Issues

Peringkat Kampus Sebagai Kriteria Beasiswa Doktoral, Masih Relevankah?

Pakar menjawab: Saat peringkat kampus jegal impian studi doktoral, masih relevankah sebagai kriteria pendaftaran beasiswa?

Avatar
  • June 14, 2022
  • 7 min read
  • 316 Views
Peringkat Kampus Sebagai Kriteria Beasiswa Doktoral, Masih Relevankah?

Pada 2018, Rizqy Amelia Zein, dosen psikologi di Universitas Airlangga (Unair), berupaya mencari pendanaan untuk studi S3 setelah ia berhasil mendapatkan persetujuan bimbingan dengan Profesor Karen Douglas di University of Kent, Inggris.

Sayangnya, saat mendaftar beasiswa khusus dosen via skema Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), ia gagal karena ranking University of Kent tidak termasuk dalam daftar kampus yang diterima skema tersebut.

 

 

“Riset saya tentang kepercayaan terhadap teori konspirasi. Saya dapat ahlinya yang sangat dikenal secara internasional, orang menyebut namanya pasti tahu,” katanya.

“Saya sudah dapat surat, profesornya sudah setuju membimbing saya, saya sudah senang, tinggal nyari pembiayaan, tapi ternyata nggak bisa. Waduh, gimana ya.”

Bagi kalian yang pernah mendaftar beasiswa negara untuk kuliah di luar negeri, peringkat kampus tujuan seringkali menjadi faktor penting dalam proses seleksi. Tapi, apakah pertimbangan tersebut masih relevan?

Hal ini pun coba kembali dipertanyakan oleh sebuah utas Twitter yang belum lama ini ramai.

Sang pembuat utas, @iaridlo, yang juga merupakan seorang dosen di Unair dan kini mahasiswa doktoral Ludwig Maximilian University (LMU) di Munich, Jerman, menyayangkan bahwa beberapa rekannya harus terganjal masalah ranking universitas saat mendaftar beasiswa seperti LPDP yang dikelola pemerintah.

“Menurut saya itu kebijakan yang kurang bijaksana, membatasi pendaftar, terutama pelamar S3, berdasarkan peringkat universitas,” kata Amel.

Senada dengan utas tersebut, Amel berpendapat bahwa peringkat universitas tidak serta merta menunjukkan kualitas suatu kampus, dan negara selaku pemberi dana beasiswa perlu fokus ke aspek-aspek lain yang jauh lebih relevan dengan kegiatan riset.

Bagaimana tradisi ranking ini menjegal impian studi pelamar beasiswa, dan apakah peringkat suatu kampus masih relevan sebagai kriteria seleksi?

Baca juga: Dear Mama-mama Mahasiswa S2 dan S3, Kamu Hebat, Kamu Tak Sendiri

Menjegal Impian Studi

Pasca Amel mendapat surat bimbingan doktoral dari sang profesor di Kent pada 2018, ia langsung berupaya mencari pendanaan beasiswa. Salah satu yang ia lamar waktu itu adalah skema LPDP khusus dosen.

Namun, skema tersebut mensyaratkan pelamar mendaftar ke kampus yang tercantum pada suatu daftar yang sudah disediakan. Meski daftar tersebut memuat banyak kampus pilihan, University of Kent tampaknya tidak termasuk karena peringkatnya yang tidak terlalu tinggi dalam berbagai sistem rangking kampus dunia.

Ia pun gagal mengamankan pendanaan, meski proyek risetnya diterima oleh profesor kelas wahid di bidangnya.

Upayanya mengajukan banding via nomor kontak LPDP, maupun platform lapor.go.id kelolaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun menemui jalan buntu, kedua pihak itu mengatakan kebijakan daftar kampus sudah paten.

“Ya sudah berarti memang nggak rezeki. Akhirnya harus berpisah di persimpangan jalan bersama profesor itu,” ceritanya.

Amel membandingkan pengalaman ini dengan skema lain yang sebelumnya ia lamar, yakni Beasiswa Luar Negeri (BLN) kelolaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI).

Meski saat itu ia belum berhasil akibat kendala teknis layaknya masalah ayam dan telur, Kent membutuhkan jaminan pendanaan sementara BLN-DIKTI menolak memberikannya tanpa surat resmi penerimaan atau LoA, dan surat bimbingan profesor tidak cukup. Ia menganggap kriteria ranking kampus skema tersebut jauh lebih adil.

“Kalau di BLN-DIKTI, daftarnya lebih ekstensif, dan sifatnya rekomendasi, jadi kita boleh memilih universitas di luar daftar itu tapi dengan alasan yang jelas kenapa kita memilih kampus itu,” katanya.

“Ini pun tertuang dalam standar beasiswa manapun terutama melalui surat motivasi. Itu sesuatu yang sebenarnya bisa dijelaskan pelamar.”

Karena upayanya mencari beasiswa via negara selama 2018-2019 menemui jalan buntu, ia mengalihkan fokusnya ke program beasiswa lain.

Selama dua tahun berikutnya, ia mendaftar berbagai skema – dari Australian Awards Scholarship (AAS), beasiswa MEXT kelolaan Jepang, hingga Korea Global Scholarship Program (KGSP) – sebelum akhirnya diterima di LMU Munich melalui skema DAAD kelolaan Jerman.

“Ketika saya mendapat beasiswa ini, komite seleksi benar-benar mempertimbangkan kapasitas akademik saya, dan juga proyeknya. Selama seleksi yang dibicarakan proyeknya saja, bahwa menarik, dan penting. Akhirnya dapat,” ujarnya.

Tradisi daftar kampus ini kemungkinan terus berlanjut. Dalam program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) kelolaan LPDP tahun 2022, misalnya, pelamar S3 harus mendapatkan LoA dari kampus yang termasuk dalam daftar yang sudah disediakan. University of Kent kembali absen dari daftar ini.

Baca juga: Cina Gunakan Beasiswa untuk Setir Pandangan Politik Santri Indonesia

Bagaimana Penyeleksi Beasiswa Sebaiknya Menyikapi Peringkat Universitas?

Dalam tulisan-tulisan yang diterbitkan The Conversation Indonesia (TCID) sebelumnya, berbagai dosen dan peneliti pun telah mengkritik sistem pemeringkatan universitas.

Hangga Fathana dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, bersama Ayu Rachman, seorang peneliti pendidikan internasional di Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa belum ada definisi yang jelas terkait status ‘kampus kelas dunia’ itu seperti apa.

“Terlepas dari bervariasinya metodologi dan kriteria, berbagai pemeringkatan tersebut dalam praktiknya justru kerap berujung seperti ‘Harvardometers’,” kata Hangga dan Ayu.

“Di sini, parameter yang diukur adalah seberapa besar institusi mematuhi model perguruan tinggi riset kelas elit gaya Anglo-Saxon, di mana Harvard University di AS hadir sebagai model utama.”

Mereka juga mengatakan sistem ini cenderung abai pada keberagaman perguruan tinggi sehingga memaksakan pendekatan “one-size-fits-all”, serta mendorong praktik ilmiah yang tidak etis seperti manipulasi data demi capaian akreditasi dan kenaikan peringkat.

Tim akademisi dari Selandia Baru juga menulis di TCID mengenai bagaimana banyak kampus sering memprioritaskan indikator mutu dan pemeringkatan yang berbasis pasar, di atas kebutuhan dan kesejahteraan mahasiswa.

“Berbagai ranking ini biasanya menaruh poin tinggi pada jumlah mahasiswa yang dimiliki suatu kampus atau volume riset mereka, ketimbang investasi berkelanjutan dalam pengajaran dan layanan pada mahasiswa,” kata Ossiannilsson, Zuhdi, dan Dobson dari Victoria University of Wellington.

Amel pun berkaca pada budaya kualitas perguruan tinggi di Jerman, tempat ia kini mengemban studi doktoralnya, yang menurutnya sangat berbeda dengan rezim pemeringkatan kampus di atas.

“Kalau di DAAD tidak ada istilah ranking. Apalagi perguruan tinggi Jerman kalau dalam ranking dunia cenderung jelek. Ya karena nggak ada yang peduli soal ranking di sini. Mereka lebih peduli pemerataan kualitas pendidikan,” katanya.

“Di Jerman dua terbesar LMU, tempat saya sekarang, dan Technische Universität (TU) München. Kualitasnya nggak jauh berbeda dengan universitas di sekitarnya, jadi orang nggak peduli ranking.”

“Jadi kalau kualitas sangat insular (spesifik). Untuk S3 dari level risetnya. Kalau di [tempat] saya, klaster risetnya produktif, kelompok risetnya solid, kultur risetnya sehat, punya dedikasi untuk melakukan dengan prinsip sains yang baik – menurut saya itu yang berkualitas,” ujar Amel.

Banyak akademisi menduga kebijakan peringkat kampus adalah cara pengelola beasiswa mempermudah proses seleksi di tengah membludaknya pendaftar. Kuota total penerima beasiswa LPDP tahun ini, misalnya, naik menjadi 3.735 orang dari 2.179 pada tahun lalu, dengan angka pendaftar yang diperkirakan jauh lebih banyak.

Baca juga: Dear Perempuan, Pendidikan Tinggimu untuk Kamu Sendiri

Amel juga mengakui bahwa kampus di luar negeri, seperti di AS, tidak semuanya berkualitas baik. Banyak merupakan kampus kecil dan community college (akademi komunitas) yang kualitasnya bahkan di bawah kampus negeri seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).

“Tapi ya balik lagi, kebijakan [persyaratan kampus] itu kalau enggak dipikir dengan baik bisa menolak banyak talenta yang bagus. Sayang sih,” katanya.

“Pemeringkatan itu membantu beberapa hal, tapi untuk informasi aja. Tapi ketika dipakai sebagai patokan mutlak dalam pembuatan kebijakan, itu bukan indikator yang bijaksana.”

“Jadi daftar itu bisa dijadikan panduan, tapi kalau pelamar mau memilih tempat lain tidak apa-apa, beri mereka kesempatan menjelaskan kenapa harus memilih itu,” kata Amel.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Luthfi T. Dzulfikar