Permasalahan kesempatan kerja dan tingkat pengangguran adalah isu yang kerap dijadikan topik diskusi di tengah masyarakat. Apalagi dampak pengangguran dinilai ahli, cukup berbahaya karena bisa meningkatkan kemiskinan hingga kriminalitas.
Menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto angka pencari kerja naik sebanyak hampir 4 juta orang atau tiap tahunnya. Namun per Agustus 2023, data Badan Pusat Statistik menunjukkan ada 7,86 juta orang yang masih menganggur atau dua kali lipat penduduk DIY. Mayoritas didominasi Milenial dan Gen Z.
Bagaimana penjelasan ahli dalam menanggapi isu tingginya jumlah angka pengangguran di Indonesia?
Baca juga: Jakarta Masih Jadi Magnet ‘Job Seeker’, Perlukah Antisipasi Pengangguran?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, The Conversation Indonesia berbincang dengan Media Wahyudi Askar, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk menelisik lebih dalam soal isu pengangguran ini.
Media mengenang, saat baru saja lulus dari kampus, ia sampai harus mengirim CV-nya ke lebih dari dua puluh perusahaan. Namun, ia banyak menerima penolakan kendati IPK-nya relatif tinggi. Menurutnya, yang terjadi saat itu dengan hari ini tak jauh berbeda. Hanya saja sekarang mungkin lebih buruk akibat bonus demografi dan industri yang tak bertumbuh.
Lebih detail, Media mengurai faktor yang memicu pengangguran di Indonesia. Sebut saja pemulihan ekonomi pascapandemi yang masih berjalan, tergantikannya tenaga manusia oleh teknologi kecerdasan buatan (AI), investasi yang melambat karena situasi politik jelang Pemilu 2024 hingga skill mismatch yang membuat tenaga kerja tak terserap oleh perusahaan karena tak sesuai kebutuhan industri.
“Secara eksternal Covid-19 telah memukul banyak sektor swasta. Di Indonesia, pada 2024 banyak investor menahan ekspansi bisnis dan merekrut pekerja baru karena pertimbangan politik. Berikutnya ada peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi tapi tak diimbangi dengan pertumbuhan industri yang menyerap tenaga kerja, termasuk industri manufaktur yang tinggal 18 persen,” ungkapnya.
Baca Juga: Duh, Angka Pengangguran Muda Naik Gara-gara Pandemi
Terkait peningkatan sarjana menganggur yang didominasi Gen Z, Media pun angkat bicara. “Persoalannya pertama mungkin skill missmatch. Misalnya jurusan Sains di Indonesia tak terserap karena industrinya tak berkembang, sehingga banyak yang bekerja tak sesuai bidangnya. Yang kedua para sarjana yang tak bisa diserap oleh lapangan kerja, mereka ada yang memilih menganggur. Atau opsi lain menurunkan levelnya dengan bekerja untuk kualifikasi tamatan SMA,” ujarnya.
Rentetan penyebab di atas menjadi indikasi, pengangguran merupakan masalah struktural. “Kalau faktor struktural macam-macam. Dari usaha dapat kredit juga tak mudah. Belum lagi pelatihan kerja yang dicanangkan pemerintah juga banyak yang ngawur, meski ada yang baik juga. Di level nasional, kartu prakerja juga adalah program yang buruk berdasarkan data yang saya punya,” tukasnya.
Karena itulah, peran pemerintah dan lembaga pendidikan, menurut Media, sangat penting untuk memperbaiki masalah ini. Menurutnya, pemerintah bisa melakukan evaluasi program persiapan tenaga kerja yang sudah ada sekarang. Sehingga, kegiatan yang berjalan bisa sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Ia juga bilang, lembaga pendidikan seharusnya bisa menyiapkan kurikulum pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan mengajarkan materi pembelajaran yang bisa diterapkan dalam dunia kerja. Penyediaan pelatihan soft skill yang berhubungan dengan pekerjaan di tingkat universitas juga penting untuk membantu mengatasi masalah pengangguran.
“Masalahnya yang diajarkan di kampus banyak yang tak bisa digunakan di tempat kerja. Dosen-dosen tak adaptif terhadap teknologi digital. Kondisi ini diperburuk dengan problem-problem seperti etos kerja lulusan kampus yang berkurang, kemampuan berbahasa Inggris, dan manajerial serta leadership yang semuanya tak bisa didukung institusi pendidikan,” ungkapnya.
Karena ini semua adalah masalah struktural, lembaga pendidikan, pemerintah, dan anak muda perlu berbenah. “Pendidikan harus lebih banyak mendorong pemikiran kritis. Lalu membuka diri untuk bekerja sama dengan industri. Masalahnya ini memang tak mudah, apalagi pendanaan kampus saja membuat para dosen digaji sekadarnya. Saya kira susah mengharapkan kualitas sarjana bagus kalau dosennya saja tak sejahtera,” tuturnya.
Dari sisi pemerintah harus ada evaluasi program-programnya, termasuk Kartu Prakerja yang tadi disinggung Media. Sementara dari sisi anak muda, mereka membutuhkan role model dan mempelajari arah ekonomi digital ke depan. “Di luar banyak program pemerintah, anak muda butuh role model agar mereka berjuang atau mendobrak kondisi hari ini,” ujarnya.
Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Muammar Syarif, Podcast Producer, The Conversation.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.