Culture Screen Raves

‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’ Bongkar Cara Perusahaan Bikin Kamu Belanja Terus

Belanja, belanja, belanja. Adiksimu dan manusia hari ini untuk belanja terus ternyata bukan karena kehendak sendiri. Rahasia besar di baliknya, dibongkar dalam dokumenter ini.

Avatar
  • January 22, 2025
  • 6 min read
  • 921 Views
‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’ Bongkar Cara Perusahaan Bikin Kamu Belanja Terus

Bahagia itu sesederhana mendapatkan paket belanja yang kita tunggu-tunggu sampai di depan rumah kita. Berkat berbagai situs e-commerce, kebahagiaan kecil begitu mudah diraih oleh siapa saja. Tanpa perlu repot keluar rumah dan menghabiskan waktu serta biaya, apa pun yang kita inginkan bisa datang dalam hitungan jam saja. Pilihan yang ditawarkan juga banyak dan beragam. Harganya pun harga yang relatif lebih murah dari toko luring. Ini yang bikin kegiatan belanja online jadi semakin menyenangkan.

Namun di tengah euforia belanja online ada realitas yang ternyata sering luput kita sadari. Saking mudahnya berbelanja, kita terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan (overconsumption). Kita jadi punya keinginan lebih tinggi untuk membeli sesuatu bahkan untuk barang yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan.

 

 

Dokumenter Netflix berjudul Buy Now! The Shopping Conspiracy berusaha mengangkat realitas ini, tetapi dengan sentuhan yang lebih kritis. Dibandingkan menyalahkan individu atas perilaku konsumtif mereka, Nic Stacey, sutradara dan penulis naskah justru mengkritik habis-habisan perusahan besar yang ternyata jadi biang kerok lahirnya perilaku berbahaya ini.

Tetapi membuat para pembeli ingin terus menerus berbelanja, tentunya bukan hal gampang. Korporasi harus putar otak untuk merumuskan strategi produksi dan pemasaran mereka demi membuat para pembeli ketagihan. Dalam dokumenter berdurasi satu jam 24 menit ini, strategi tersebut dirangkum dalam lima cara jitu:

1. Sell More

Manusia sebenarnya bisa hidup bertahun-tahun dengan baju beberapa helai saja dan satu handphone yang dipakai sampai rusak. Tapi dengan gaya hidup “hemat” ini, perusahaan tidak bisa dapat untung. Untuk bisa mendapatkan keuntungan, perusahaan-perusahaan pun menciptakan permintaan atas barang yang sebelumnya tidak ada. Caranya adalah dengan memasarkan produk-produk baru mereka sebagai sesuatu yang penting, trendi, atau dapat mengubah hidup.

Mantan presiden Adidas Eric Liedtke bilang dengan menggaet selebriti, membuat pameran, story telling, dan pesan-pesan positif yang disesuaikan dari riset konsumen mereka, para pelaku usaha terutama di industri fesyen menciptakan objek keinginan (object of desire). Ini yang bikin barang-barang baru diproduksi terus menerus tanpa henti dan disesuaikan untuk semua kalangan. Akibatnya industri fesyen banyak berkontribusi pada limbah tekstil karena 190.000 pakaian diproduksi setiap menitnya.

Foto oleh IMDB

Selain industri fesyen, perusahaan e-commerce juga ikut bertanggung jawab membentuk perilaku konsumtif kita dengan cara memanipulasi keinginan berbelanja. Maren Costa, mantan staf perancang pengalaman pengguna di Amazon misalnya bilang setiap pixel di layar e-commerce terus dioptimalkan.

Mereka terus memodifikasi kalimat, warna, ukuran, penempatan tombol tertentu untuk memengaruhi psikologi pengguna untuk membeli lebih banyak barang. Amazon misalnya menggunakan beberapa palet warna untuk menekankan potongan harga, membuat fitur “one-click buying”, dan memberikan promo pengiriman gratis bila pengguna membeli lebih dari 25 dollar Amerika untuk membuat pengguna belanja lebih banyak. Semua ini dilakukan agar kita tidak punya waktu untuk berpikir kritis saat ingin membeli sesuatu.

Baca Juga: Belajar dari Aktivisme Lokal Perempuan untuk Menjaga Lingkungan

2. Waste More

Aturan kedua untuk membuat orang-orang lebih banyak membeli adalah dengan merancang perangkat dengan masa pakai yang terbatas dan tidak dapat diperbaiki. Mantan insinyur Apple Narav Patel bilang strategi ini digunakan oleh banyak perusahaan teknologi untuk membuat produk baru mereka bisa terus dibeli. Ini antara lain adalah ponsel dengan baterai lithium tanam yang tidak dapat diganti, printer yang berhenti berfungsi meskipun memiliki tinta, dan laptop yang lebih murah untuk dibuang daripada diperbaiki

Tapi contoh paling menonjol dari strategi ini dilakukan oleh Apple. Mereka menghapuskan jack headphone mereka sehingga memaksa konsumen membeli headphone wireless. Strategi ini kemudian diikuti perusahaan-perusahaan teknologi lain seperti Samsung, namun sayangnya menurut Kyle Wiens, CEO iFixit temuan perangkat ini sangat jahat karena dirancang untuk dibuang jika mengalami kerusakan.

Selain dari industri teknologi, industri makanan, kosmetik, hingga fesyen juga berkontribusi pada pembentukan budaya “beli dan buang” ini. Anna Sacks, influencer dan pakar sampah di New York City bilang bahwa perusahaan-perusahaan membuang produk yang masih layak pakai dan tidak terjual setiap hari, yang memuncak pada masa liburan di Amerika Serikat.

Bath & Body Works misalnya dikenal karena praktik menghancurkan produk yang tidak terjual dan tidak mengizinkan orang lain untuk digunakan kembali. Bath & Body Works dengan sengaja mengosongkan kaleng-kaleng produk yang sudah tidak terpakai sebelum merusak kemasannya.

Foto oleh IMDB

Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

3. Lie More

Agar masyarakat tidak melihat mereka sebagai pihak antagonis yang bertanggung jawab atas perilaku konsumtif dan limbah, pelaku usaha berusaha memoles citra mereka dengan greenwashing. Jan Dell, ahli pengelolaan sampah membantu penonton membongkar mitos soal solusi daur ulang yang banyak digunakan oleh perusahaan penghasil makanan dan minuman kemasan.

Perusahaan-perusahaan ini membubuhkan kode Identifikasi Resin (RIC) dari angka 1 hingga 7 di bagian bawah produk plastik mereka untuk mengkomunikasikan komposisi plastik kepada konsumen. Enggak banyak yang tau kalau ternyata kode ini cuma bagian taktik pemasaran saja. Gunanya untuk memberikan rasa aman bagi konsumen bahwa produk yang mereka beli bisa didaur ulang dan enggak merusak lingkungan.

Padahal faktanya hanya 30 persen dari plastik nomor 1 dan 2 didaur ulang, nomor 3 sampai 7 jauh lebih sulit untuk digunakan kembali. Bahkan, nomor 6 dan 7 hampir tidak mungkin didaur ulang.  Selain kode RIC, greenwashing juga dilakukan lewat inisiatif keberlanjutan yang sering digembar-gemborkan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Mereka memberikan janji manis tentang kemasan biodegradable atau pengiriman netral karbon. Sayangnya upaya-upaya ini tak berarti apa-apa dibanding kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari proses produksi mereka.

4. Hide More

Untuk membuat konsumen tidak merasa bersalah membeli banyak barang baru, perusahaan-perusahaan berstrategi untuk menyembunyikan dosa-dosa mereka. Bersama dengan Jim Puckett yang dijuluki “James Bond of Waste”, dokumenter ini menunjukkan bagaimana produksi tinggi barang-barang elektronik membuat negara macam Amerika menghasilkan 5 miliar pon sampah setiap tahunnya, sebagian besar terdiri dari barang-barang teknologi dan mode cepat yang dibuang.

Dalam investigasi yang dilakukan Puckett, ketika sampah elektronik makin menggunung, negara-negara di Barat seperti Amerika dan Jerman membuang sampah-sampah ini dikirim ke negara-negara berkembang seperti Thailand. Di sana, barang-barang yang mengandung logam berat, kadmium, timbal, dan merkuri tinggi tersebut dibongkar oleh para pekerja dengan perlengkapan keamanan seadanya. Hal ini berdampak pada kesehatan apalagi setelah dibongkar sisa-sisa limbah elektronik juga dibiarkan menumpuk saja.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada industri fesyen. Desainer Chloe Asaam mengungkapkan bahwa banyak pakaian yang disumbangkan oleh berbagai merek diekspor ke Ghana. Tidak sedikit ekspor ini dilakukan dalam bentuk kampanye terselubung.

 Misalnya saja H&M membuat kampanye daur ulang limbah tekstil dengan mengajak para konsumennya mendonasikan pakaian bekas mereka untuk bisa mendapatkan diskon harga. Pada kenyataannya, pakaian bekas ini tidak pernah dan negara ini tidak pernah didaur ulang tapi justru dikirim ke Ghana. Ini membuat Pantai-pantai lokal di sana penuh oleh limbah tekstil.

Foto oleh IMDB

5. Control More

Cara terakhir yang tak kalah jitu adalah dengan mengkonsolidasi kontrol penuh atas narasi, perilaku konsumen, dan bahkan pembuatan kebijakan. Melalui kekuatan finansial yang sangat besar, perusahaan membentuk wacana publik, mempengaruhi segala hal mulai dari peraturan lingkungan seperti Paris Climate Change Agreement hingga kepercayaan konsumen.

Namun satu hal penting yang tak boleh luput dilakukan untuk memuluskan jalan. Mulailah dari dalam, yaitu dengan mengikat para pekerjanya dengan kontrak perusahaan. Ini dilakukan agar jika pekerja mulai memberontak, perusahaan bisa dengan mudah memecat mereka.

Konsolidasi kontrol ini sangat penting karena perusahaan tidak membutuhkan orang-orang yang tidak mau diajak bekerja sama. Mereka tidak peduli atas bencana lingkungan yang mereka timbulkan. Dipikiran mereka hanya keuntungan.

Tindakan individu tidak cukup untuk mengatasi skala masalah ini. Diperlukan perubahan sistemik yang melibatkan perusahaan untuk bertanggung jawab, mengurangi produksi, dan memprioritaskan perbaikan dan daya tahan dalam desain produk. Karena itu, menjadi penting bagi kita semua menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan-perusahaan ini secara kolektif.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *