History Issues Lifestyle

Tak Sekadar ‘Joke’ Dicoret dari KK, Tupperware Ternyata Berdayakan Ibu-ibu

Tupperware yang kini bangkrut, telah memberdayakan ekonomi ibu-ibu di Amerika kohort 1950-an.

Avatar
  • October 2, 2024
  • 6 min read
  • 918 Views
Tak Sekadar ‘Joke’ Dicoret dari KK, Tupperware Ternyata Berdayakan Ibu-ibu

Siapa yang enggak kenal Tupperware? Wadah plastik warna-warni asal Amerika Serikat ini sudah lama jadi primadona ibu-ibu. Usianya yang super awet, anti bocor, dan kedap udara bikin Tupperware jadi benda wajib yang harus dimiliki hampir setiap keluarga. Saking disayangnya oleh ibu, nama kamu bisa dicoret dari Kartu Keluarga (KK) kalau ketahuan menghilangkannya di sekolah atau tempat kerja. 

Nahas, Tupperware gulung tikar di usianya yang kini memasuki 78 tahun. Dilaporkan oleh CNBC Indonesia, perusahaan ini telah mengajukan perlindungan pailit pada September lalu ke Pengadilan Kepailitan AS untuk Distrik Delaware usai mengalami kemerosotan drastis dalam penjualan dan utang yang meningkat. 

 

 

Laurie Kahn, pembuat film dokumenter “Tupperware!,” (2004) sempat menjelaskan pada 1983, hak paten atas segel wadah Tupperware yang dimiliki penciptanya Earl Tupper berakhir. Hal ini bikin sejumlah perusahaan bermunculan untuk meniru ide Tupper.  Sayang, Rexall, perusahaan kimia yang membeli jenama Tupperware beberapa dekade sebelumnya, lambat mendiversifikasi lini produknya. 

Akibatnya, Tupperware jadi punya banyak copy cats alias peniru. Produk pesaing yang meniru ide Tupper ini sebagian besar tidak dapat dibedakan dari Tupperware sendiri. Parahnya lagi, banyak dari mereka menawarkan harga yang lebih murah, sehingga membuat konsumen berpindah hati. 

BBC Indonesia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, Tupperware sebenarnya sudah berusaha memperpanjang usia dengan melakukan rebranding kepada khalayak lebih muda. Namun tetap saja, wadah itu kalah saing dengan kompetitornya yang sudah terlalu banyak jumlahnya. 

Baca Juga: Ayo Gowes: Sepeda sebagai Instrumen Feminisme 

Wadah yang Kembalikan Agensi Perempuan Amerika Pasca-Perang 

Tupperware boleh jadi bangkrut, tapi warisannya akan terus hidup, apalagi buat para ibu yang hidupnya berubah total pasca-mengenal produk ikonik satu ini. Di AS misalnya, Tupperware buat ibu suburban era 1950-an. 

Tupperware pertama kali diciptakan oleh Earl Tupper, pengusaha dan ahli kimia dari New Hampshire. Earl sejak lama telah melakukan berbagai riset and inovasi demi menciptakan barang berbahan plastik yang fleksibel, kuat, tidak berminyak, aman, serta dapat ditutup rapat seperti kaleng cat. 

Dikutip Business Insider, awalnya temuan Earl itu diberi nama Poly-T. Pasca-Perang Dunia II 1946, ia resmi meluncurkan produk penyimpanan makanan dengan nama Wonderliel Bowl dan Bell Tumbler dan mematenkannya pada 1949. Kemunculannya adalah penemuan besar yang berharga bagi emak-emak. Ini karena Tupperware berhasil memberi solusi pada para emak-emak untuk menyimpan makanan di kala harga kulkas masih dianggap terlalu mahal oleh banyak keluarga. 

Enggak cuma jadi solusi rumah tangga, Tupperware berhasil memberikan agensi pada perempuan yang kala itu terperangkap dalam rumah sendiri. Dalam penelitian berjudul The Ideal Woman, dijelaskan ada perubahan besar peran gender tradisional di masyarakat Amerika pasca-Perang Dunia II. 

Saat perang, semacam keharusan bagi perempuan baik yang masih lajang maupun yang sudah menikah, untuk membantu upaya perang dan menghidupi keluarga. Hal ini bikin lebih dari enam juta perempuan bekerja di pabrik-pabrik, tiga juta menjadi sukarelawan di Palang Merah, dan lebih dari 200.000 bertugas di militer. 

Namun saat perang berakhir, penetapan kembali pembagian kerja secara seksual dilakukan. Perempuan dikirim balik ke ruang-ruang domestik dan untuk membenarkan praktik diskriminatif ini, budaya populer mulai menciptakan konsep peran perempuan ideal.  

Dalam buku berjudul Women and Gender in Postwar America 1945-1960 dijelaskan, propaganda pemerintah, majalah, dan film populer sengaja digunakan untuk memperkuat konsep tradisional tentang femininitas. Caranya adalah dengan menjadikan perempuan sebagai benteng psikologis keluarga. Peran ini membuat perempuan mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, mengasuh, merawat anak-anak, serta jadi tulang punggung segala urusan domestik. 

Cara ini berhasil menjadi tren sosial kala itu. Perempuan banyak yang menikah dan pindah ke pinggiran kota untuk memulai sebuah keluarga. Sejalan dengan itu, konsumerisme bangkit demi memenuhi kebutuhan sosial perempuan yang perannya terbatas di ranah domestik. 

Baca Juga: Menelusuri Sejarah Kedai Kopi: Kenapa Dulu Perempuan Tidak Nongkrong di Kedai Kopi? 

Perubahan besar tersebut tentunya berpengaruh pada perempuan. Mereka terjebak dalam rumah sendiri karena sepenuhnya bergantung secara sosial dan ekonomi pada suami. Aktualisasi diri perempuan tidak dianggap penting karena karena kebahagiaan dan pemenuhan diri mereka selalu diharapkan diperoleh lewat peran sebagai istri dan ibu. 

Tupperware lantas hadir memberikan solusi bagi perempuan untuk merebut kembali agensi mereka. Semuanya berawal saat bisnis Tupperware gagal menembus pasar domestik tahun-tahun awal peluncurannya. Dalam penelitian The 1950s Cold War Housewife and Tupperware: A Vehicle for Her Individual and Socioeconomic Change dijelaskan, saat mencari solusi untuk masalah ini, Earl memerhatikan total penjualan di atas rata-rata yang dilaporkan oleh sekelompok agen door-to-door amatir di Detroit, Michigan termasuk produk Tupperware. 

Mereka menjual Tupperware dengan cara mendemonstrasikan fungsi wadah plastik ini di dalam rumah calon pembeli. Di antara para agen ini, ada satu orang yang begitu menonjol karena berhasil mencapai angka pembelian yang sangat tinggi dari konsumen baru. Dia adalah Brownie Wise, janda beranak satu yang nantinya akan membantu merevolusi Tupperware Corporation. 

Untuk bisa menghidupi putranya yang masih kecil, Wise awalnya jadi agen di Stanley Home Products untuk mendemonstrasikan produk pel dan produk pembersih. Namun tidak lama ia keluar dari perusahaan tersebut karena perilaku seksis Pimpinan Stanley yang mematahkan ambisinya jadi manajer. 

Dari sini, Brownie mulai menjual produk Tupperware. Ia merekrut tim penjualan yang ia beri nama Go-Getters. Bersama mereka, Brownie mendemonstrasikan produk Tupperware di Pesta Teras di rumahnya yang kemudian lebih dikenal dengan “Pesta Tupperware”. Mengutip dari artikel DW, demonstrasi produk di Pesta Tupperware termasuk meriah. Ini mencakup berbagai permainan pesta menyenangkan dan sesi melemparkan wadah ke seberang ruangan untuk menunjukkan bahwa wadah tersebut tidak pecah. 

Di kantor pusat perusahaan di Florida, Brownie melatih para perempuan lain dalam metode penjualan, membuat buku panduan, dan memperkenalkan insentif penjualan yang mewah untuk menarik lebih banyak tenaga penjual. Pada akhir 1950, Earl Tupper terkesan dengan rekor angka penjualan Brownie yang mencapai sekitar US$86 ribu dolar. Setelah bertemu dengan Brownie dan mengetahui strategi pemasarannya, Tupper mengangkat Brownie menjadi manajer pemasaran umum dari Tupperware Home Parties (THP) Inc, sayap distribusi baru perusahaan wadah plastik ini. 

Brownie yang jadi sosok penggagas Pesta Tupperware jadi juru penyelamat bagi para ibu di masa itu. Ini karena Pesta Tupperware yang ia gagas berubah menjadi acara sosial yang meriah bagi para perempuan. Di pesta itu, para perempuan akan berkumpul di ruang keluarga, tidak hanya untuk menyaksikan demonstrasi pintar Tupperware, tetapi juga untuk tertawa, berbagi cerita, dan membangun persahabatan (sisterhood). Pesta-pesta ini kemudian jadi ruang bagi para perempuan rehat dari rutinitas domestik sehari-hari dan menawarkan sesuatu yang lebih yakni peluang bisnis yang nyata. 

Baca juga: ‘Gadis Kretek’ dan Citra Perempuan Merokok: Melawan atau Sekadar Keren-kerenan? 

Mengadakan pesta Tupperware membuat para perempuan dapat meraih kemandirian ekonomi. Mereka mendapat komisi dari penjualan, mengatur jadwal mereka sendiri, dan menciptakan jaringan pelanggan dan rekan bisnis yang terus berkembang.  

Model pesta Tupperware memungkinkan para perempuan kala itu untuk terjun ke dunia wirausaha tanpa memerlukan etalase atau persyaratan ketat yang ditetapkan para laki-laki. Bermodalkan kepercayaan diri untuk mengundang teman dan memamerkan produk yang mereka suka, mereka bisa jadi pengusaha

Tak kalah pentingnya, di masa ketika banyak perempuan terkungkung dalam peran tradisional dan dihargai murah di pasar tenaga kerja karena pembagian kerja seksual, pesta Tupperware memberi mereka rasa kemandirian serta pemenuhan. Semuanya didapat dalam lingkungan yang mendukung dan menyenangkan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *