Pengeluaran 3 Juta Dicap Super Kaya: Logika Keblinger Negara yang Korbankan Warga
Lagi-lagi, data keluaran Badan Pusat Statistik (BPS) memicu perdebatan publik. Kali ini berawal dari kriteria penerima bantuan sosial (bansos) yang ditampilkan dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Melalui data yang bisa diakses di laman resmi Desa Kendalkemlagi, Lamongan, Jawa Timur, masyarakat dapat melihat klasifikasi ekonomi, mulai dari kategori miskin hingga super kaya.
Yang menimbulkan kehebohan, keluarga dengan pengeluaran per kapita lebih dari Rp3 juta digolongkan sebagai “super kaya”. Publik ramai-ramai mempertanyakan kategorisasi ini, karena angka Rp3 juta per kepala tidak mencerminkan kondisi “berlimpah”.
“Kurang sih enggak ya, tapi kalau super kaya juga kayaknya enggak tepat deh. Itu tuh cukup aja loh 3 juta per orang untuk sebulan,” kata Anita, warga Depok dengan satu anak.
Komentar warganet senada: Bagi banyak keluarga urban, Rp3 juta per bulan per orang sekadar cukup untuk bertahan, bukan menandakan status super kaya. Apalagi, di kota besar, biaya transportasi, kontrakan, hingga sekolah anak membuat pengeluaran membengkak.
Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Korupsi itu Patriarkal, Pancasila itu Emansipatoris
Standar Miskin yang Rancu dan Politik Angka
Kritik terhadap BPS bukanlah hal baru. Sejak Orde Baru, metodologi penghitungan garis kemiskinan relatif stagnan. Ia hanya melihat kebutuhan dasar pangan (beras setara 2.100 kalori per hari) dan kebutuhan non-pangan terbatas seperti perumahan, pendidikan dasar, serta pakaian. Padahal, struktur pengeluaran masyarakat Indonesia telah berubah drastis dalam 30–40 tahun terakhir.
Hari ini, biaya hidup tidak lagi sekadar beras dan pakaian. Internet, listrik stabil, transportasi, hingga pendidikan menengah jadi kebutuhan mendasar. Namun, semua itu belum sepenuhnya tercermin dalam penghitungan garis kemiskinan BPS.
Perbedaan mencolok juga terlihat bila membandingkan data BPS dengan Bank Dunia. Melansir CNBC Indonesia, Bank Dunia memperkirakan lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia—sekitar 171,8 juta jiwa—hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara, BPS mencatat per 2024 hanya 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa.
BPS berkilah perbedaan ini terjadi karena metodologi berbeda. Lembaga tersebut menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) untuk menghitung jumlah minimum rupiah yang diperlukan memenuhi kebutuhan dasar, lalu menentukan garis kemiskinan.
Namun, menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), pendekatan itu sudah tidak relevan. “BPS sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta item-item yang tidak banyak berubah. Ini tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi. Efeknya pengeluaran rata rata per bulan Rp3 juta sudah masuk kategori orang mampu. Padahal butuh bantuan juga,” tuturnya pada Magdalene.
Bhima menambahkan, dimensi politis membuat metodologi lama dipertahankan. “Iya pengaruh dari klaim keberhasilan pemerintah menurunkan jumlah orang miskin dan terkait kebijakan perlindungan sosial. Kalau metodologi nya akurat kan pemerintah sulit klaim orang miskin turun, dan alokasi anggaran perlinsos nya terlalu sedikit,” ujarnya.
Artinya, metode pengukuran yang tidak sesuai membuat angka resmi terlihat lebih “optimistis” dibanding kenyataan di lapangan.
Baca juga: Trauma dan Kemiskinan: Bayang-bayang Keluarga Korban Femisida
Dampak Nyata: Bantuan Salah Sasaran dan Kesejahteraan yang Terabaikan
Sebagai acuan kebijakan, data kemiskinan yang rancu punya dampak langsung. Bantuan sosial bisa salah sasaran, sementara kebijakan pengentasan kemiskinan kehilangan pijakan.
“Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja data nya kurang valid,” kata Bhima.
Selain itu, kondisi ini justru mempersulit pemerintah. Data BPS seharusnya jadi dasar kebijakan, namun karena dianggap tidak sesuai realita, pemerintah harus mengeluarkan anggaran tambahan untuk mengidentifikasi penerima manfaat secara manual, by name by address.
Fenomena ini terlihat nyata dalam praktik bansos. Misalnya, di beberapa daerah masih ada keluarga yang secara kasat mata miskin—rumah reyot, tidak punya akses air bersih—tetapi tidak masuk daftar penerima. Sebaliknya, warga dengan kondisi lebih baik justru menerima bantuan. Kesalahan klasifikasi ini menimbulkan ketidakadilan sosial yang meluas.
Baca juga: #KaburAjaDulu adalah Kemarahan yang Valid, tapi Bagaimana Jika Kita Tak Punya Privilese?
Bhima menekankan, pembenahan metodologi sudah mendesak. Belajar dari Malaysia, reformasi pengukuran kemiskinan perlu menyesuaikan perkembangan sosial ekonomi. Ia mengusulkan agar kesejahteraan diukur bukan dari total pengeluaran, melainkan dari disposable income—pendapatan bersih setelah dikurangi kewajiban pokok seperti pajak dan kebutuhan dasar.
Negara lain juga sudah melangkah lebih jauh. Filipina menambahkan indikator kualitas hunian, akses air bersih, dan partisipasi sekolah anak. Thailand memasukkan aspek kesehatan dan perlindungan sosial ke dalam ukuran kemiskinan multidimensi. Sementara, India menggunakan indeks multidimensional poverty yang mengukur akses listrik, kondisi sanitasi, nutrisi, dan pendidikan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















