Perempuan dalam Lingkaran Korupsi
Diskursus hubungan perempuan dengan korupsi hanya seputar perempuan sebagai penyebab atau penangkal korupsi.
Korupsi tidak pernah memandang jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan semua bisa menjadi pelaku korupsi, menjadi korban korupsi, atau bergerak sebagai aktivis antikorupsi. Tapi cukup sering kita mendengar bahwa perempuan dan perannya sebagai seorang ibu adalah orang pertama yang harus mengajarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak dan keluarga.
Dalam perbincangan lainnya, kita akan mendengar bagaimana perempuan sering dituduh menjadi alasan mengapa laki-laki melakukan korupsi. Para istri yang banyak meminta membuat sang suami harus melakukan korupsi. Belum lagi laki-laki yang beralasan melakukan korupsi supaya bisa membahagiakan selingkuhannya.
Pada intinya, diskursus hubungan perempuan dengan korupsi hanya berada di antara perempuan sebagai penangkal, atau sebagai penyebab. Lalu bagaimana dengan perempuan sebagai korban dari praktik korupsi? Melihat kondisi sosial saat ini, apakah bisa dikatakan bahwa secara tidak langsung perempuan masih tetap menjadi pihak yang paling berdampak dari tindak pidana korupsi?
‘Perempuan kok korupsi!’
Tidak jarang komentar seperti di atas muncul saat media memberitakan seorang perempuan ditangkap sebagai pelaku korupsi. Selama ini perempuan selalu ditempatkan menjadi pribadi yang mulia dan tanpa cela, sehingga saat ia melakukan sebuah kesalahan dunia akan menganggap itu tidak wajar. Media lalu akan melebarkan beritanya hingga ke latar belakang perempuan tersebut, gaya hidup, berapa pengeluarannya sebulan untuk perawatan kecantikan, dan lain-lain.
Pemberitaan berlebihan membuat ia terkucil dari lingkungan dan mustahil bisa mendapatkan kesempatan untuk dapat diterima kembali oleh masyarakat. Respons seperti ini jarang kita dapati jika laki-laki yang melakukan korupsi. Seakan-akan korupsi sudah biasa dan menjadi bisa diterima jika pelakunya adalah laki-laki. Hukuman yang didapatkan mungkin sama jumlahnya, namun sanksi sosial yang diberikan rasanya dirasakan lebih dalam oleh perempuan.
Selain itu, perempuan dijadikan objek gratifikasi, meskipun kajian lebih mendalam memang diperlukan dalam hal ini. Dengan harapan memperlancar urusan bisnis, sering kali laki-laki menjanjikan perempuan sebagai objek “hiburan” atau “hadiah”. Tidak berhenti di situ, perempuan juga menjadi sasaran empuk untuk para pelaku korupsi menitipkan harta-harta hasil pencucian uang. Biasanya pelaku akan menitipkan atau memberikan harta mereka kepada orang terdekatnya, padahal tidak banyak yang mengetahui bahwa menyimpan atau menerima harta hasil pencucian uang juga bisa dikategorikan tindak pidana.
Melihat hal tersebut, menjadi tidak mustahil jika perempuan-perempuan yang tidak memiliki pengetahuan akan hal tersebut dapat tertimpa kesalahan yang tidak pernah ia perbuat hanya karena hubungannya dengan pelaku.
Kesenjangan Pengetahuan
Budaya patriarki yang masih mengakar hingga saat ini membawa salah satu dampak buruk bagi perempuan, yaitu kesenjangan pendidikan. Perempuan sering dianggap tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi atau memperoleh pendidikan seperti yang didapat laki-laki. Meskipun sudah jarang ditemui di kota besar, praktik ini masih dapat kita temui di desa-desa atau di daerah terpencil.
Akibat dijauhkan dari ilmu pengetahuan, perempuan termarginalkah dari isu-isu sosial yang berkembang. Mereka menjadi awam dengan masalah yang ada di sekelilingnya dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para pelaku tindak pidana. Dalam aspek korupsi, jangankan berharap perempuan berani melapor apabila mendapati tindak korupsi di kehidupan sehari-hari, sekedar mengetahui bahwa yang mereka lihat atau hadapi merupakan tindak pidana korupsi saja mungkin tidak.
Kesenjangan pengetahuan ini dirasakan pula dalam hal akses kepada keadilan atau hukum. Berdasarkan beberapa pengalaman, perempuan sering kali menghadapi berbagai pungutan liar saat sedang mengurus pendaftaran sekolah, akte kelahiran, berobat atau mendapat akses kesehatan, membuka lapak jualan di pasar, dan lainnya. Hal ini lama kelamaan dianggap sebagai suatu kewajaran dan mau tidak mau harus dihadapi oleh perempuan. Karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk melawan atau melaporkan situasi di atas mengakibatkan perempuan dirugikan secara material maupun non-material.
Dalam setiap permasalahan sosial, selain diperlukan edukasi kepada masyarakat, harus pula dibentuk dan dilaksanakan sebuah gerakan atau aksi kolektif guna menyadarkan pemerintah dan mendesak mereka untuk mengeluarkan sebuah kebijakan. Aksi kolektif mutlak dibutuhkan untuk mengadvokasi permasalahan sosial agar dapat dijadikan prioritas oleh pemerintah termasuk dalam hal ini isu korupsi.
Beberapa gerakan kolektif seperti PIA (Perempuan Indonesia Antikorupsi) atau SPAK (Saya Perempuan Antikorupsi) sudah mengawali inisiatif membangun kesadaran para perempuan dan memberikan mereka pengetahuan akan perilaku koruptif dan nilai-nilai anti korupsi. Gerakan seperti ini membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk memastikan luasnya jangkauan program dapat sampai ke unsur masyarakat yang paling membutuhkan, serta keberlanjutan program dapat terjaga.
Isu korupsi, terutama dampaknya membutuhkan tidak hanya pandangan dari segi hukum, namun juga pendekatan-pendekatan sosial agar masyarakat khususnya perempuan dapat tersadarkan bahwa isu korupsi amat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Masyarakat khususnya perempuan harus mengetahui bahwa korupsi dapat dicegah dengan bantuan dan peran serta masyarakat, meskipun dalam rangka mencapai hal tersebut perempuan harus lebih dulu bisa mendapatkan akses kepada pendidikan seperti yang didapat laki-laki.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa