Gender & Sexuality Issues

Permalukan Pemerkosa, Bukan Korban: Yang Kita Pelajari dari Kasus Gisèle Pélicot

Gisèle Pélicot diperkosa suami dan puluhan laki-laki saat tak sadarkan diri. Ia meminta keadilan dan mempermalukan pelaku lewat sidang terbuka di pengadilan.

Avatar
  • September 12, 2024
  • 7 min read
  • 1415 Views
Permalukan Pemerkosa, Bukan Korban: Yang Kita Pelajari dari Kasus Gisèle Pélicot

*Peringatan pemicu: Gambaran eksplisit kasus kekerasan seksual. 

Suatu hari di November 2020, Gisèle Pélicot, 72 mendadak dihubungi polisi. Ia diminta menghadiri wawancara usai suami, Dominique Pélicot tertangkap basah memotret bawah rok remaja perempuan di supermarket. Dilansir Vox, Gisèle awalnya percaya pemanggilan terkait kasus tersebut. Namun setelah satu jam ditanyai petugas kepolisian, dunianya runtuh. 

 

 

Pada komputer yang disita dari Dominique, para penyidik menemukan folder berjudul “Pelecehan/ Kekerasan (Abuses)” pada drive USB. Di dalamnya ada 20.000 foto dan video Gisèle tak sadarkan diri dan diperkosa oleh suami, berikut puluhan lelaki lain di kamar mereka dalam rentang sepuluh tahun. 

Dominique mencekoki makanan atau anggur istrinya dengan obat tidur dan obat anti-kecemasan dosis tinggi. Lalu ia diperkosa sambil direkam suami. Tak puas, ia mencari orang lain untuk memerkosa istrinya. Menurut laporan BBC, Dominique diduga menghubungi para pemerkosa melalui situs-situs chatting seks dan mengundang mereka ke rumahnya. 

Polisi mengeklaim, para pemerkosa diberi instruksi ketat Dominique. Mereka harus parkir agak jauh dari rumah agar tidak menarik perhatian. Lalu menunggu hingga satu jam agar obat tidur yang Dominique berikan kepada Gisèle dapat bekerja optimal.  

Begitu berada di rumah, para pemerkosa disuruh menanggalkan pakaian di dapur, menghangatkan tangan dengan air panas atau radiator. Tembakau dan parfum tidak diperbolehkan karena bisa membangunkan Gisèle. Kondom pun tidak diperbolehkan. 

Dari 2011 hingga 2020, polisi Prancis memastikan ada 92 aksi pemerkosaan. Sebanyak 72 aksi dilakukan oleh lelaki suruhan suami dan 50 lainnnya adalah marital rape alias pemerkosaan yang dilakukan oleh suami sendiri. Dari hasil ini, para pemerkosa didakwa dengan tuduhan pemerkosaan berat atau percobaan pemerkosaan, dengan sebagian besar dari mereka terancam hukuman 20 tahun penjara jika terbukti bersalah dalam sidang yang akan berlanjut hingga Desember nanti. 

Baca Juga:  Korban Makin Rentan, Dilema ‘Spill the Tea’ Kasus Kekerasan Seksual 

Marital Rape itu Nyata 

Rentetan kekerasan seksual Gisèle Pélicot bermula dari marital rape. Dalam pengakuannya kepada psikolog, Gisèle menolak ajakan berhubungan seks dengan orang lain di luar ikatan pernikahan mereka (swinging). Gisèle bersikukuh cuma ingin melakukan hubungan monogami dengan pasangan saja. Kesal karena ditolak, Dominique berakhir melakukan kekerasan pada istri. 

Masih mengutip dari artikel Vox, kasus Gisèle Pélicot membuat aktivis perempuan di Prancis marah besar. Selama ini perkosaan dalam perkawinan masih sering dibantah banyak pihak. Tidak sedikit yang berpendapat, hubungan seksual dalam pernikahan tidak mungkin masuk dalam pemerkosaan. 

Padahal untuk mengategorikan hubungan seksual masuk dalam pemerkosaan atau tidak, harus selalu didasari dengan persetujuan atau konsen dari korban. Dalam kasus Gisèle, ia jelas mengalami marital rape karena diperkosa tanpa persetujuan setelah sebelumnya dibius. 

Dikutip dari dokumen European Women’s Lobby, menurut Pasal 222-23 Hukum Pidana Prancis, hukum pemerkosaan didefinisikan sebagai “tindakan penetrasi seksual … yang dilakukan pada seseorang, dengan kekerasan, paksaan, ancaman, atau kejutan”. Marital rape sendiri masuk sebagai pemerkosaan yang diperberat di mana pelaku kejahatan adalah suami (atau mantan) atau pasangan korban. 

Namun dengan definisi itu, faktanya perempuan masih rentan jadi korban. Mengutip dari Statista Research Departement, kasus marital rape dari 2016 hingga 2018 cenderung mengalami peningkatan. Inilah mengapa para aktivis perempuan Prancis mendesak anggota parlemen untuk menambahkan istilah “persetujuan (konsen)” ke dalam definisi hukum pemerkosaan. 

“Meskipun masih ada banyak skeptisisme di Prancis daripada di AS tentang legitimasi kekerasan seksual dan pelecehan seksual, sikap-sikap ini berubah dengan cepat. Sebabnya, generasi perempuan yang lebih muda dan para feminis Prancis serta sekutu laki-laki mereka bersedia untuk menghadapi isu-isu ini secara langsung dan kasus Pelicot berkontribusi pada tren ini,” ujar Laura Frader, profesor sejarah di Northeastern University yang mempelajari isu gender di Eropa kepada Vox

Baca Juga:  Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya 

Rasa Malu Harus Berganti Sisi

Persidangan kekerasan seksual di Prancis umumnya dilakukan secara tertutup dengan langkah-langkah kuat untuk melindungi privasi korban. Hak korban kekerasan seksual dijaga ketat di bawah perundang-undangan negara ini. Namun menolak haknya sebagai korban, Gisèle sebaliknya malah memutuskan untuk membuka persidangan kasus kekerasan seksual yang ia alami. Ini berarti Gisèle memberikan kesempatan luas bagi masyarakat luas untuk mengikuti setiap proses sidang. Pun, jurnalis bebas masuk ke ruang persidangan dan menulis detail kasusnya. 

Tindakan Gisèle bisa dibilang sangat berani dan karena itulah ia banyak dapat pujian dari sesama perempuan. Tak sedikit pula yang menjulukinya pahlawan. Pujian ini tentunya tak berlebihan. Mengutip dari The Cut, Gisèle meminta persidangannya digelar terbuka karena “ketika ada perempuan lain yang bangun tanpa ingatan, mereka akan mengingat kesaksian Nona Pélicot,” katanya kepada pengadilan pada (5/9). Ia tidak ingin ada perempuan lain yang harus menderita karena dibius dan menjadi korban kekerasan seksual. 

Lebih dari itu, keinginannya untuk membuka persidangan, adalah caranya melawan. Lewat pengacaranya, Gisèle bilang sudah saatnya “rasa malu harus berganti sisi”. Bailey Reid, CEO program pencegahan kekerasan seksual The Spark Strategy menuturkan, tindakan Gisèle sangat penting dan memberikan nilai pada perempuan yang selalu disalahkan dan dipermalukan oleh masyarakat justru karena pengalaman kekerasan yang mereka alami. Kecenderungan sikap masyarakat ini biasa kita kenal dengan budaya victim blaming.   

“Itu bukan salah mereka dan mereka tidak seharusnya merasa malu. Ini sangat berbeda dengan victim blaming yang banyak kita lihat di media dan kiasan kekerasan seksual di televisi serta film,” katanya pada CBC News

Seperti kata Bailey, sudah bagai rahasia umum hingga saat ini media masih belum sepenuhnya berpihak pada korban. Dalam penelitian yang berjudul Framing Deadly Domestic Violence: Why the Media’s Spin Matters in Newspaper Coverage of Femicide (2013) victim blaming masuk dalam satu dari empat cara atau framing media pada umumnya memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Dengan cara ini, media berusaha meminimalisasi tindakan pelaku dan menjauhkan korban dari keadilan. Ini karena pembaca secara sengaja dijauhkan dari sebuah pemahaman krusial tentang identifikasi kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya, kekerasan yang dialami perempuan tidak dilihat sebagai tindak pidana yang perlu dipersoalkan lebih jauh. 

Victim blaming oleh media sempat disinggung oleh The Independent lewat video singkat mereka bersama para penyintas kekerasan seksual pada 2017. Imogen, penyintas mengatakan, media selalu terjebak dalam pola yang tak ubahnya terus memosisikan korban sebagai pihak yang harus disalahkan atas kekerasan yang terjadi pada mereka. 

Media punya seribu satu cara mencari celah “kesalahan” korban. Ini mulai dari pakaian apa yang dipakai korban saat kekerasan terjadi, waktu (malam atau siang) kejadian, hingga pilihan korban pergi seorang diri saat pemerkosaan terjadi. Sebaliknya kata Imogen media sangat jarang memberikan penekanan pada pelaku kekerasan. 

Baca Juga: Tips Cegah Kekerasan Verbal di Ruang Digital 

“Narasi mengapa pelaku melakukan kekerasan, mengapa mereka merasa memiliki hak atas tubuh korban sangat jarang ditekankan. Ini adalah masalah nyata di media,” jelasnya. 

Dalam konteks Indonesia, framing media dalam menyalahkan korban ini juga terlihat dari pemilihan foto dalam artikel. Dalam penelitian berjudul ‘Media Construction of Gender: Framing Analysis of Rape Cases in the Mass Media(2013) dinyatakan, dibanding menampilkan foto pelaku kekerasan, media di Indonesia justru menampilkan foto korban. Penggunaan visual image (foto korban) dimaknai media untuk memberikan gambaran kepada pembaca mengenai fakta atau kebenaran, padahal pada kenyataannya visual image ini hanya akan menimbulkan kekerasan berulang. 

Tidak hanya mengalami pemerkosaan kedua (second rape) karena pemberitaan yang tak punya keberpihakan, korban juga mengalami pemerkosaan ketiga (third rape) akibat stereotip yang berkembang di masyarakat melalui pemberitaan tersebut. Kekerasan berulang inilah yang lagi-lagi membuat kasus kekerasan seksual masih dipandang sebagai aib yang harus ditutup-tutupi dan korban selalu diposisikan sebagai pihak yang bersalah. 

Lewat sidang terbuka, Gisèle berusaha membalik budaya ini. Budaya yang telah mengakar kuat di tubuh media dan jadi mesin penangguk cuan. Malu tidak seharusnya dirasakan oleh korban, tapi pelaku. Jadi mulai sekarang arahkan semua amarah kepada pelaku. Permalukan mereka atas kekerasan yang mereka lakukan dengan kesadaran dan mulai berpihaklah pada korban. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *