Politics & Society

Penyangkalan Kasus Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Kampus

Nama baik kampus, dalam hal ini UGM, justru akan tercoreng apabila tidak ada sanksi serius terhadap pelaku dan perbaikan sistem untuk menciptakan ruang aman yang bebas kekerasan dan diskriminasi.

Avatar
  • November 9, 2018
  • 6 min read
  • 699 Views
Penyangkalan Kasus Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Kampus

Berita mengenai “Agni” yang diterbitkan oleh media kampus Universitas Gadjah Mada, Balairung Press, berjudul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” berhasil membuat publik tergugah. Kesadaran akan kekerasan seksual yang berlangsung di lingkungan kampus membuat orang terdorong melakukan sesuatu. Pelecehan seksual dan pemerkosaan di lingkungan kampus yang menjadi rahasia umum mulai diangkat dan dibicarakan. Selain itu, kritik terhadap media arus utama tentang pemberitaan seputar pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak berpihak pada korban juga bermunculan.

Kita sadar, kita semua harus berbenah. Kita adalah teman-teman mahasiswa, dosen, petugas administratif, hingga rektor. Saya tidak akan lagi membicarakan tentang bagaimana viktimisasi berganda selalu terjadi ketika korban mau melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. Adalah kita yang kali ini mengevaluasi pandangan dan sistem pelaporan yang selama ini membuat kasus-kasus kekerasan di lingkungan kampus tidak pernah diproses sampai selesai.

 

 

Teman-teman dan saya mendirikan kelompok pendukung Support Group and Resource Center on Sexuality Studies di Universitas Indonesia pada 2014 menyusulnya banyaknya cerita pengalaman pribadi teman-teman yang saat itu masih menjadi mahasiswa tentang kekerasan berbasis gender. Kawan saya, seorang gay yang kerap dikucilkan oleh teman satu jurusan, dipersalahkan atas orientasi seksualnya. Kawan saya yang lain mengalami masalah kekerasan dalam pacaran. Saya yang baru saja memutuskan untuk tidak menggunakan jilbab juga dijauhi teman-teman di kampus.

Ada banyak kasus yang muncul, mulai dari perisakan dan pengucilan terhadap teman-teman minoritas seksual, sampai pembungkaman korban pelecehan seksual oleh dosen serta viktimisasi berganda dari sesama teman mahasiswa ketika mereka tahu bahwa kita mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kami berkumpul dengan persamaan pengalaman pengucilan dan diskriminasi karena gender dan identitas kami. Kami sadar kami mau semua ini berubah dan kami harus mulai. Kami membaca dan menulis tentang keadilan dan analisis berbasis gender, membangun jaringan dengan lembaga penghapusan kekerasan berbasis gender yang sudah ada, dan menciptakan lingkungan yang adil gender dengan mendirikan kelompok pendukung.

Melalui kelompok pendukung ini kami merasa tidak sendirian, kami saling bertukar cerita dan pengalaman. Saya belajar mendengarkan apa yang dialami teman-teman mahasiswa gay yang kerap kali dilecehkan karena sikapnya yang feminin, mendengar kisah teman yang dipukul sampai babak belur oleh keluarganya ketika dia mengakui dirinya sebagai lesbian, memahami perasaan teman saya yang dilecehkan dosen tapi justru dia yang dianggap pelacur dan perempuan murahan oleh teman-teman sejurusan. Saya sendiri setelah melepas jilbab mendapatkan beberapa pesan dari teman sejurusan yang meminta saya berhubungan seks dengan dia. Kami di kelompok pendukung ini juga bertukar bahan bacaan, menerapkan pelajaran di kampus mengenai penulisan akademik dan berpikir ilmiah, dan mulai berani melawan pengucilan dan diskriminasi karena kami tahu kami tidak sendirian.

Selain itu kami belajar berjejaring. Kami beruntung dosen-dosen dari Kajian Gender dan Filsafat mengajarkan tentang feminisme dan berulang kali mengundang kami untuk pelatihan. Belum lagi organisasi-organisasi yang membimbing kami untuk belajar mendengarkan dan menjadi konselor sebaya. Melalui kelompok pendukung kami bertumbuh. Kami yakin bahwa jika kita mau menghentikan budaya patriarki dan menciptakan keadilan gender, kita harus melakukannya bersama-sama.

Kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus

Sebagai kelompok pendukung kami berusaha mendeteksi bagaimana ketidakadilan gender terjadi di lingkungan terdekat, khususnya kampus. Kami mempelajari pola-pola kekerasan seksual di kampus dan memiliki beberapa catatan tentangnya. Pertama, setiap terjadi kasus kekerasan seksual seperti pelecehan seksual oleh dosen, senior, atau teman seangkatan, biasanya cerita tentang kasus tersebut hanya menjadi kabar yang terbang terbawa angin dari mulut ke mulut.

Pelecehan terjadi bukan satu-dua kali dan korban hanya mau bercerita kepada orang yang dipercaya seperti teman dekatnya. Di sisi lain, teman terdekat yang dipercaya juga bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Orang lain yang mendengar cerita tersebut dan sayangnya tidak punya perspektif gender akan menyalahkan korban, dan korban dianggap berpartisipasi atas kekerasan yang terjadi kepadanya.

Misalnya pada kasus pelecehan oleh dosen, justru korban yang dikucilkan oleh teman-teman sementara pelaku masih tetap mengajar dan bertemu mahasiswi yang berpotensi menjadi korban selanjutnya. Akar masalah adalah pada pola pikir yang tidak berperspektif korban pada semua yang terlibat, pelaku memiliki kuasa, dan tidak ada sanksi sehingga pihak administratif kampus memilih untuk mengeluarkan korban, atau terkadang korban memilih untuk keluar sendiri karena trauma tidak mau bertemu pelaku dan ditambah sistem pelaporan yang tidak berpihak pada korban.

Kasus kekerasan seksual lain yang menimpa minoritas seksual misalnya diskriminasi. Ketika seorang mahasiswa sudah menyatakan dirinya transgender dan memilih untuk mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman, mahasiswa ini akan ditegur dengan alasan norma dan budaya, padahal dalam peraturan kampus biasanya tertuang bahwa kampus tidak boleh melakukan diskriminasi berdasarkan SARA (suku, agama, ras, antargolongan), seks dan gender. Selain itu, akhir-akhir ini kita menerima banyaknya deklarasi penolakan minoritas seksual di lingkungan kampus yang itu sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Minoritas seksual berhak untuk mendapatkan pendidikan dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses pembelajaran maupun di lingkungannya. Sayangnya, kampus sebagai lembaga yang berlandaskan kajian Ilmiah justru menolak minoritas seksual dengan alasan agama dan budaya, tanpa merujuk referensi ilmiah tentang pernyataannya.

Penyangkalan demi nama baik kampus

Kasus-kasus seperti pelecehan dan diskriminasi ini tidak ditindaklanjuti karena pertama, tidak ada tempat yang aman untuk bercerita dan melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual. Kedua, tidak ada mekanisme sistem pelaporan dan sanksi yag jelas apabila peraturan dilanggar, dan ketiga, tidak ada pendokumentasian kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi sekadar rahasia umum dan tabu untuk dibicarakan karena menyangkut nama baik kampus. Nama baik kampus dipertaruhkan apabila terjadi kasus kekerasan seksual; pihak kampus merasa tercoreng apabila dicitrakan gagal dalam melindungi mahasiswa padahal mereka bahkan tidak berusaha melindungi mereka.

Penyangkalan atas terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus justru melanggengkan kekerasan tersebut dan nama baik kampus justru lebih tercoreng apabila kampus justru tidak menindak pelaku dengan serius, serta tidak memperbaiki sistem untuk menciptakan ruang aman bebas kekerasan dan diskriminasi bagi seluruh warga. Penyangkalan ini dilakukan secara sistematis, tercermin dari bagaimana pihak-pihak terkait meminta korban untuk bungkam, dan meminta korban menyelesaikan kasus-kasus dengan asas kekeluargaan. Jika kampus ingin mencitrakan sebagai tepat yang aman dan bebas dari kekerasan seksual, penyangkalan demi nama baik sudah membuktikan kampus telah gagal segagal-gagalnya dalam melindungi korban.

Apa yang dilakukan UGM sebagaimana diberitakan BalairungPress dalam kasus “Agni” adalah perlakuan yang sama oleh hampir seluruh universitas di Indonesia. Kami tidak mendengar satu atau dua kasus bagaimana kampus menyangkal dan tidak memproses kekerasan seksual. Bahkan pihak kampus sendiri adalah pelaku kekerasan seksual tersebut ketika mereka melakukan diskriminasi terhadap minoritas seksual. Kasus ini harus menjadi evaluasi bagi seluruh kampus di Indonesia bahwa ada yang cacat dalam pola pikir mereka tentang kekerasan dan keadilan. Bahwa selayaknya ilmu pengetahuan yang berkembang karena dikritik, kita harus melakukan evaluasi supaya tidak terjebak dengan citra sendiri.

SGRC mendukung pendirian kelompok pendukung berbasis kampus dan bersedia untuk bekerja sama dalam penanganan kekerasan seksual, pendidikan hak seksual dan kesehatan reproduksi. Untuk selengkapnya silakan hubungi [email protected].

Baca bagaimana pelecehan dan pemerkosaan adalah soal kekuasaan.


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *