5 Poin Penting Debat Pilkada Jakarta 2024 yang Harus Kamu Tahu
Tak ada yang paham isu gender, tak ada yang tampak serius membenahi problem menahun Jakarta dari polusi, pengangguran, hingga kemacetan kota.
Debat perdana Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024 digelar pada (6/10) di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Mengusung tema “Penguatan SDM dan Transformasi Jakarta menjadi Kota Global”, ketiga pasangan calon (paslon), yakni Ridwan Kamil-Suswono (RIDO), Dharma Pongrekun-Kun Wardana (Dharma-Kun) dari independen, dan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel) menyedot perhatian publik. Sebagian besar mengritisi argumen dan program-program kerja mereka.
Salah satu kritik muncul dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat. Dalam rilis resmi, mereka mengungkapkan, tak ada satu pun paslon yang menawarkan solusi konkret di Jakarta. Sebaliknya, pernyataan yang terlontar dalam debat itu sebatas jargon manis dan gimmik untuk mengerek elektabilitas semata.
Memang apa saja, sih pernyataan penting paslon yang harus kita kritisi. Magdalene merangkum lima poin penting dari debat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta untukmu:
Baca juga: Ragukan Guru Besar hingga Ahli di ‘Dirty Vote’, Warga +62 Harus Berhenti Menyangkal Pakar
1. Masalah Pengangguran Gen Z
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam debat pekan lalu adalah tingginya tingkat pengangguran di kalangan Gen Z. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, 6,53 persen penduduk Jakarta menganggur, dengan 70,37 persen di antaranya adalah Gen Z.
Salah satu sebabnya, yakni diskriminasi pada rekrutmen pekerja. Lowongan kerja saat ini banyak mencantumkan batas usia berikut minimum pengalaman kerja. Alhasil, pengangguran marak bukan cuma karena ketidakmampuan tapi juga kebijakan rekrutmen yang ageis dan kurang pas. Kebijakan tersebut diperparah dengan ketatnya persaingan kerja.
Dalam laporan Harian Kompas didapati ada penurunan drastis penciptaan lapangan kerja formal pada lima belas tahun terakhir. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, penciptaan lapangan kerja formal mengalami penurunan signifikan, dari 15,6 juta tenaga kerja formal yang tercipta selama periode 2009–2014, menjadi hanya 2 juta pada periode 2019–2024.
Kegagalan menembus sektor formal, mendorong Gen Z untuk menekuni dunia wirausaha. Sayangnya tulis Kompas, pendapatan kelompok wirausaha ini relatif kecil. Sebanyak 90,9 persen wirausaha, pada 2022 pendapatannya hanya Rp1,6 juta per bulan. Dalam hal ini, ketiga paslon tampak tak memahami akar persoalan struktural yang membuat pengangguran Gen Z kian marak.
RIDO justru menawarkan coworking space dengan fasilitas kopi gratis. Selain itu, mereka juga menawarkan program dana kekuatan sosial bagi Gen Z yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bisa bertahan hingga mendapatkan pekerjaan.
Dharma-Kun di sisi lain, menawarkan solusi dengan menciptakan fasilitas kerja praktek sesuai dengan kemampuan Gen Z. Tujuannya agar lulusan kampus, politeknik, maupun SMK lebih siap memasuki dunia kerja.
Sementara, Pram-Doel menawarkan pembukaan layanan konseling 24 jam bagi Gen Z sarana untuk menyalurkan tekanan atau masalah yang dihadapi karena di-PHK. Mereka juga berjanji mengadakan job fair di tiap kecamatan setiap tiga bulan sekali, pelatihan bersertifikat, dan modernisasi Balai Latihan Kerja (BLK).
2. Enggak Paham Soal Kesetaraan Gender
Ketimpangan gender menjadi salah satu topik penting yang diajukan dalam debat lalu. Disebutkan hingga kini indeks ketimpangan gender di Jakarta berdasarkan data BPS 2023 sebesar 0,256. Ketimpangan ini sangat dirasakan dari sisi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dan masih tertinggalnya mereka dalam pendidikan dibandingkan laki-laki.
Untuk memberikan solusi, seluruh paslon seharusnya bisa memahami terlebih dahulu akar ketimpangan gender itu sendiri. Sayang, mereka terbilang gagal paham, sehingga solusi yang ditawarkan pun tidak tepat sasaran dan berpotensi menimbulkan diskriminasi gender berlapis.
Ridwan Kamil malah menawarkan program Sekolah Perempuan untuk emak-emak. Kurikulum sekolah ini akan memuat materi ekonomi keluarga dan keharmonisan keluarga. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) mengkritik Sekolah Perempuan berpotensi menjadi ruang-ruang formal jika tidak diikuti dengan upaya sistematis dan terencana. Belum lagi kurikulum yang kembali mendomestifikasi perempuan sekadar ibu dan istri di rumah.
Sebelas dua belas, Dharma-Kun menekankan pentingnya adab dalam mengikis kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan. Konsep “adab” yang Dharma-Kun tawarkan terlalu abstrak dan tidak punya tolok ukur jelas.
Ketidakpahaman soal akar ketimpangan gender juga terlihat dari paslon Pram-Doel. Solusi mereka sekadar job fair tanpa dibarengi dengan jaminan ruang aman dan akses adil buat perempuan.
Ironisnya lagi, isu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menurut tak dielaborasi dengan baik dalam debat itu. Merujuk pada data Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jakarta, tercatat sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi selama 2023.
“Hal ini yang seharusnya menjadi salah salah satu prioritas untuk diselesaikan melalui serangkaian kebijakan yang menjamin ruang aman bagi perempuan dan anak,” tulis LBH Masyarakat.
Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi
3. Riverway Bukan Solusi Kemacetan
Kemacetan Jakarta selalu jadi masalah serius yang enggak kunjung selesai. Ini berdampak pada penurunan produktivitas hingga kerugian ekonomi. Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SPBE) Dinas Perhubungan Jakarta Zulkifli bilang kepada CNBC Indonesia, kerugian yang diderita warga Jakarta dan sekitarnya karena kemacetan yang terjadi tiap hari mencapai Rp100 triliun per tahun.
Alih-alih menawarkan solusi konkret, RIDO justru ingin membangun jalur transportasi air dengan memaksimalkan 13 sungai di Jakarta sebagai jalur perahu. LBH Masyarakat mengkritisinya karena dianggap belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang mendiami dekat aliran sungai. River way dapat berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan baru seperti pencemaran udara, sungai, dan mengganggu ekosistem flora dan fauna di sungai.
Selain itu, sungai-sungai di Jakarta sendiri tidak potensial menjadi jalur transportasi karena mengalami pendangkalan dan penyempitan. Panitia Khusus (Pansus) Banjir DPRD DKI Jakarta pernah menyampaikan temuan mereka pada 2020 bahwa pendangkalan sungai-sungai di Jakarta terjadi karena proses sedimentasi. Sementara, penyempitan terjadi karena pesatnya pertumbuhan pembangunan liar tempat tinggal di bibir saluran. Dengan dua masalah ini, program riverway pasti akan terbentur dengan masalah anggaran dan berpotensi menimbulkan penggusuran massal bagi masyarakat pinggiran sungai.
Rano Karno, lawan paslon RIDO menambahkan, program ini tidak realistis lantaran sejumlah jembatan di atas sungai di Jakarta bakal menyulitkan transportasi sungai untuk melintas. Hal itu karena desain jembatan yang lurus dan tidak melengkung.
“Dulu, setiap jembatan di daerah Harmoni, itu pasti melengkung. Kenapa? Karena dulu memang transportasi air di Jakarta memang ada. Cuma begitu jembatan dirata, perahu enggak bisa lewat lagi,” jelasnya dikutip dari Detik.com.
Lagipula buat apa mengulang program yang dalam riwayat pembangunan di Jakarta terbukti pernah gagal di periode Gubernur Sutiyoso pada 2007. Saat itu riverway berujud taksi air berkapasitas 28-50 orang, bisa diakses warga Jakarta di Dermaga Halimun, Dukuh Atas, dan Dermaga Karet dengan memanfaatkan jalur Banjir Kanal Timur. Sayang, program ini gagal total karena taksi air kerap berhenti lama untuk membersihkan sampah yang tersangkut di baling-baling.
Ah, mungkin saja Pak Ridwan Kamil belum tahu sejarah Jakarta, namanya juga pedagang, eh pendatang.
4. Pernyataan Kontroversial yang Mengkhawatirkan dari Dharma Pongrekun
Dalam debat lalu, Ridwan Kamil bertanya kepada Dharma Pongrekun soal respons terbaik calon kepala daerah dalam melindungi masyarakat saat krisis akibat pandemi Covid-19. Bukannya menjawab soal penanganan cepat berbasis sains, Dharma melontarkan pernyataan kontroversial. Ia bilang pandemi Covid-19 sebagai agenda terselubung asing guna mengambil alih kedaulatan Indonesia.
“Saya paham betul tentang pandemi ini agenda terselubung dari asing untuk mengambil alih kedaulatan negara,” kata Dharma.
Ia menambahkan metode penggunaan alat pendeteksi Covid-19, yakni Polymerase Chain Reaction Test atau PCR akal-akalan saja yang sebenarnya tidak berguna untuk mendeteksi virus. Karena itu, dia menganggap pandemi Covid-19 hanyalah omong kosong yang bertujuan menakut-nakuti rakyat.
Dharma memang sudah beberapa kali tertangkap media membual soal teori konspirasi. Ia tidak percaya vaksin karena dianggap sebagai berhala. Imunisasi ia anggap membuat generasi penerus menjadi kena meningitis, dan Covid-19 ia anggap sebagai usaha Rockefeller Foundation menguasai sistem dunia.
Pernyataan calon pemimpin provinsi Jakarta itu jelas berbahaya dan mengkhawatirkan. Dengan berbekal teori konspirasi tanpa pembuktian ilmiah, Dharma bisa membahayakan nyawa ribuan orang. Sejarah mencatat, kegagalan pemimpin dalam memetakan masalah yang berhubungan langsung dengan sains, bisa berakibat fatal pada kehancuran sistem kesehatan dan ekonomi rakyat.
Kita seharusnya belajar dari Perdana Menteri Jacinda Ardern. Saat pandemi Covid-19 pertama kali melanda dunia, Ardern dengan sigap mendorong berbagai kebijakan sesuai dengan saran ahli kesehatan masyarakat. Di antaranya menutup perbatasan Selandia baru, tidak membuka sekolah, tidak ke tempat bekerja, tidak melakukan pertemuan sosial, memakai masker, dan pembatasan perjalanan dalam mengontrol penyebaran COVID-19.
Buntut kebijakan Ardern ini menuai hasil cemerlang, menyelamatkan lebih dari 200.000 orang dan jadi panutan negara-negara lain. Kita butuh pemimpin rasional, logis, yang percaya pada ahli bukan teori konspirasi.
Baca juga: Rangkuman Debat Capres Terakhir: Solusi ‘Mukbang’ Prabowo hingga Disabilitas yang Jadi Token
5. Polusi Udara yang Belum Dapat Sorotan
Jakarta punya masalah besar terkait polusi udara. Pada 2023, Jakarta beberapa kali mengalami kualitas udara terburuk di dunia dengan rata-rata nilai air quality index 120 hingga 170 atau tidak sehat.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagiankepada Tempo.co menuturkan, salah satu penyumbang terbesar polusi udara Jakarta adalah hasil pembuangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Salah satu PLTU di sekitar Jakarta adalah PLTU Suralaya yang memiliki delapan pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.440 MW, terbesar di antara belasan yang ada di sekitaran Jakarta.
Dalam debat Minggu lalu, isu polusi udara juga sempat disinggung. Sayangnya, tiga paslon yang bertanding belum bisa menjelaskan solusi apalagi secara spesifik membahas penanganan pencemaran udara yang berasal dari PLTU. Sebaliknya yang ditawarkan terutama oleh paslon nomor urut 1 adalah dengan penanaman tiga juta pohon.
“Tidak ada penjelasan logis dan realistis yang dijelaskan, misalnya kita akan evaluasi ke PLTU yang ada di sekitar Jakarta. Tidak ada percakapan itu saat debat,” ucap Uli.