Issues Politics & Society

Setop Tutup Mata sama Politik, Tiket Konser ‘Idol‘ Mahal juga Salah Pemerintah

Dari urusan perut, ranjang, tiket pesawat dan konser mahal, ada andil pejabat politik di dalamnya. ‘Personal is political’.

Avatar
  • September 6, 2024
  • 5 min read
  • 1302 Views
Setop Tutup Mata sama Politik, Tiket Konser ‘Idol‘ Mahal juga Salah Pemerintah

Belakangan, kinerja pemerintah ramai-ramai disorot warganet di media sosial. Sejak tagar #DaruratDemokrasi digaungkan, kritik warganet merembet pada ketidakbecusan pemerintah dalam mengatur urusan negara. Mulai dari urusan kebijakan besar hingga hal yang berdampak pada kehidupan personal rakyat.

Tak terkecuali Ayu, 25, K-Popers yang belum lama ini baru saja beli tiket konser band kesayangannya, Day6. Ayu mengaku kecewa pada birokrasi pemerintah, buntut tiket konser yang super mahal. Ia semakin marah kala melihat perbedaan harga tiket konser Day6 di Jakarta dan Bangkok, yang terpaut cukup jauh.  

 

 

Sebel juga lama-lama. Masalahnya, aku ini beli yang Rp2,9 juta—dan belum pajak—baru dapat festival (berdiri di depan panggung). Kalau di Bangkok, dengan harga segini, aku udah bisa nonton dari seat VIP! Enggak jelas betul regulasi pemerintah ini,” ujarnya pada Magdalene.

Baca juga: Pemerintah Memanipulasi Emosi Rakyat, Apa itu Politik Emosi?

Bukan cuma Ayu yang marah pada pemerintah, Fadma, 23 juga. Sebagai warga Jakarta Utara, Fadma perlu menempuh belasan kilometer hanya untuk mendapat ruang terbuka hijau yang nyaman untuk pacaran. Waktu kunjungan pacar pun habis di jalan.  

“Mana ada ruang terbuka hijau yang nyaman di Priok? Tahu sendiri gue perlu naik TJ (Transjakarta) dulu sampai Blok-M kalau mau pacaran nyaman. Bawa mobil macet, tapi kalau ke mal lagi bosan. Effort-nya emang kudu lebih (besa) kalau jadi warga Priok. Padahal, seharusnya pemerintah mikirin ini (akses atas ruang terbuka hijau),” kata Fadma.  

Senada, Dela, 26, juga mengritik kebijakan yang menurutnya tak cukup berpihak pada rakyat. Sebagai commuter, ia harus menempuh waktu dua jam ke kantor, sehingga jika ditotal, empat jam Dela habis di jalan. Ia kian mendidih setelah pemerintah mewacanakan penghilangan subsidi pada tiket KAI Commuter. Sudah sesak di gerbong, kini aturan pemerintah semakin menghimpit.  

“Pejabat-pejabat ini pernah enggak ya nyobain kereta saat rush hour? Coba deh sekali-kali lihat ke Stasiun Manggarai atau Stasiun Tanah Abang, segitu banyak orang, mau dibuat susah lagi dengan pencabutan subsidi? Pemerintah ini memang ya, jahat betul!” keluhnya.

Amarah Ayu, Fadma, dan Dela terhadap pemerintah valid. Pasalnya, pengalaman personal kita sebagai warga negara, sekecil apa pun itu, memang tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah lengkap dengan struktur politik dan kebijakan yang diproduksi.

Istilahnya “personal is political“. Para feminis radikal menganggap, pengalaman personal tidak hanya dilihat sebagai aspek tunggal yang terpisah dari kebijakan negara. Struktur politik punya andil dalam kesialan yang kita alami sebagai masyarakat. Menurut Hariati Sinaga, Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, (4/9), menempatkan urusan personal sebagai hal politis adalah awal yang baik untuk perjuangan ke depan.

Baca juga: Boikot Artis Bayaran hingga Latar Peringatan Darurat di Konser Musisi: Cara Rakyat Melawan

Semua Hal Personal itu Politis 

Populer pada gerakan feminis gelombang kedua, frasa ini sebenarnya pertama kali muncul dalam artikel bertajuk “The Sociological Imagination” (1959), karya sosiolog Amerika, Wright Mills. Meskipun tidak secara harfiah menuliskan konsep ini, Mills bilang, pengalaman individu memang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan sejarah yang lebih besar.

Hal inilah yang kemudian diadopsi dan muncul kembali dalam buku “The Feminine Mystique” (1963) karya Betty Friedan, feminis dan penulis Amerika. Dalam buku tersebut, Friedan menyebut situasi sosial dan struktur politik, jadi penyebab mengapa perempuan kian tertindas dan terpinggir.   

Lalu konsep ini disebutkan secara gamblang oleh Carol Hanisch melalui esainya “The Personal Is Political” (1969). Ia menuturkan semua pengalaman pribadi individu (terutama perempuan) dipengaruhi oleh struktur politik yang ada. Struktur ini enggak terbatas pada tatanan pemerintahan saja, melainkan relasi kuasa dalam masyarakat. 

Britannica menjelaskan lebih lanjut bahwa personal is political adalah ekspresi keyakinan umum di antara feminis tentang pengalaman perempuan. Lewat slogan ini, para feminis meyakini pengalaman ketimpangan individu (terutama perempuan), sekecil apa pun itu, berakar pada struktur politik dan sistem patriarki.  

Terkait hubungan antara kesadaran personal is political dan situasi Indonesia sekarang, Hariati Sinaga angkat bicara. “Sebagai warisan doktrin Orde Baru, selama ini kita melihat hal-hal kecil tadi terpisah dari urusan politik. Padahal tidak. Politik bukan hanya perkara decision making pejabat, tapi juga menyangkut ruang hidup kita sehari-hari,” jelasnya.

Baca juga: Hai Kaum Terdidik, Individualisme Cuma Bikin Kamu Lemah

Lawan Bersama-Sama 

Bangkitnya kesadaran masyarakat terkait urusan politik ini dukung bahkan tiru. Meski begitu, agar perlawanan dan kritik pada pemerintah bisa efektif, Hariati memberi beberapa tips. Menyatukan suara dan menjadikan pengalaman personal sebagai pengalaman kolektif adalah syarat utama. Menarik benang merah permasalahan dari pengalaman-pengalaman kecil ini adalah PR buat semua. 

“Jangan sampai pengalaman personal yang berbeda-beda ini jatuhnya malah individualisasi pengalaman. Karena pergerakan itu butuh ramai-ramai, kita perlu melihat dulu benang merah permasalahan dari hal yang struktural itu,” paparnya.  

Dalam buku “Feminist Thought : A More Comprehensive Introduction” (2017) karya Rosemarie P Tong dan Tina Fernandes, personal is political memang diharapkan bisa jadi kendaraan awal untuk memobilisasi kesadaran publik secara kolektif. Dari sini, perempuan diharapkan dapat melihat masalah struktural yang lebih luas sebagai penyebab ketidakadilan.

Sebagai langkah konkret, Hariati merekomendasikan masyarakat untuk mengaktifkan kembali gerakan-gerakan sipil yang sudah ada sejauh ini. Lewat upaya ini diharapkan proses berpikir kritis yang mulai terbangun dapat terjaga.

“Untuk saat ini sebetulnya kita bisa mulai dengan kembali mengaktifkan gerakan-gerakan masyarakat sipil yang sudah ada. Kita perlu memelihara proses berpikir kritis ini. Misal di ruang-ruang kampus oleh mahasiswa. Selain belajar menyusun CV, bisa lah diselipkan juga kenapa lowongan pekerjaan bisa minim. Apa andil pemerintah dari persoalan itu. Begitu kurang lebih,” pungkasnya.  



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *