Issues Politics & Society

5 Poin Penting Debat Pilkada Jakarta 2024 yang Harus Kamu Tahu 

Tak ada yang paham isu gender, tak ada yang tampak serius membenahi problem menahun Jakarta dari polusi hingga kemacetan kota.

Avatar
  • October 10, 2024
  • 9 min read
  • 128 Views
5 Poin Penting Debat Pilkada Jakarta 2024 yang Harus Kamu Tahu 

Debat perdana calon gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jakarta 2024 selesai digelar pada (6/10) malam, di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Dengan tema “Penguatan SDM dan Transformasi Jakarta menjadi Kota Global” para pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur beradu gagasan dan menyampaikan visi misi mereka untuk Jakarta yang lebih maju. 

Ketiga pasangan yang bertanding yakni Ridwan Kamil-Suswono (RIDO), Dharma Pongrekun-Kun Wardana (Dharma-Kun) dari independen, dan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel). Debat yang kurang lebih berlangsung selama dua jam tersebut menimbulkan perbincangan di media sosial hingga mendapat respons beberapa pakar. 

 

 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam rilisan mereka misalnya mengungkapkan seluruh paslon tidak menawarkan solusi konkret yang berbasis masalah Jakarta. Padahal menurut LBH Masyarakat seharusnya seluruh paslon mampu menawarkan solusi yang demokratis dan berbasis ilmu pengetahuan terkait dengan berbagai permasalahan yang masih menjerat Jakarta. Mereka bahkan mengkritik tajam bahwa visi dan misi seluruh paslon hanya sekedar jargon manis belaka dan berorientasi pada peningkatan elektabilitas. 

Untuk mengetahui dasar alasan kritikan dari LBH, Magdalene merangkum lima poin penting dari debat Pilkada Jakarta Minggu lalu: 

Baca juga: Ragukan Guru Besar hingga Ahli di ‘Dirty Vote’, Warga +62 Harus Berhenti Menyangkal Pakar 

1. Masalah Pengangguran Gen Z 

Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam debat Minggu lalu adalah tingginya tingkat pengangguran di kalangan Gen Z. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, 6,53 persen penduduk Jakarta menganggur, dengan 70,37 persen di antaranya adalah Gen Z. 

Salah satu penyebab dari angka pengangguran ini disebutkan karena diskriminasi perekrutan pekerja. Lowongan kerja saat ini banyak mencantumkan batas usia pelamar kerja yang ditambah dengan minimun pengalaman kerja sehingga pengangguran ini bukan semata-mata bukan soal ketidakmampuan, tetapi lebih ke kebijakan rekrutmen. Kebijakan rekrutmen ini kemudian diperparah dengan persaingan kerja yang semakin ketat bagi para Gen Z. 

Dalam laporan eklusif Harian Kompas didapati ada penurunan drastis penciptaan lapangan kerja formal pada 15 tahun terakhir. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, penciptaan lapangan kerja formal mengalami penurunan signifikan, dari 15,6 juta tenaga kerja formal yang tercipta selama periode 2009–2014, menjadi hanya 2 juta pada periode 2019–2024. 

Kegagalan menembus sektor formal Gen Z untuk berwirausaha, tapi sayangnya menurut analisis Kompas pendapatan kelompok wirausaha ini relatif kecil. Sebanyak 90,9 persen wirausaha, pada 2022 pendapatannya hanya Rp 1,6 juta per bulan. Sayangnya dengan dalamnya permasalahan yang menghambat Gen Z dapat pekerjaan, para paslon yang ditanyai solusi tidak ada satu pun yang menyentuh akar persoalan struktural yang membutuhkan campur tangan baik pemerintah pusat atau daerah. 

RIDO misalnya malah menawarkan coworking space gratis dengan fasilitas kopi gratis. Selain itu, RIDO juga menawarkan program dana kekuatan sosial bagi Gen Z yang terkena PHK untuk bisa bertahan hingga mendapatkan pekerjaan. 

Dharma-Kun di sisi lain menawarkan solusi dengan menciptakan fasilitas kerja praktek sesuai dengan kemampuan Gen Z agar lulusan kampus, politeknik, maupun SMK lebih siap memasuki dunia kerja.  

Sedangkan Pram-Doel menawarkan pembukaan layanan konseling 24 jam bagi Gen Z sarana untuk menyalurkan tekanan atau masalah yang dihadapi karena di-PHK. Mereka juga berjanji mengadakan job fair di tiap kecamatan setiap tiga bulan sekali, diiringi pelatihan bersertifikat dan modernisasi Balai Latihan Kerja (BLK). 

2. Tidak Paham soal Kesetaraan Gender 

Ketimpangan gender menjadi salah satu topik penting yang diajukan dalam debat Pilkada Jakarta, Minggu lalu. Disebutkan bahwa hingga kini indeks ketimpangan gender di Jakarta berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2023 sebesar 0,256. Ketimpangan ini sangat dirasakan dari sisi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dan masih tertinggalnya perempuan dalam pendidikan dibandingkan laki-laki. 

Untuk memberikan solusi, seluruh paslon seharusnya bisa memahami terlebih dahulu akar permasalahan dari ketimpangan gender itu sendiri. Itu tidak lain adalah karena budaya patriarki. Sayang, ketiga paslon tidak mampu memahami akar permasalahan ini sehingga solusi yang ditawarkan pun tidak tepat sasaran dan berpotensi menimbulkan diskriminasi gender berlapis. 

Dalam memberikan solusi ketimpangan gender misalnya Ridwan Kamil malah menawarkan program Sekolah Perempuan untuk para ibu-ibu. Kurikulum sekolah ini akan memuat materi ekonomi keluarga dan keharmonisan keluarga. 

LBH Masyarakat sempat mengkritik bahwa Sekolah Perempuan sangat berpotensi menjadi ruang-ruang formil semata apabila tidak diikuti dengan upaya sistematis dan terencana. Apalagi dengan kurikulum yang ditawarkan RIDO kembali mengukung perempuan ranah domestik dan peran-peran gender tradisional mereka sebagai ibu dan istri. 

Solusi atas ketimpangan gender semakin tidak masuk akal ketika Dharma-Kun justru lebih menekankan pentingnya adab dalam mengikis kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan. Konsep “adab” yang Dharma-Kun tawarkan terlalu abstrak dan tidak punya tolak ukur yang jelas. Lantas menjadi hal yang bisa diprediksi bahwa tidak ada solusi konkret yang bisa ditawarkan untuk hal ini. 

Ketidakpahaman soal akar ketimpangan gender juga terlihat dari paslon Pram-Doel. Mereka berupa Job Fair tanpa dibarengi dengan jaminan ruang aman dan akses yang layak serta adil bagi perempuan hanya akan menjadi program yang tidak tepat sasaran. 

Selain itu, masalah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menurut LBH Masyarakat tidak dielaborasi dalam debat padahal jumlahnya masih masih terhitung tinggi. Merujuk pada data Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DKI Jakarta, tercatat sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi selama 2023. 

“Hal ini yang seharusnya menjadi salah salah satu prioritas untuk diselesaikan melalui serangkaian kebijakan yang menjamin ruang aman bagi perempuan dan anak,” tulis LBH Masyarakat dalam rilisan mereka. 

Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi 

3. Riverway Bukan Solusi Kemacetan 

Kemacetan Jakarta selalu jadi masalah serius yang tidak kunjung selesai. Masalah ini berdampak besar produktivitas masyarakat hingga menimbulkan kerugian materil. Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SPBE) Dinas Perhubungan DKI Jakarta Zulkifli mengatakan kerugian yang diderita warga Jakarta dan sekitarnya karena kemacetan yang terjadi tiap hari mencapai Rp 100 triliun per tahun

Dalam debat Pilkada Jakarta, setiap paslon diminta untuk memberikan solusi atas masalah ini. Di antara ketiga paslon, solusi yang ditawarkan oleh RIDO bisa dibilang tidak realistis. Mereka ingin membangun jalur transportasi air dengan memaksimalkan 13 sungai di Jakarta sebagai jalur perahu. 

LBH Masyarakat mengkritisi program ini yang dinilai belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang mendiami dekat aliran sungai. River way dapat berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan baru seperti pencemaran udara, sungai, dan mengganggu ekosistem flora dan fauna di sungai. 

Selain itu, sungai-sungai di Jakarta sendiri tidak potensial menjadi jalur transportasi karena mengalami pendangkalan dan penyempitan. Panitia Khusus (Pansus) Banjir DPRD DKI Jakarta pernah menyampaikan temuan mereka pada 2020 bahwa pendangkalan sungai-sungai di Jakarta terjadi karena proses sedimentasi, sedangkan penyempitan terjadi karena pesatnya pertumbuhan pembangunan liar tempat tinggal di bibir saluran. Dengan dua masalah ini, program river way pasti akan terbentur dengan masalah anggaran dan berpotensi menimbulkan penggusuran massal bagi masyarakat pinggiran sungai. 

Rano Karno, lawan paslon RIDO juga sempat menambahkan bahwa program ini tidak realistis dikarenakan sejumlah jembatan yang berada di atas sungai di Jakarta bakal menyulitkan transportasi sungai untuk melintas. Hal itu karena desain jembatan yang lurus dan tidak melengkung. 

“Dulu, setiap jembatan di daerah Harmoni, itu pasti melengkung. Kenapa? Karena dulu memang transportasi air di Jakarta memang ada. Cuma begitu jembatan dirata, perahu enggak bisa lewat lagi,” jelasnya dikutip dari detik.com. 

4. Pernyataan Kontroversial yang Mengkhawatirkan dari Dharma Pongrekun 

Dalam debat perdana Pilgub Jakarta 2024, mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bertanya kepada Dharma Pongrekun soal respons terbaik calon kepala daerah dalam melindungi masyarakat saat krisis akibat pandemi Covid-19. Bukannya menjawab soal penanganan cepat berbasis sains, Dharma melontarkan pernyataan kontroversial yang hebohkan publik. Ia bilang pandemi Covid-19 sebagai agenda terselubung asing guna mengambil alih kedaulatan Indonesia. 

“Saya paham betul tentang pandemi ini agenda terselubung dari asing untuk mengambil alih kedaulatan negara,” kata Dharma. Dharma menambahkan metode penggunaan alat pendeteksi Covid-19, yakni Polymerase Chain Reaction test atau PCR akal-akalan saja yang sebenarnya tidak berguna untuk mendeteksi virus. Karena itu, dia menganggap pandemi Covid-19 hanyalah omong kosong yang bertujuan guna menakut-nakuti rakyat. 

Dharma memang sudah beberapa kali tertangkap media membual soal teori konspirasi. Ia tidak percaya vaksin karena dianggap sebagai berhala, imunisasi ia anggap membuat generasi penerus menjadi kena meningitis, dan virus Covid-19 ia anggap sebagai usaha Rockefeller Foundation menguasai sistem dunia. 

Pernyataan Dharma, seorang yang nantinya akan memimpin ibukota negara tentunya sangat mengkhawatirkan. Dengan berbekal teori konspirasi yang tidak mempunyai pembuktian ilmiah yang kuat, Dharma bisa membahayakan nyawa ribuan orang. Kegagalan pemimpin dalam memetakan suatu masalah apalagi berhubungan langsung dengan sains, bisa berakibat fatal pada kehancuran sistem kesehatan masyarakat dan ekonomi itu sendiri di masa depan. 

Kita seharusnya belajar dari Perdana Menteri Jacinda Ardern. Saat pandemi Covid-19 pertama kali melanda dunia, Ardern dengan sigap dan cepat mendorong berbagai kebijakan sesuai dengan saran ahli kesehatan masyarakat. Ini di antaranya adalah menutup perbatasan Selandia baru, tidak membuka sekolah, tidak ke tempat bekerja, tidak melakukan pertemuan sosial, memakai masker, dan pembatasan perjalanan dalam mengontrol penyebaran COVID-19. 

Buntut kebijakan Ardern ini menuai hasil cemerlang, menyelamatkan lebih dari 200.000 orang dan jadi panutan negara-negara lain. Kita butuh pemimpin rasional, logis, yang percaya pada ahli bukan teori konspirasi. 

Baca juga: Rangkuman Debat Capres Terakhir: Solusi ‘Mukbang’ Prabowo hingga Disabilitas yang Jadi Token

5. Polusi Udara yang Belum Dapat Sorotan 

Jakarta punya masalah besar terkait polusi udara. Pada tahun 2023 Jakarta beberapa kali mengalami kualitas udara terburuk di dunia dengan rata-rata nilai air quality index 120 hingga 170, yang berarti kategori tidak sehat. 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian lewat Tempo.co mengatakan salah satu penyumbang terbesar polusi udara Jakarta adalah hasil pembuangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Salah satu PLTU di sekitar Jakarta adalah PLTU Suralaya yang memiliki delapan pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.440 MW, terbesar di antara belasan yang ada di sekitaran Jakarta. 

Dalam debat Minggu lalu, isu polusi udara juga sempat disinggung. Sayangnya, tiga paslon yang bertanding belum bisa menjelaskan solusi apalagi secara spesifik membahas penanganan pencemaran udara yang berasal dari PLTU. Sebaliknya yang ditawarkan terutama oleh paslon nomor urut 1 adalah dengan penanaman tiga juta pohon. 

“Tidak ada penjelasan logis dan realistis yang dijelaskan, misalnya kita akan evaluasi ke PLTU yang ada di sekitar Jakarta. Tidak ada percakapan itu saat debat,” ucap Uli. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *