Pernikahan Anak dalam Perspektif Pendidikan
Pernikahan usia anak benar-benar membatasi hak anak untuk melanjutkan pendidikannya.
Dila, anak perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, akhirnya menikah dengan Fandi. Saat itu, usia Dila baru 14 tahun, sedangkan Fandi tujuh tahun lebih tua darinya. Dila terpaksa menikah di usia yang masih sangat belia karena dijodohkan oleh orangtuanya. Akibatnya, pendidikan Dila terbengkalai karena ia harus putus sekolah.
Kisah di atas tertuang dalam sebuah buku dokumentasi hasil penelitian Aliansi Remaja Independen (ARI) bertajuk 8 Child Marriage Stories. Penelitian kualitatif tersebut dilakukan di tiga provinsi di Indonesia; DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain cerita tersebut, masih ada beberapa kisah pernikahan anak lain dalam buku tersebut.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil poin penting bahwa pernikahan anak di bawah usia 18 tahun memiliki beberapa dampak buruk, salah satu yang terburuk adalah dampak pendidikan. Bagaimana seorang gadis yang seharusnya melaksanakan haknya bersekolah dipaksa untuk melakukan pernikahan di usia yang masih belia.
Dalam kasus Dila, dia mengatakan bahwa sebenarnya dia ingin tetap menikmati bangku sekolah.
“Tadinya ada (keinginan untuk melanjutkan sekolah), tapi kan sudah punya anak, jadi nggak jadi. Yang ada malah kepikiran anak nanti kalau lanjut sekolah,” ujarnya.
Keinginan Dila untuk bersekolah tidaklah utopis karena memang itulah salah satu haknya sebagai anak perempuan. Namun, karena perjodohan yang tidak sepenuhnya diinginkan tersebut, hak bersekolah akhirnya sirna, terlebih dengan adanya buah hati berkat pernikahannya dengan Fandi.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 1, anak adalah semua orang yang berusia 18 tahun ke bawah, termasuk yang masih di dalam kandungan. Jika mengikuti UU tersebut, Dila masih tergolong anak-anak dan pernikahan anak jelas menyalahi UU tersebut.
Parahnya, pemerintah turut andil dalam menyukseskan pernikahan anak. Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi No 30-74/PUU-XII/2014 menolak kenaikan usia pernikahan anak perempuan dari 16 menjadi 18 tahun yang tertuang dalam UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1.
Penolakan tersebut sebagai sebuah kemunduran pendidikan di Indonesia karena pernikahan usia anak benar-benar membatasi hak anak untuk melanjutkan pendidikannya. Sayang sekali jika anak yang masih memiliki jalan panjang dalam hidup terpaksa berhenti bersekolah. Hal tersebut sama saja dengan mengurangi kesempatan untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Kenyataan di lapangan memperburuk hal tersebut. Menurut Susenas tahun 2012, ada 11,13 persen anak perempuan menikah di usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 persen menikah pada usia 16-18 tahun. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 memperkuatnya dengan menyebut 26,5 persen anak perempuan menikah di bawah umur.
Dari segi pendidikan, pernikahan anak disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, akses pendidikan yang buruk. Mengambil contoh kasus Dila, gadis yang menikah pada usia 14 tahun tersebut terpaksa putus sekolah untuk menikah. Akses pendidikan tersebut juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti rendahnya kesadaran terkait pentingnya pendidikan serta keterbatasan finansial dalam membiayai sekolah.
Kedua, rendahnya pemahaman soal pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam ilmu tentang seksualitas dan reproduksi, dijelaskan berbagai hal seperti pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, konsep menstruasi, kontrasepsi, reproduksi dan sebagainya. Menilik buku 8 Child Marriage Stories, banyak responden mengaku kurang paham dengan pengetahuan seksualitas dan reproduksi. Hal tersebut diperparah dengan masih tabunya obrolan terkait seksualitas.
Dampak pernikahan anak dalam segi pendidikan sudah jelas; membatasi akses pendidikan pada anak. Argumen bahwa masih ada pendidikan alternatif tidak serta merta menyelesaikan masalah.
Bagi saya, pleidoi tersebut kurang kuat. Ketika anak sudah ‘diterjunkan’ ke dunia kerumahtanggaan secara prematur, anak mau tidak mau harus bisa berlaku sebagai orang yang ada di rumah tangga; laki-laki sebagai suami sekaligus ayah dan perempuan sebagai istri sekaligus ibu. Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Dila di awal artikel ini, menjadi pilihan nomor sekian, bahkan paling akhir.
Selain itu, pernikahan anak ditengarai sebagai salah satu alasan utama anak perempuan keluar dari sekolah (penelitian Early Marriage and Education Transitions of Female Youth; The Case of Indonesia). Padahal sekolah harusnya menjadi prioritas utama selain menikah di usia dini. Beban domestik sebagai pelaku rumah tangga akan lebih menyita waktu dan perhatian daripada sekadar memikirkan sekolah.
Selain dapat merenggut hak anak untuk bersekolah, pernikahan anak di bawah usia 18 tahun juga dapat membawa anak ke ‘dunia dewasa’ secara prematur. Setelah hak anak di sekolah diputus begitu saja, bekal untuk berumah tangga juga belum dimiliki. Tak ayal banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga bahkan berujung perceraian.
Pernikahan anak membuat anak kehilangan kesempatan untuk belajar (sekaligus bermain) di sekolah bersama teman sebaya. Anak juga kehilangan masa-masa dimana mereka seharusnya bisa mendapat lebih banyak pengalaman dalam hidup. Ada pepatah mengatakan bahwa anak adalah harapan terbesar orang tua. Praktik pernikahan anak adalah salah satu proses meniup api harapan tersebut.