Vokalis Band Sukatani Dipecat, Bukti Tubuh Perempuan Jadi Alat Pembungkaman
Meski kini dibolehkan mengajar kembali, kasus pemecatan Novi 'Sukatani' sebagai guru membawa pertanyaan penting: Kenapa perempuan kritis harus dibungkam?

Usai lagunya viral dan sempat ditarik dari peredaran, Band Sukatani kembali jadi sorotan. Kali ini, vokalis mereka, Novi Citra Indriyati, diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Mutiara Hati, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Mengutip Kompas, pemecatan ini terjadi sebelum Band Sukatani sempat memberikan klarifikasi terkait lagu Bayar Bayar Bayar. Pihak sekolah berdalih keputusan tersebut bukan karena kritik Novi terhadap kepolisian, melainkan karena dianggap melanggar syariat Islam.
Eti Endarwati, Kepala SD IT Mutiara Hati menjelaskan, pencopotan dilakukan lantaran Novi memperlihatkan auratnya saat tampil sebagai musisi.
“Kode etik sudah disosialisasikan sejak awal mendaftar, dan beliau sudah tahu konsekuensinya. Kami menemukan di media sosial bahwa ada bagian aurat yang terbuka,” ujar Eti kepada Kompas.
Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, meskipun Novi memiliki kinerja baik sebagai guru, pelanggaran tetap tidak bisa ditoleransi. Menurutnya, tenaga pendidik di sekolahnya tidak hanya harus kompeten, tetapi juga wajib mematuhi norma-norma yang berlaku di lingkungan sekolah.
Baca juga: Jadi ASN Tak Jamin Hidup Nyaman: Cerita Mereka yang Terdampak Efisiensi Anggaran
Pemecatan sekaligus pelarangan lagu Band Sukatani menuai polemik. Protes warga pun massif ditemukan di media sosial, ditandai dengan kemunculan tagar #KamiBersamaSukatani. Dalam perkembangan terbaru, Ombudsman RI sampai turun tangan menyelidiki polemik pemecatan Novi dengan dengan memeriksa sejumlah pihak sejak (24/2) kemarin.
Kepala Ombudsman RI Jawa Tengah Siti Farida mengungkapkan kepada media yang sama, pemeriksaan ini melibatkan Dinas Pendidikan Kabupaten Banjarnegara, SD IT Mutiara Hati, serta instansi terkait lainnya. Tak butuh waktu lama, hasil pemeriksaan memutuskan pemulihan haknya sebagai tenaga pendidik. Pada (24/2) pukul 17.11 WIB, status Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Novi pun diaktifkan kembali.
Tindakan Ombudsman menegaskan kasus pemecatan Novi bukan sekadar keputusan internal sekolah, tetapi juga menyangkut potensi malaadministrasi dalam sistem pendidikan. Masalahnya, apakah pemulihan ini cukup, atau justru bagian dari strategi meredam kontroversi?
Baca juga: #KamiBersamaSukatani dan Ketakutan Negara pada Karya Seni
Tubuh Perempuan Jadi Alat Pembungkaman
Tindakan sekolah tersebut menuai kecaman, termasuk dari Zahra Amin, Pemimpin Redaksi Mubadalah.id, media islam dan lembaga penyangga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Zahra bilang, selain menyalahi aturan soal kebebasan berekspresi, apa yang terjadi pada Novi juga jadi salah satu bentuk pembungkaman perempuan lewat tubuhnya. Karena itu, pemecatan Novi bukan tindakan yang bisa dibenarkan.
Ketika ditemui di Griya Gusdurian, Yogyakarta, (25/2), Zahra bilang, kritisisme Novi tidak seharusnya dihentikan atau dibatasi lewat pemecatan. “(Sekolah) menggunakan tubuh perempuan untuk membikin jelek (citra Novi). Padahal kan dia kritis nih, tapi dia dibungkam karena perempuan. Dibungkam suaranya dengan mengatur tubuh atau pakaian perempuan,” jelasnya.
Zahra melanjutkan, pembungkaman suara perempuan lewat tubuhnya berkaitan dengan stereotip soal aturan berperilaku. Perempuan yang dilekatkan dengan ranah privat pada akhirnya harus terdampak cuma karena ia lantang bersuara di ruang publik.
“Enggak boleh kritis, perempuan itu harusnya diam, nurut, patuh. Jadi, ketika dia bersikap kritis, alat pembungkamannya lagi-lagi tubuhnya. Perempuan itu seakan-akan sumber fitnah, aurat perempuan itu pendosa lah. Jadi, akan kembali pada adagium yang lama, bahwa perempuan itu enggak boleh tampil di publik,” imbuh Zahra.
Zahra khawatir pemecatan Novi justru berdampak buruk pada citra Band Sukatani. Di tengah masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif, bukan tidak mungkin opini publik berbalik arah—alih-alih mendukung, mereka justru melabeli band tersebut secara negatif.
“Ini bisa berbahaya, terutama di masyarakat kita yang masih mudah dipengaruhi. Awalnya ada simpati terhadap karya mereka, tapi ketika isu pemecatan karena pakaian ini mencuat, ada risiko pandangan publik berubah. Mayoritas masyarakat yang sangat religius bisa saja justru ikut memandang Band Sukatani secara negatif,” ujar Zahra.
Riset Barbara Grabowska dari Nicolaus Copernicus University, Polandia mengulas bagaimana ketubuhan perempuan memang berimplikasi secara politis. Dalam riset bertajuk “Perspective Chapter: The Female Body as Sites of Power” (2022) itu disebutkan, tubuh yang dilingkupi gagasan feminitas nyatanya dapat memunculkan pengucilan perempuan dari ruang publik. Dengan kata lain, tubuh perempuan memang digunakan oleh masyarakat sebagai alat penindasan sosial.
Baca juga: Prabowo, Ucapan ‘Ndasmu’, dan Feodalisme Politik Gaya Baru
Sekolah Seharusnya Berpihak pada Suara Kritis
Sebagai tempat melatih pola pikir, menurut Zahra pihak sekolah seharusnya ambil peran dan memberi dukungan pada Novi. Mengingat tujuan utama pendidikan adalah untuk menempa sikap kritis, sekolah tidak seharusnya membungkam Novi.
“Jadi kan, aku melihatnya dari dua sisi, dia sebagai guru yang kritis harusnya kan didukung kan? Pendidikan itu kan tujuannya adalah mendidik orang untuk bisa bersikap kritis ya. Tapi ketika ada orang kritis, dibungkam,” kata Zahra.
Senada dengan Zahra, Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahmi Hatib juga mengatakan, profesi guru seharusnya tidak membatasi hak atas kebebasan berekspresi. Selagi tugasnya sebagai guru dijalankan dengan baik, Novi semestinya mendapat haknya untuk berpendapat.
“Kalau benar pemecatan tersebut karena hak berekspresi dalam lagu ‘Bayar Bayar Bayar’, maka FSGI mengecam pemecatan tersebut dan menyerukan dukungan bagi pengembalian hak-hak Novi sebagai guru,” tuturnya kepada Tempo.
