleh para mama. Pasalnya, semenjak ladang mereka satu per satu mulai dihilangkan, sudah banyak bapak yang menganggur tanpa pekerjaan di rumah. Hal ini membuat Mama Ros semakin khawatir dengan dampak kehancuran rumah tangga yang mungkin terjadi di depan. Tatanan keluarga yang sudah terbangun sebelumnya bisa jadi berantakan karena kini para bapak kehilangan sumber pendapatan.

Mama Ros saat memberikan keterangan (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

“Bayangan saya, dampak terburuk itu rumah tangga jadi rusak. Cekcok pasti terjadi terus menerus karena ekonomi rumah tangga tidak bisa terpenuhi. Karena, sebelumnya saja, meskipun laki-laki kerja banyak yang tetap tidak mencukupi, dan rumah tangga bisa ribut. Apalagi ke depan? Pasti rumah tangga lebih ribut dan hancur,”

Hilangnya ladang juga punya potensi besar menambah beban para Mama. Peralihan profesi para bapak yang tidak sebentar, tentu memaksa para mama untuk kerja dua kali lipat besarnya agar bisa mencukupi kebutuhan rumah. Hal ini juga berkaitan dengan beban pengasuhan yang kerap dilekatkan hanya pada perempuan. Urusan anak adalah urusan para mama. Hal ini terkait dengan belis dan tradisi adat yang selama ini berlaku.

“Kebun sudah tidak ada. Ujung-ujungnya mama-mama perlu berpikir lagi untuk memenuhi hidup. . Jadi semua perempuan yang bergerak, semua perempuan yang berpikir. Jadi kalau (waduk) ini sudah terjadi, itu perempuan jadi nanggung banyak hal. Apalagi kalau di rumah itu anak yang urus mama. Meskipun para bapak ikut urus sedikit, tapi kalau sudah bilang, ‘kamu sudah belis, kamu sudah begini, kamu urus anak lah, itu bahaya di situ,”

Selain punya potensi memperburuk situasi keluarga para mama, pembangunan waduk juga punya andil besar pada penurunan harga tenun, yang selama ini jadi komoditas termahal dalam perekonomian perempuan Desa Rendubutowe.

Menurut Mama Ros, dalam kondisi terhimpit, para mama bisa jadi akan menjual tenun dengan harga yang cukup murah. Demi mencukupi hidup, harga tenun yang biasanya terjual jutaan rupiah, bisa jadi turun harga hanya karena para mama butuh uang untuk makan esok hari.

“Kalau biasanya kita jual kain (tenun) itu bisa jutaan, besok, bisa jadi Rp300 ribu sudah kita lepas karena kita butuh uang. Mau tidak mau harus terjual,” tambah Mama Ros.

Mama Kristina menunjukan proses tenun (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Baca juga: Nasib Masyarakat Adat di Indonesia: Terabaikan, Termarginalisasi, Tak Dilindungi

Relokasi Saja Tidak Cukup

Setidaknya, tiga puluh rumah akan hilang sebagai dampak dari pembangunan Waduk Mbay Lambo. Sebanyak 111 keluarga perlu merelakan sumber penghidupannya dan juga angkat kaki dari rumah tinggalnya. Mengatasi hal ini, pihak pemerintah sendiri hanya menyediakan pembayaran tanah warga yang mereka sebut sebagai ‘ganti untung’. Harganya pun tak besar. Nilai tanah warga hanya dihargai Rp30.500 per meter persegi.

Merespons hal ini, Yeremias Lele, Kepala Desa Rendubutowe pun tidak tinggal diam. Bersama tetua adat lain, mereka menyusun program relokasi ke sebuah wilayah di dekat Waduk Mbay Lambo. Sebagai hasil inisiatif, kawasan relokasi ini pun muncul dengan ukuran 30 x 40 m persegi untuk tiap keluarga.

“Perencanaan relokasi itu tidak ada di masterplan pembangunan. Akhirnya, kami memutuskan untuk membangun kawasan relokasi secara mandiri di kawasan hijau waduk. Sejauh ini kami sudah bersurat ke Kabupaten. Hanya saja, belum ada jawaban,” jelas Yeremias.

Meskipun belum ada konfirmasi dari pihak Kabupaten, beberapa warga pun sudah banyak yang terlihat mulai membangun hunian barunya di kawasan relokasi. Di atas tanah berdimensi 120 meter persegi itu, warga mulai membangun bilik-bilik hunian, untuk tempat tinggal ke depan. Milik Papa Valen bahkan sudah rampung dan ditinggali saat Magdalene berkunjung (20/8).

Salah satu pembangunan rumah yang mulai dibangun di kawasan relokasi (Foto oleh Syifa Maulida/Magdelene)

Namun, bagi para mama, relokasi ini tentu bukan satu-satunya solusi yang dibutuhkan dari kesengsaraan mereka. Lahan yang sempit jadi salah satu masalahnya. Menurut Mama Ros, lahan berdimensi 100-an meter persegi ini tidak sebanding dengan hektaran ladang yang sebelumnya jadi tempat mereka mencari pendapatan. Ke depan, banyak jenis tanaman yang mungkin perlu ditanam dengan metode berbeda di lahan sempit ini.

“Buat hidup mandiri, mungkin besok-besok di sana (kawasan relokasi), kita hanya bisa tanam ubi di polybag saja,” ujar Mama Ros.

Untuk itu, ia pun berharap ada pendampingan penataan hidup ke depan dari pemerintah setempat. ‘Ganti untung’ dan relokasi tidak bisa jadi satu-satunya solusi. Warga perlu dibina dan didampingi agar senantiasa beradaptasi dan mandiri untuk hidup ke depan. 

“Kita butuh pelatihan-pelatihan itu. Misalnya, seperti pelatihan keterampilan itu. Kami kan dijanjikan perubahan profesi jadi melayan itu. Itu yang mungkin Mama maksud, berilah pelatihan tentang bagaimana cara beternak ikan itu. Pokoknya pelatihan keterampilan apa saja yang bisa memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga ke depan,” tambah Mama Ros.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *