Politics & Society

Pemisahan Gender pada Transportasi Umum, Perlukah?

Pemisahan gender pada transportasi umum adalah solusi awal dan bukan satu-satunya.

Avatar
  • December 22, 2017
  • 5 min read
  • 751 Views
Pemisahan Gender pada Transportasi Umum, Perlukah?

Hasil studi audit keamanan di tiga wilayah Jakarta yang dilakukan oleh Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) baru-baru ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan tidak merasa aman di ibukota, karena lebih rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di tempat umum, termasuk di transportasi publik.

Salah satu hal yang dianggap menjadi solusi pencegahan pelecehan dan kekerasan di transportasi umum adalah pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya, kebijakan ini tidak luput dari adanya pro dan kontra. Inilah yang dibahas pada diskusi yang bertema “Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi Atau Eksklusivitas?” yang diselenggarakan oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 14 Desember lalu.

 

 

Pada 2011, operator bus Transjakarta meluncurkan fasilitas ruang khusus perempuan. Sebelum menerapkan kebijakan itu, PT Transjakarta melakukan survei terhadap penumpang perempuan. Hasil survei menunjukkan, 90 persen responden menyetujui implementasi kebijakan tersebut.  Lima tahun kemudian, pada 21 April 2016, bertepatan dengan hari Kartini, perusahaan ini meluncurkan bus berwarna merah muda yang dikhususkan bagi penumpang perempuan.

Daud Joseph, Direktur Operasional Transjakarta, menekankan pentingnya penyediaan ruang khusus perempuan di transportasi publik.

“Ada penelitian bahwa pelecehan seksual sebagian besar terjadi pada jam-jam sibuk. Hal itu menandakan apa? Di saat berdesak-desakan itulah ada kesempatan (untuk melakukan pelecehan seksual),” katanya.

Daud menambahkan, pada awal 2017, jumlah bus bertambah menjadi 1.200, atau empat kali lipat dari jumlah bus satu setengah tahun yang lalu (300 bus).

“Kalau jumlah bus lebih banyak, berarti ada lebih banyak kesempatan bagi kita untuk lebih nyaman berada di dalam bus,” tuturnya.

Setahun sebelum Transjakarta meluncurkan fasilitas ruang khusus perempuan, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), operator kereta jalur pelaju (commuter line), pernah meluncurkan satu set kereta khusus perempuan. Namun, menurut Jerica Deasy, corporate communication PT KCI, kebijakan itu tidak bertahan lama.

“Kenapa satu train set itu kami hilangkan? Karena hal itu tidak efektif. Penumpang reguler, yang saya maksud reguler adalah penumpang laki-laki dan perempuan yang berada di gerbong campuran, menjadi tidak terangkut. Maka solusinya adalah kami memasang (gerbong khusus perempuan) di rangkaian paling depan dan paling belakang,” katanya.

Sementara itu, menurut Mega Tarigan, Kepala Divisi Railway Operation MRT Jakarta, instansinya belum memutuskan apakah akan menyediakan gerbong khusus perempuan.

“Kami masih dalam tahap perencanaan dan MRT (kereta cepat) akan beroperasi pada 2019. Saat ini, kami sedang dalam tahap menyelesaikan regulasi-regulasi. Salah satu yang kami rancang adalah buku panduan, yang salah satunya adalah mengenai kereta khusus perempuan,” katanya.

Pihak MRT Jakarta belum mengambil keputusan mengenai segregasi jender namun mereka telah melakukan riset mengenai penerapan kereta atau gerbong khusus perempuan di negara-negara lain, kata Mega. Beberapa negara yang menerapkan kereta khusus atau gerbong khusus perempuan adalah Jepang, Indonesia, India, Flipina, Hongkong, Korea Selatan, Mesir, Pakistan, Iran, dan Malaysia. Sebaliknya, Amerika Serikat, Singapura, dan negara-negara Eropa tidak mengimplementasikannya.

“Risikonya apabila nantinya MRT Jakarta memutuskan untuk tak menerapkan gerbong perempuan adalah, bahwa kebijakan kami akan diprotes dan dibanding-bandingkan dengan (kebijakan) yang sudah terimplementasi di Transjakarta dan commuter line,” ujarnya.

Solusi Sementara

Iriantoni Almuna, National Programme Officer for Safe City, Gender and HIV di UN Women Indonesia mengatakan, di berbagai negara kebijakan segregasi itu dianggap sebagai satu langkah awal adanya kesadaran bahwa akses perempuan ke transportasi publik memang sulit karena mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Dengan demikian, pemisahan dianggap sebagai solusi cepat namun bukan satu-satunya, ujarnya.

“Pengadaan gerbong khusus perempuan di kereta dan bus khusus perempuan di Transjakarta adalah langkah yang harus diapresiasi. Tapi menurut penelitian yang dilakukan di negara lain, hal itu saja tidak cukup. Bukannya tidak efektif, tapi itu tidak serta merta menurunkan jumlah kekerasan dan pelecehan,” ujarnya.

“Apakah semua perempuan menggunakan itu? Kan tidak karena jumlahnya terbatas. Dan jumlah penumpang perempuan juga banyak. Kalau gerbong atau bus khusus perempuan itu sudah penuh, pilihan mereka pasti ke gerbong campuran. Ketika pelecehan terjadi di gerbong yang bercampur, perempuan yang disalahkan. Kita harus hati-hati kalau menumpukan solusi hanya dengan pemisahan karena penyalahan ke perempuan kembali terjadi,” tuturnya.

Iriantoni mengatakan, pengadaan infrastruktur saja tidak cukup, tapi harus ada layanan, tindakan, dan tindak lanjut, serta respons yang memadai.

“Kekerasan terhadap perempuan terjadi bukan hanya karena infrastruktur yang kurang, tetapi karena adanya pendekatan hukum dan kebijakan yang tidak mengatur penanganan (korban pelecehan dan kekerasan). Korban juga tidak mau melaporkan karena takut disalahkan dan tidak tahu mekanisme pelaporannya. Selain itu, petugas tidak tahu bagaimana menanggapinya,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk lebih responsif dan menjadi active bystander dan tidak diam saja ketika melihat pelecehan atau kekerasan seksual terjadi.

Lebih lanjut Iriantoni menegaskan, pemisahan gender di transportasi publik adalah solusi tapi sifatnya sementara. Di dalam mencapai kesetaraan perempuan dan laki-laki, ada terminologi temporary special measure (tindakan khusus sementara), yang seolah-olah mengeksklusifkan perempuan, tapi tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi karena ada hal yang melatarbelakanginya.

“Bukan berarti laki-laki tidak dapat menjadi korban. Ada (laki-laki yang menjadi korban) tetapi persentasenya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan yang menjadi korban. Karena kondisi seperti itulah maka harus ada tindakan khusus untuk perempuan dan hal itu tidak dianggap sebagai diskriminasi. Hal itu dilakukan sementara saja sambil menunggu solusi jangka panjang yang benar-benar menuntaskan,” ujarnya.


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *