Perempuan PDKT Duluan, Kenapa Tidak?
Perempuan boleh kok mendekati laki-laki duluan, jangan takut dicap agresif.
Ada sebuah stereotip kuno yang masih membelenggu hubungan percintaan: Laki-laki harus selalu menjadi yang pertama dalam mengambil langkah pendekatan. Jika perempuan yang melangkah lebih dulu, ia akan dianggap tak punya malu karena telah melanggar sebuah “aturan sosial” yang penting.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah disuapi dengan doktrin bahwa peran perempuan adalah menunggu. Sering kali doktrin itu divalidasi dengan ilustrasi bahwa sel spermalah yang menghampiri sel telur, bukan sebaliknya. Doktrin ini terus menerus ditanamkan bahkan hingga kita duduk di bangku SMA, masa ketika perasaan sudah bukan lagi hal yang perlu “diatur” atau “dipengaruhi” oleh orang lain.
Penanaman aturan sosial macam itulah yang akhirnya mendasari tindakan pemuda-pemudi ketika sedang jatuh cinta: Sang laki-laki mengejar dan sang perempuan menunggu. Laki-laki akan melakukan segala langkah pendekatan untuk mengambil hati perempuan yang disukainya, dan perempuan akan menyambutnya dengan bahagia. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, jika lelaki yang ditunggu tidak kunjung beraksi, apakah kita sebagai kaum perempuan akan tetap menyembunyikan diri sebagai pengagum rahasia dan menunggu hingga entah kapan?
Bagi sebagian perempuan yang memang yakin bahwa sudah sewajarnya mereka menunggu, itu tidak menjadi kendala. Namun masalah muncul ketika ada perempuan yang berniat untuk memulai pendekatan duluan tetapi ragu karena masih takut dianggap tidak pantas.
Kemajuan zaman tidak melunturkan pola pikir bahwa perempuan tak layak mulai lebih dulu. Meskipun teknologi informasi terus berkembang, media tetap saja melanggengkan pola pikir demikian. Banyak cerita dan film yang menunjukkan laki-laki melakukan berbagai cara pendekatan kepada perempuan, mulai dari yang sederhana dan romantis hingga yang nekat dan membahayakan. Hal ini berefek pada imajinasi para perempuan bahwa dikejar-kejar laki-laki memang menyenangkan.
Baca juga: Selamat Datang di Industri ‘Mencintai dalam Diam’
Mari kita lihat sederet film romance-teenlit yang tergolong populer, sebutlah Dilan 1990, Dear Nathan, dan London Love Story series. Ketiga film tersebut memiliki kesamaan peran sang tokoh utama pria. Dilan, Nathan, dan Gilang serta Dave melakukan berbagai usaha pendekatan yang sering dianggap romantis dan bikin melting banget. Meski respons yang diberikan tokoh utama wanita dari setiap film berbeda, tidak dapat dimungkiri bahwa film-film sejenis itu berhasil membangun imajinasi banyak perempuan—terutama remaja yang masih percaya jika sedang jatuh cinta dunia terasa milik berdua—bahwa didekati jauh lebih menyenangkan daripada mendekati.
Afirmasi terhadap peran gender dalam hal mendekati seseorang menciptakan cap buruk bagi perempuan yang melakukan pendekatan lebih dulu. Perempuan yang bergerak duluan dikatakan agresif—sebuah kata sifat yang memiliki kesan buruk dan berasosiasi dengan sikap nakal, tidak elegan, gampangan, murahan, bahkan terkadang dianggap tidak bernorma. Karena laki-laki mendekati perempuan duluan sudah menjadi sebuah standar sosial, saat ada perempuan yang keluar dari standar tersebut, ia sangat mungkin menghadapi penolakan dari masyarakat.
Perkara pendekatan yang lazimnya dilakukan laki-laki lebih dulu bisa dikaitkan juga dengan patriarchal dividend. Sederhananya, istilah ini mengacu pada konsep di mana laki-laki akan langsung diuntungkan dan mendapatkan hak-hak istimewa karena mereka terlahir sebagai seorang laki-laki. Ketika laki-laki mendekati perempuan lebih dulu, itu sah dan lumrah karena itu memang bagian dari “hak” mereka; tidak demikian dengan perempuan. Padahal, melakukan pergerakan duluan dalam sebuah hubungan percintaan akan selalu memiliki arti yang sama, baik itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Baca juga: Persoalan Antar-Jemput
Seiring waktu, langkah pendekatan yang dilakukan dalam sebuah hubungan percintaan pun ikut berkembang. Ini bukan lagi tentang menyapa orang yang disuka di koridor atau mengirimkan bunga dan cokelat diam-diam. Bukan juga soal menitip salam lewat teman yang dirahasiakan bahwa itu dari kita.
Di era teknologi seperti ini, langkah pendekatan bisa jadi sesederhana mengirim pesan “hai” pertama kali. Bisa juga dengan terus mempertahankan obrolan, berputar pada pertanyaan-pertanyaan klise “lagi apa?”, “udah makan?”, dan segala pertanyaan sejenisnya.
Kemudahan dalam melakukan langkah pendekatan itu pulalah yang membuka jalan bagi beberapa perempuan untuk memberanikan diri melakukannya duluan; mengambil inisiatif untuk mendobrak stereotip lama yang masih mendarah daging sekalipun seruan kesetaraan gender telah ada di mana-mana.
Kita tidak bisa selalu melabeli perempuan yang melakukan pergerakan duluan sebagai perempuan murahan atau ada maunya. Perempuan sama saja seperti laki-laki dalam hal perasaan, mereka juga membutuhkan kebebasan dalam mengekspresikan perasaan. Tidak semua perempuan senang menunggu, apalagi jika yang ditunggu memang tidak memberikan tanda ketertarikan sama sekali. Lalu dalam kasus seperti ini, apakah salah jika sang perempuan yang melakukan pergerakan duluan?
Perasaan sudah seharusnya bebas, tidak dikurung oleh stigma dan stereotip lagi, selama perasaan itu memang tidak melanggar norma-norma dan membahayakan orang lain. Kebebasan mengekspresikan perasaan bagi perempuan tidak semestinya tertahan oleh penilaian masyarakat yang tidak selalu relevan dengan keadaan sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan perempuan mengambil inisiatif dalam pendekatan, dan tidak seharusnya masyarakat membuat perempuan merasa bersalah ketika memilih melakukannya.