Election 2024 Environment Issues Opini

Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Tiga cawapres kita sama sekali tak paham, ekonomi ekstraktif yang digaungkan pemerintah akan membuat perempuan punah.

Avatar
  • January 31, 2024
  • 5 min read
  • 2390 Views
Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Saya catat setidaknya ada enam kali kata perempuan diucapkan selama debat calon wakil presiden dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, (21/1) kemarin. Hal tersebut tentu saja lebih sedikit daripada kata nikel, hilirisasi, deforestasi, atau tambang.

Dari sini, saya mulai yakin ketiga laki-laki yang berdebat untuk menjadi pemimpin negara ini sepertinya akan mengulang tragedi sebelumnya, yakni pemisahan kolonial antara manusia dan alam: Kita menyebutnya Antroposen.

 

 

Antroposentrisme ini tergambar lebih jelas ketika ekonomi ekstraktif masih menjadi pemeran utama dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi. Sementara, cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud MD juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama.

Baca juga: Mengenal “Tobat Ekologi”, Istilah yang Dilempar Cak Imin Saat Debat Cawapres

Mereka sama sekali tidak sadar, ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria; merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir; merusak hutan dan lahan gambut; mencemari lingkungan; membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara; sekaligus memperparah krisis iklim.

Satu saja jenis mineral tambang, nikel misalnya. Data Greenpeace mencatat nikel di Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan. Per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektar, sebagian besar berada di timur Indonesia yang kaya biodiversitas. Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20 persen dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 hektar atau 8 persen dari deforestasi Kepulauan Maluku.

Tentu saja dampak tersebut tidak berdiri tunggal, bagi perempuan segala penderitaan yang ditanggung alam akan jadi penderitaan bagi perempuan juga. Setelah ada perusahaan tambang nikel, PT Manusela Prima Mining (MPM), para perempuan Dusun Taman Jaya, Desa Piru, Seram, Maluku, tak bisa memetik daun kayu putih di hutan, maupun mengumpulkan bia (kerang) karena sungai tercemar dan hutan mangrove rusak, tulis Mongabay.

Cerita sama dirasakan perempuan di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Liputan Project Multatuli menulis, tambang nikel telah merampas lahan perkebunan, tetapi turut mencemari sumber air, mengusir habitat flora dan satwa, mengupas bentang alam, dan mengusir warga dari tanah kelahiran mereka.

Dalam kasus di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, limbah pertambangan nikel yang berakhir di pesisir atau laut menyebabkan kerusakan terumbu karang yang terus meluas. Nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan setelah adanya proyek tambang nikel di tempat mereka yang menyebabkan penurunan pendapatan harian mereka hingga lebih dari 50 persen, tulis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Hal ini menyebabkan beban perempuan nelayan menjadi lebih berat karena harus bekerja lebih lama supaya perekonomian keluarga dapat terus berjalan. Lebih jauh lagi, pencemaran air, tanah dan udara yang diakibatkan adanya industri nikel akan berdampak pada gangguan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perempuan. Pencemaran air dapat mengakibatkan gangguan reproduksi perempuan, termasuk munculnya kanker serviks dan kelainan pada janin.

Baca Juga: Pilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?

Perempuan Bisa Punah

Membayangkan eksploitasi nikel yang ugal-ugalan dilanjutkan dengan hilirisasi adalah membayangkan kepunahan di depan mata bagi perempuan di wilayah timur Indonesia. Dalam situasi bumi yang mendidih hari ini, berjalan seperti biasa bukan lagi pilihan. Indonesia sudah harus segera beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau yang bebas dari solusi-solusi palsu. Riset Greenpeace dan CELIOS menemukan, peralihan ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau akan menambah Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional.

Semestinya calon pemimpin bangsa harus tahu, beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau yang bebas dari solusi-solusi palsu merupakan satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan hidup lebih banyak perempuan dan generasi penerus Indonesia. Ini bukan soal menyelamatkan memori tentang pohon-pohon dan tanaman buah berjejeran di sepanjang jalan. Tidak ada kebisingan. Air sungai dan pesisir bersih dan indah. Ini soal hidup dan mati dan memastikan keberlanjutan generasi.

Isabelle Stengers, yang menyebut biogeologi planet ini sebagai Gaia. Dalam bukunya In Catastrophic Times (2015), dia menyatakan Gaia melakukan serangan balik terhadap penghinaan lingkungan. Dunia yang ia gambarkan adalah dunia di mana kita tidak bisa lagi bersikap pasif terhadap lanskapnya. Cepat atau lambat, kita akan mendapatkan ganjaran tentang apa yang kita lakukan dengan alam. Sayangnya, kita tidak berada dalam posisi yang sama. Ada yang menikmati keuntungan dan sebagian besar lain hanya menuai bencana.

Baca Juga: Berita Krisis Iklim Perlu Hindari Unsur Kiamat

Terlepas dari keputusan untuk memakai atau tidak memakai hak pilih di Pemilu 2024 ini, saya ingin mengajak para perempuan Indonesia untuk menimbang dengan rasional dan hati-hati. Mengulang Haryatmoko dalam artikelnya di Kompas (2023), sebagai warga negara yang kompeten, kita harus waspada terhadap filter bubble (hanya terpapar pada konten yang sesuai dengan preferensi dan keyakinan diri) dan rajin verifikasi informasi. Sebab, jika kita salah memilih, masa depan Bumi dan generasi hari ini dan yang akan datang akan terancam.

Sekar Banjaran Aji Surowijoyo adalah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pil-Net) Indonesia. Sekar menyukai pembahasan terkait litigasi iklim dan feminist political ecology.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Sekar Banjaran Aji Surowijoyo