Gender & Sexuality Opini Politics & Society

Perempuan Makin Rentan: Di Balik Syarat Kerja yang Makin Tak Masuk Akal

Batasan usia dalam syarat kerja, sayangnya tidak dianggap diskriminatif oleh negara. Leonardo Olefins Hamonangan sempat menuntutnya, tapi ditolak MK.

Avatar
  • September 8, 2024
  • 5 min read
  • 1111 Views
Perempuan Makin Rentan: Di Balik Syarat Kerja yang Makin Tak Masuk Akal

Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa syarat untuk mendaftar pekerjaan di Indonesia sangatlah berat. Banyaknya syarat ketentuan yang harus dipenuhi, mulai dari yang masuk akal hingga tidak masuk akal, menyulitkan calon pelamar mendapatkan pekerjaan. Batasan usia adalah salah satu syarat yang paling sering ditemukan.

Beberapa waktu lalu, media diramaikan dengan pria asal Bekasi bernama Leonardo Olefins Hamonangan yang mengajukan gugatan uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang berbunyi:

 

 

“Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.”

Baca juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’

Leonardo menilai ayat tersebut bermasalah dan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk membuat kriteria semena-mena, tidak relevan, subjektif, dan bahkan tidak transparan. Ia juga menilai lowongan pekerjaan yang tersedia sebagian besar mensyaratkan batas usia 23 tahun, menyulitkan banyak pencari kerja. 

Sayangnya, gugatan yang Leonardo layangkan tidak berbuah baik, MK menolak seluruh uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan.

Menurut Hakim Arief Hidayat, seperti dikutip dari BBC Indonesia, apabila merujuk pada putusan MK nomor 024/PUU-III/2005 dan putusan MK nomor 72/PUU-XXI/2023, maka tindakan diskriminatif “apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik,” yang berarti bagi MK pembatasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan bukanlah tindakan diskriminatif.

Berdasarkan kasus Leonardo, kita dapat menyimpulkan bahwa frasa “merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” memang sangat rentan disalahgunakan oleh perusahaan. Alih-alih membuat kriteria yang objektif, perusahaan malah kerap membuat kriteria yang seabrek dan subjektif seperti berpenampilan menarik, status perkawinan, gender, dan lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Ditambah dengan keputusan MK untuk tidak memasukkan pembatasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan ke dalam tindakan diskriminatif, kesempatan perusahaan untuk bertindak sesukanya makin luas.

Lowongan pekerjaan dengan batasan usia maksimal 25 tahun menjadi sangat miris, seolah-olah semua orang otomatis akan mendapatkan pekerjaan sebelum berusia 25 tahun, sehingga selepas itu tidak ada kebutuhan untuk “melamar pekerjaan” lagi. 

Ironisnya, menurut Data Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker), terjadi lonjakan PHK pada periode Januari-Mei 2024 dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Dalam periode Januari-Mei 2024, total tenaga kerja yang ter-PHK sebanyak 27.222 atau naik 48,49 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 18.333. Bayangkan apabila tenaga kerja yang ter-PHK tersebut berusia di atas 25 tahun, betapa susahnya mereka mendapatkan pekerjaan kembali.

Batasan usia ini tentu sangat memberatkan bagi seluruh kalangan, terlebih lagi bagi perempuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, jumlah perempuan yang bekerja di sektor informal sebanyak 64,25 persen, sedangkan perempuan pekerja di sektor formal hanya 35,75 persen.

Ambil contoh seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun yang sudah punya anak dan terpaksa harus hidup sendiri. Bisa saja dia memiliki ijazah S1, tetapi dengan kondisi umurnya yang di atas 25 tahun, tentu sangat sulit bagi dia untuk melamar pekerjaan di sektor formal. Ini baru sampai tahap melamar, belum wawancara. Anggap saja perempuan tersebut berhasil mendapatkan lowongan pekerjaan yang memperbolehkan pelamar di atas 30 tahun dan ia lolos ke tahap berikutnya, statusnya sebagai ibu rumah tangga tentu akan semakin menyulitkan.

Ketiadaan pengalaman kerja atau jeda waktu yang cukup lama sebagai ibu rumah tangga akan membuat perusahaan berpikir seribu kali untuk menerimanya. Menurut Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker) Ida Fauziyah pada Business Forum 2, Rapimnas KADIN 2023, dikutip dari Detik.com, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pelatihan di perusahaan terendah kedua di dunia, kurang dari 8 persen perusahaan menawarkan pelatihan formal di Indonesia. Sedih rasanya mengetahui banyak perusahaan tidak mau menyediakan pelatihan kerja, menjadikan “pengalaman kerja” sebagai kewajiban individu yang harus dipenuhi sendiri untuk mereka dapat bisa bekerja.

Baca Juga: Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas

Buka Usaha Sendiri Juga Tidak Mudah

Sebagian dari kita mungkin akan berpendapat: bagaimana kalau membuka usaha saja?

Tetapi perlu diketahui ada banyak faktor yang dapat menyulitkan seseorang dalam membuka bisnis. Bisa jadi pasangannya meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan ditambah tidak ada santunan, atau ia bercerai dan mantan suaminya enggan memberikan nafkah kepada dirinya dan anaknya. Melihat kemungkinan-kemungkinan ini, tentu opsi “membuka usaha” akan menjadi sangat sulit apabila tidak ada modal yang dimiliki.

Realitas yang begitu diskriminatif dalam melamar pekerjaan, bisa jadi malah menjadi penghambat perempuan untuk lepas dari jeratan pernikahan toksik. Menurut Psikolog Kasandra Putranto yang dilansir dari BBC Indonesia, sangat susah bagi perempuan untuk bisa lepas dari pasangannya yang melakukan KDRT karena biasanya mereka memiliki ketergantungan, seperti ketergantungan finansial. Perempuan terpaksa bertahan dalam pernikahannya yang toksik karena mereka tahu ketika mereka memilih untuk lepas, keadaan sekitar tidak membantunya untuk menjadi berdaya dan merdeka.

Baca Juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga

Kondisi inilah yang menyebabkan posisi perempuan sangat rentan menjadi korban diskriminasi. Belum lagi budaya patriarki yang memaksa perempuan untuk “mengurus rumah,” membuat perempuan tampak kurang kompetitif ketika menyentuh usia tertentu, yang akan menyulitkan mereka untuk mencari nafkah bila mana suami mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial, selayaknya peran gender tradisional pada masyarakat patriarki.

Seharusnya pemerintah melihat kembali realita bahwa Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan memang sangat memberatkan bagi rakyatnya, terlebih lagi perempuan. Pemerintah seharusnya malu melihat negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang sudah memiliki peraturan atau undang-undang yang melarang diskriminasi usia, seperti di Singapura dengan Undang-Undang Anti-Diskriminasi di Tempat Kerja tahun 2024, di Filipina dengan Undang-Undang Republik No 10911 atau Undang-Undang Anti-Diskriminasi Usia, di Thailand dengan Konstitusi Thailand yang menjamin kesetaraan semua orang dan melarang diskriminasi terhadap siapapun berdasarkan asal kelahiran, ras, bahasa, jenis kelamin, usia, atau status lain sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 4, 52, dan 30, di Vietnam dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan (2021), dan bahkan di Laos dan Timor Leste.

Ketika negara tetangga sudah menunjukkan sikapnya untuk menentang diskriminasi, Mahkamah Konstitusi kita malah terang-terangan menolak gugatan dan mengatakan batas usia bukan diskriminasi. 

Tanpa tindakan tegas dari pemerintah terhadap perusahaan diskriminatif (baik melarang atau menghukum), posisi perempuan di Indonesia akan semakin terpinggirkan dan lemah, menjadikan Indonesia negara yang sadar atau tidak disadari merupakan negara patriarki.

Hanifati Almas Prasetya adalah alumni Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada dengan hobi nonton film slice-of-life yang sangat tertarik pada isu sosial, kesetaraan gender,  dan media.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Hanifati Almas Prasetya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *