Politics & Society

Perempuan, Kelompok Rentan Hadapi Diskriminasi dalam Akses Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Akses universal dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi masih merupakan masalah sensitif di Indonesia, dengan alasan nilai-nilai moral, agama, dan budaya.

Avatar
  • September 22, 2017
  • 8 min read
  • 838 Views
Perempuan, Kelompok Rentan Hadapi Diskriminasi dalam Akses Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan pada 1994 adalah sebuah tonggak bersejarah bagi negara-negara peserta. Di sana, berbagai negara, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk mewujudkan empat hal utama, salah satunya adalah menyediakan akses universal dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi.  

Dua puluh tiga tahun berlalu setelah konferensi itu, namun akses universal dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi masih merupakan masalah sensitif di Indonesia, dengan alasan nilai-nilai moral, agama, dan budaya. Padahal ketiadaan atau minimnya akses serta layanan kesehatan seksual dan reproduksi ini berdampak luas, terutama di kalangan kelompok rentan.  Isu inilah yang menjadi topik pembahasan dalam panel ‘Kesehatan Seksual dan Reproduksi’ dalam event Feminist Fest yang diadakan pada Hari Minggu, 27 Agustus 2017, di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat.

 

 

“Sebanyak 1,7 juta perempuan muda berusia di bawah 24 tahun pernah melahirkan dan 500.000 di antaranya adalah remaja berusia di bawah 18 tahun. Remaja yang membesarkan anak mendapatkan tantangan yang besar. Kesempatan untuk bekerja, mengembangkan usaha, meneruskan sekolah juga tertunda,” kata Margaretha Sitanggang, National Programme Officer United Nations Population Fund (UNFPA) untuk isu isu kesehatan seksual dan reproduksi remaja.

Novie Yuanita, Koordinator Centra Mitra Muda (CMM) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jakarta, menuturkan bahwa anak muda mendapatkan hambatan untuk mengakses layanan  kesehatan seksual dan reproduksi. Ia menyebutkan pertanyaan yang seringkali diajukan oleh tenaga kesehatan kepada remaja yang berusaha mendapatkan akses itu: “Kamu kenapa kok masih di bawah umur 18 tahun sudah mengakses kontrasepsi? Kamu pasti aktif secara seksual atau PSK (pekerja seks komersial),” katanya menirukan.

CMM sendiri memberikan layanan konseling agar remaja dapat memperoleh akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi.

“Anak muda kalau mau curhat biasanya lebih nyaman dengan teman sebayanya. Kalau membutuhkan tindakan medis, kami bermitra dengan orang dewasa yang ahli dalam mengatasi masalah ini. Kami akan merujuknya ke layanan kesehatan yang dibutuhkan,” tutur Novie.

Selain itu, ia menambahkan bahwa di setiap puskesmas di Jakarta telah ada program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Meskipun demikian, Novie mengakui bahwa pihak PKPR masih enggan untuk memberikan kontrasepsi kepada remaja. Untuk itu, biasanya lembaganya mengambil jalan tengah.

“Jika memang tak bisa memberikan alat kontrasepsi, kami meminta mereka mengirim pasien ke klinik PKBI. Setidaknya, puskesmas ‘menangkap dulu’ orang orang yang mau mengakses [kontrasepsi],” ujarnya.
 
Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi: Dua Hal yang Berbeda

Banyak orang berpikir bahwa kesehatan seksuai itu bagian dari kesehatan reproduksi namun sebenarnya, kesehatan seksual meliputi cakupan yang lebih luas dari pada kesehatan reproduksi. Dari segi terminologi, ‘reproduksi’ berarti soal bagaimana mempunyai keturunan dan proses-proses yang menyertainya.

“Dalam kesehatan seksual, ada derajat sehat dan sejahtera yang setinggi-tingginya yang berkaitan dengan kondisi fisik, mental, sosial yang berkaitan dengan seks dan seksualitas,” kata Asti Widihastuti, seorang dokter yang berpengalaman dalam mengembangkan program program kesehatan masyarakat dalam isu kesehatan seksual dan reproduksi.

“Dan ini enggak hanya terkait kepentingan reproduksi saja, karena manusia adalah makhluk seksual dan lingkup seksualitas itu sendiri sebenarnya melampaui usia atau kepentingan reproduksi. Jadi apabila berbicara mengenai kesehatan seksual, maka kita bicara seluruh lingkup umur manusia dari lahir sampai mati.”

Asti mengakui bahwa membicarakan kesehatan reproduksi saja sudah banyak tantangannya, jadi sangat wajar apabila isu kesehatan seksual yang memiliki lebih banyak kendala. Selain itu, ia mengatakan bahwa hal di luar kesehatan reproduksi cenderung dianggap sebagai hal yang tidak penting untuk dipikirkan, karena di masyarakat maupun kalangan pengambil kebijakan, berkembang pola pikir yang hanya memfokuskan  pada kesehatan reproduksi.

“Secara normatif, kita lebih menghargai proses reproduksi karena hal itu adalah cara bertahan hidup (dengan memiliki anak). Meskipun dianggap penting, sayangnya, hal itu dianggap tak penting untuk dibicarakan, diurus dan disediakan layanan maupun informasinya. Apalagi ditambah adanya budaya yang memandang seksualitas sebagai hal yang tabu,” jelas Asti.

“Itulah mengapa, meskipun keduanya penting, prioritas selalu diutamakan pada kesehatan reproduksi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) sebelum 2012 hanya memasukkan responden perempuan menikah. Jadi, yang menikah dan bereproduksi-lah yang dianggap penting. Di luar itu, dianggap tak terlalu prioritas, termasuk remaja.”

Program Remaja Yang Terjangkau

Minimnya tenaga medis yang bersedia memberikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi dengan harga layanan yang terjangkau menjadi salah satu masalah bagi remaja yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah. 

Untungnya, lembaga seperti PKBI Jakarta memiliki klinik dengan tarif yang terjangkau, yakni Procare Clinic. Klinik ini diatur agar memberikan pelayanan yang ramah kepada remaja.

“Ketika ada remaja yang tidak punya uang, kami menyarankan mereka agar datang dulu ke CMM atau Procare Clinic. Counselor CMM akan berkoordinasi dengan pihak  klinik. Kami ceritakan kondisinya, bahwa ada remaja yang mau mengakses layanan tetapi nggak punya uang. Di procare, kami memiliki sistem ‘biaya sukarela’. Jadi kami tetap mengajarkan kepada para remaja untuk membayar karena kami mau menanamkan bahwa kesehatan itu mahal,” jelas Novie Yuanita.

Lembaga lainnya seperti UNFPA juga berusaha menjembatani kurangnya layanan kesehatan yang ramah remaja dengan menyediakan layanan gratis, yakni UNALA, klinik swasta yang diisi oleh dokter yang praktek mandiri. Hal yang berbeda antara UNALA dan klinik-klinik lainnya adalah soal jam buka yang fleksibel apabila dibandingkan dengan jam operasional puskesmas yang sama dengan jam sekolah.

“Kami tidak membangun klinik baru melainkan mengggunakan klinik klinik yang sudah ada yang dokternya memang punya passion dengan isu isu remaja,” kata Margaretha. “Sebenarnya ini adalah layanan kesehatan dasar yang meliputi pemeriksaan fisik, counseling, konsultasi, dan kalau memang dibutuhkan, setelah melalui konseling dan edukasi, dokter sudah kami latih untuk memberikan kontrasepsi kepada yang membutuhkan.”

Saat ini, layanan UNALA dapat diakses secara gratis dengan voucher. Namun, hal ini bukanlah solusi jangka panjang karena sifatnya yang berbasis proyek. Menurut Margaretha, saat ini lembaganya sedang mengembangkan agar program ini dapat berjalan tanpa dukungan UNFPA. Mereka sedang mencari jalan tengah agar pihak dokter diuntungkan namun remaja juga mendapatkan layanan yang berkualitas dengan harga yang bersahabat.

Perhatian terhadap Pekerja Seks

Menanggapi pertanyaan mengenai apakah Indonesia siap dengan kehadiran pekerja seks, Margaretha menjawab bahwa negara ini belum siap. Menurutnya, isu seks sangat empuk untuk dijadikan mainan politik. Meskipun demikian, pemerintah memberikan komitmen penanganan kesehatan bagi pekerja seks, terutama untuk penanggulangan HIV.

Kementerian Sosial mengakui bahwa komunitas pekerja seks adalah kelompok rentan dan dianggap dapat menjadi mitra untuk mengatasi permasalahan HIV. Namun, di sisi lain, ada dualisme dalam memandang profesi ini karena lembaga ini menargetkan Indonesia bebas prostitusi pada tahun 2020 nanti.

“Pada tahun 2020 nanti, semua tempat yang menyediakan layanan seks akan  ditutup. Dan kita sudah mulai melihat trennya di banyak tempat,” kata Asti.

“Di Papua, Tanjung Elmo ditutup. Salah satu lokalisasi  terbesar di Indonesia, Dolly, ditutup. Nasib lokalisasi Saritem pun demikian. Ini seperti menjadi tren. Ketika kampanye, isu penutupan lokalisasi menjadi pilihan para pimpinan daerah. Dan karena kita sangat memfavoritkan hal-hal yang normatif, maka hal ini jadi jualan. Hal hal seperti itu yang dijanjikan dan kemudian ini menular dari satu daerah ke daerah lain.”

Pemberian Pendidikan Seksual Komprehensif  

Pendidikan seksual komprehensif penting untuk diberikan sejak dini, ujar Novie.

“Ada orang yang bilang ‘memangnya perlu [diberikan sejak dini]’? Kami bilang perlu banget, tinggal metodenya saja yang kami sesuaikan dengan umur. Jadi pendidikan seksual komprehensif kami berikan dari SD sampai universitas,” ujarnya.

Menurutnya, tantangannya adalah bahwa hal itu masih dianggap tabu. Selain itu, ada juga orang orang yang berpikir bahwa pendidikan seksual telah diberikan di pelajaran Biologi. Akhirnya, ‘senjata’ yang dikeluarkan CMM adalah menyampaikan ke sekolah sekolah bahwa pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 31/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Reproduksi.

Lembaga lain seperti UNFPA bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengenbangkan modul bagi guru mengenai pendidikan kesehatan reproduksi untuk murid murid SD, SMP, dan SMA.

“Kami menyasar gurunya, bukan muridnya,” kata Margaretha. “Kami berharap agar secara mandiri, guru dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi. Beban kurikulum selalu menjadi tantangan.  Akhirnya kami membuat beberapa cara, misalnya memasukkan materi itu dalam beberapa mata pelajaran. Cara kedua, memasukkannya dalam ekstrakurikuler atau muatan lokal. Cita cita kami adalah agar hal ini dapat menjadi mata pelajaran yang tersistematisasi.  Ini masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang.”  

Asti Widihastuti mengkritik pemberian pendidikan kesehatan reproduksi yang disampaikan di pelajaran Biologi. Ia menegaskan, sejauh ini pelajaran biologi hanya jelaskan hal-hal biologis seperti bagaimana sperma bertemu sel telur, berkembang, dan menjadi janin. Isu-isu lain seperti tak masuk dalam pembahasan. Selain itu, seringkali ada pemisahan kelas antara laki-laki dan perempuan saat materi diberikan.

“Pihak sekolah takut murid muridnya ‘saling belajar’. Padahal saling belajar itu bagus supaya kita bisa melindungi diri sendiri,” kata Asti.

“Selain itu banyak juga penyampaian yang fear-based [menakut-nakuti]. Jadi, hal-hal yang tak dinginkan, seperti penyakit, justru ditampilkan lebih banyak. Jadi boro-boro kita akan mendengar tentang relasi sehat, atau bagaimana isu kekerasan dalam pacaran.”
Asti juga menegaskan bahwa penelitian di berbagai belahan dunia , baik di Asia, Eropa, Australia dan Selandia Baru menunjukkan hasil yang sama: “Pendidikan seksual komprehensif membuat remaja menunda debut seks pertamanya, membuat remaja punya pasangan lebih sedikit, dan ketika mereka berhubungan seks lebih awal, mereka akan melakukannya dengan aman.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *