Perjalanan 3 Dekade Nurhayati Rahman Lunasi ‘Utang’ La Galigo
Profesor Nurhayati Rahman berjuang menerbitkan manuskrip kuno agar masyarakat Indonesia paham warisan budaya mereka yang hampir terlupakan.
Sosok mungil dengan tekad raksasa itu maju ke panggung. Di podium yang hampir menelan tinggi tubuhnya itu, ia tampil memberikan sebuah pidato sambutan pendek dengan suaranya yang bergetar setelah sang pembawa acara menyebutkan namanya: Prof. Dr. Nurhayati Rahman.
“Ada utangnya orang Makassar yang belum ‘dilunasi’. Masih ada 10 naskah La Galigo yang terbengkalai di Belanda,” ucapnya kemudian dengan penuh ketegasan, di tengah peringatan ulang tahun Penerbit Yayasan Obor Indonesia beberapa waktu lalu di gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
Prof. Nur, sapaan akrab Nurhayati, pantas untuk emosional karena ia telah bekerja keras selama tiga dekade untuk menerbitkan La Galigo, sebuah karya sastra epik asli nusantara.
Perempuan Bugis ini sudah tertarik dengan manuskrip kuno La Galigo sejak 1980, saat ia masih duduk di bangku kuliah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makasar, Sulawesi Selatan. Awalnya, banyak yang menentang saat ia akan memilih La Galigo sebagai topik penelitian dalam karya-karya tulis ilmiahnya karena tingkat tantangannya yang demikian tinggi. Naskah itu sudah begitu uzur, huruf-huruf di dalamnya juga sangat tua dan susah dipahami.
“Bahkan ada yang hanya berupa titik-titik,” rincinya soal itu, dalam wawancara baru-baru ini lewat email. Tidak heran seorang dosen dan penasihat akademisnya menyarankan agar Nurhayati tidak usah memilih La Galigo karena cemas bila mahasiswi bimbingannya itu tidak mampu menyelesaikan pendidikan tepat waktu.
Saat itu ia menyusun karya skripsinya yang berjudul “Transformasi Nilai I La Galigo dalam Islam”. Selanjutnya di program Magister Filologi Universitas Padjadjaran Bandung, ia memfokuskan riset tesisnya pada satu bagian karya sastra tersebut, yakni “Sub I La Galigo Meong Paloe”. Untuk disertasi doktoralnya di Universitas Indonesia, Nurhayati juga memilih untuk memfokuskan penelitian pada pelayaran Sawerigading, seorang protagonis dalam La Galigo, menuju ke negeri Tiongkok. Pada akhirnya, Nurhayati mampu membuktikan pada semua orang bahwa dirinya mampu mengatasi tantangan intelektual tersebut.
“Saya mampu menamatkan studi di Universitas Indonesia dalam waktu 3,5 tahun, yang diselingi studi pustaka di Belanda selama satu tahun dan lulus dengan predikat cumlaude,” ujarnya.
Secara total, terdapat 19 naskah yang ia harus cermati, dan rata-rata ketebalannya 400-500 halaman. Selain kuantitasnya yang membuat kewalahan, La Galigo juga mengandung unsur sastrawi dalam bentuk bait serta bersifat deskriptif seperti layaknya karya sastra masa kini. Kegigihan Nurhayati yang luar biasa dalam meneliti inilah yang mengantar anak sulung pendiri organisasi Darud Dakwah Wal Irysad (DDI) itu ke posisi guru besar ilmu filologi di Universitas Hasanuddin.
Warisan Dunia
Bagi Anda yang asing dengan produk kebudayaan Bugis, Anda bisa menyebut naskah kuno La Galigo ini sebagai kitab sakral orang Bugis. Isinya bisa dikategorikan dalam jenis karya sastra tertulis bergenre epik. Naskah tersebut juga dapat memberikan petunjuk mengenai keadaan masyarakat di awal masuknya pengaruh Islam.
Menurut keyakinan masyarakat Bugis, karya ini bisa tetap lestari selama berabad-abad karena disimpan dengan cermat dan diwariskan turun temurun oleh para bissu (pendeta transgender), passure (penembang/pembaca), dan masyarakat To Lotang. Dari karya tulisan ini, mereka mempertunjukkannya secara lisan pada masyarakat yang lebih luas agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak luntur.
Koleksi paling komplet ada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Manuskrip yang terdiri dari 362 ribu bait itu terbagi dalam 12 jilid. Sebagai perbandingan, Mahabharata dan Ramayana kurang lebih hanya 150 ribu bait, sementara itu, epos Barat Ulysses cuma 70 ribu bait. Karena panjangnya yang luar biasa itu, La Galigo dikukuhkan oleh badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan UNESCO sebagai Memory of the World pada 2011. Selain panjangnya yang tidak lazim itu, La Galigo juga bukti nyata bahwa masyarakat Luwu di Sulawesi sudah memasuki era sejarah dan memiliki peradaban yang tinggi di abad 8 M.
“Pihak penyimpan naskah di Leiden, Belanda, mengatakan, La Galigo sudah hampir 200 tahun ‘tertidur’ di Belanda. Tidak ada yang mau menjamah karena bahasa dan aksaranya sulit dipahami. Kalaupun sudah disalin, tak banyak yang mau membacanya,” katanya.
Yang paling ditakutkannya adalah bila terus menerus dibiarkan, naskah itu akan lapuk dan hancur. “Sebuah peradaban akan hilang ditelan oleh masa,” ujar Nurhayati.
Agar dapat dipelajari oleh generasi sekarang, naskah tersebut perlu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menangani proses rumit transliterasi dan penerjemahan naskah La Galigo, telah dibentuk sebuah tim di Leiden dan Indonesia. Sayangnya, sebelum rampung, para anggota utama tim baik yang di Belanda dan tanah air tersebut meninggal dunia. Proyek pun sempat tersendat.
“Lalu dari 1987 hingga 1992, ditunjuklah Pak Salim (Drs. Muhammad Salim – peneliti Bugis yang konsisten meneliti La Galigo dan telah berpulang pada 2011) untuk menerjemahkan 12 jilid tersebut selama lima tahun dengan dana dari KITLV (The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) Belanda,” terangnya.
Hanya saja, hasil terjemahan itu, menurut Nurhayati, sedikit autodidak “karena belum memenuhi standar ilmiah dan konvensi sastrawi.” Padahal karena ini naskah sastra, hasilnya pun mestinya bersifat sastra. Hasil pengerjaan tersebut hanya disimpan di Leiden dan belum dipublikasikan. “Padahal sudah masuk dalam Proyek Kerja Sama Studi Kebudayaan Belanda-Indonesia.”
Hasil pekerjaan Salim itu kemudian disunting almarhum Prof. Dr. Fachruddin Ambo Enre, yang hanya sempat menyempurnakan naskah agar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan dan Ejaan Bahasa Bugis yang disepakati dengan Belanda. Itu pun hanya rampung satu setengah jilid.
Tahun 1995 menjadi saksi dimulainya sebuah upaya baru bernama program “Studi Kebudayaan Belanda-Indonesia” untuk menggarap naskah tersebut dengan mencari tenaga-tenaga muda. Sebuah tim baru dari kedua negara itu kembali dibentuk untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dicarilah orang yang kompeten untuk menyunting kembali hasil penerjemahan naskah sehingga siap diterbitkan melalui pelatihan selama seminggu lalu diadakan seleksi yang hasilnya mengukuhkan Nurhayati sebagai penyunting dalam program tersebut.
“Lalu pada 1995 terbitlah jilid satu yang dibiayai pemerintah Belanda. Tapi saat itu ada kasus IGGI (Kelompok Antarpemerintah untuk Indonesia) sehingga seluruh program kerja sama kedua negara (Indonesia dan Belanda) diputus,” ujar Nurhayati, mengacu pada konflik politik antara lembaga bantuan itu dengan Indonesia karena kasus Timor Leste.
Alhasil, dirinya yang masih tinggal di Leiden mesti segera kembali ke tanah air. Dan di Indonesia, Nurhayati memutuskan menekuni pendidikan doktoral. Kini ia resmi bergelar Profesor Doktor di Universitas Hasanuddin Makassar dan menjadi salah satu filolog paling menonjol yang memiliki spesialisasi dalam kesusastraan Bugis Kuno.
Pada 2000, Ratu Belanda melalui sebuah yayasan bernama Prince Clauss Found bersedia mendanai pengerjaan proyek jilid dua La Galigo. Namun, dengan catatan hasilnya mesti diterbitkan di masyarakat asal naskah itu, yakni Indonesia umumnya dan Sulawesi Selatan khususnya.
Di tahun yang sama, Nurhayati kembali ke Leiden mengerjakan jilid tiga La Galigo. Begitu tahun 2000 berakhir, proyek juga terhenti.
“(Jangan Sampai) Belanda Lebih Peduli”
Atas kesulitan yang menghampirinya lagi, Nurhayati melontarkan komentar yang menyanyat hati pada bangsanya sendiri.
“Buku memang belum begitu menarik bagi bangsa kita. Mengingat besarnya kekayaan bangsa ini, belum lagi yang dikorupsi, bangsa ini seharusnya lebih peduli. Tapi kok buku milik kita yang sudah ditetapkan menjadi warisan dunia susah sekali diterbitkan,” ujarnya. Dan ironisnya malah negara lain (Belanda) yang bersusah payah mengucurkan dana untuk itu.
Sebuah pertolongan didapatnya dari Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2014 yang ditemuinya untuk menyodorkan urgensi penyelesaian proyek La Galigo ini pada JK. Sebagai orang Sulawesi sendiri, Wapres Kalla belum paham mengenai keberadaan La Galigo. Nurhayati pun membujuknya agar mau mendanai penyelesaian proyek penting tersebut. Kalla memberikan kesempatan dengan mempersilakan Nurhayati menyusun Terms of Reference (ToR) yang berisi jumlah biaya totalnya. Namun, Nurhayati menolak mentah-mentah tawaran itu karena ia tak mau menangani proyek yang riskan dengan penyelewengan.
“Saya tidak mau ditangkap KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi),” selorohnya.
Ia memilih untuk digaji dan dibiayai semua ongkos pengerjaan La Galigo, termasuk biaya tiket pergi pulang ke dan dari Leiden serta biaya hidup di sana selama masa pengerjaan naskah. Beruntung baginya, Wapres sepakat. Dalam waktu tiga bulan, selesailah pengerjaan untuk naskah jilid kedua. Sampai di Jakarta malah finalisasi tertunda sampai dua tahun lagi.
Agar tidak terus harus ke Leiden setiap kali hendak mengerjakan naskah La Galigo, Nurhayati mendesak orang-orang berpengaruh seperti Kalla dan pengusaha Tanri Abeng untuk mau mewujudkan upaya digitalisasi naskah kuno tersebut. Jika sudah ada versi digitalnya, naskahnya bisa dikerjakan tanpa harus meninggalkan Indonesia. Desakan itu disambut baik oleh pihak Universitas Leiden yang akhirnya memungkinkan hal itu terwujud juga. “Dengan catatan, hasilnya harus siap untuk dipublikasikan secara internasional,” papar Nurhayati.
Ada yang bertanya mengapa harus sampai diterbitkan untuk publik seluruh dunia. Bukankah publik Indonesia saja sudah cukup?
“Justru inilah peluang agar kita bisa melakukan diplomasi kebudayaan tanpa harus bersusah payah lagi,” katanya.
Jika upaya digitalisasi naskah hasil transliterasi dan penerjemahan manuskrip La Galigo sukses, pembaca seluruh dunia bisa mengaksesnya di mana saja, dan ini akan membuat La Galigo dikenal lebih banyak orang. Inilah wajah asli La Galigo yang ingin diperkenalkan oleh Nurhayati kepada dunia.
Sampai tahun ini, Nurhayati baru merampungkan pengerjaan tiga jilid pertama. “Naga-naganya pengerjaan jilid keempat ini bakal lama lagi karena susah sekali menghubungi Pak Tanri Abeng,” keluhnya.
Akan tetapi, bukan Nurhayati kalau cepat menyerah begitu saja.
“Untuk pertama kalinya, Indonesia terlibat aktif dalam upaya penyelamatan naskah La Galigo,” ujar perempuan itu, menyatakan alasannya untuk tetap optimis merampungkan pekerjaan besar itu.
Urgensi Transliterasi
Nurhayati yakin bahwa jangankan warga dunia, kebanyakan orang Indonesia bahkan yang berasal dari Sulawesi terutama bagian selatan tidak paham apa itu La Galigo. Dan ini ironis karena dramanya sudah dimainkan di beberapa pelosok dunia oleh sutradara Robert Wilson dari AS.
Saat La Galigo sudah disajikan di panggung, di sinilah Nurhayati meyakinkan pentingnya proyek transliterasi dan penerjemahan naskah asli La Galigo.
“Publik harus tahu juga bagaimana naskahnya yang asli karena bagaimanapun juga drama itu adalah hasil interpretasi orang asing terhadap La Galigo. Drama itu adalah hasil interpretasi orang AS terhadap La Galigo.”
Nurhayati mengatakan digelarnya drama itu sendiri memicu banyak perbincangan dan pertentangan sebab ada sejumlah pihak yang keberatan dengan versi interpretasi Wilson.
“Ada orang Makassar yang merasa tidak seperti itu cerita asli La Galigo,” tutur akademisi itu, ”Namun, dalam segi seni pertunjukan, Wilson memiliki hak untuk memberikan interpretasinya juga.”
Terlepas dari polemik yang berkembang, apa yang dilakukan Wilson juga patut diapresiasi. Nurhayati meyakini bahwa hanya dengan membaca, memberi makna dan menginterpretasikan karya itu, La Galigo bisa terus hidup sepanjang zaman.
Sekarang Nurhayati bisa bernapas sedikit lega karena tatkala peluncuran tiga jilid buku La Galigo di LIPI beberapa waktu lalu, dirinya mendapatkan kabar menyenangkan. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan sinyal positif bahwa pihaknya akan membantu realisasi penerbitan hasil penerjemahan La Galigo ke dalam bahasa Indonesia sehingga masyarakat asal karya itu sendiri paham warisan budaya mereka yang hampir terlupakan.
Menurutnya, dengan kecepatan kerja paling tinggi pun ia hanya bisa merampungkan penggarapan dua jilid dalam setahun. Itu pun sudah bersifat ‘maraton’ alias tidak ada jeda. Jadi, dibutuhkan waktu setidaknya 4,5 tahun untuk benar-benar menuntaskan mega proyek naskah La Galigo. Karena muskil bisa menyelesaikan tantangan ini seorang diri, Nurhayati berkata tegas, ”Regenerasi adalah harga mati.”