Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi
Puluhan ribu massa memadati kawasan Gedung DPR pada (28/8), dari mahasiswa, buruh hingga pelajar SMP dan STM. Di tengah keramaian itu, puluhan pelajar ditahan sebelum sempat bergabung ke aksi.
Di Stasiun Palmerah, salah satu titik transit utama, aparat menahan pelajar yang baru tiba. Di tempat terpisah di Bekasi, sebuah video yang beredar di media sosial dari akun @AliansiRakyatMelawan memperlihatkan empat polisi bermotor menghadang truk bak terbuka berisi puluhan pelajar. Begitu truk dihentikan, anak-anak panik, berteriak, bahkan mencoba menghindar. Seorang polisi terdengar menekan mereka: “Diem ga, diem ga!”
Polisi menyatakan langkah ini bertujuan mencegah kekacauan, mengacu pada pengalaman aksi (25/8) yang membuat aparat kewalahan. Pada aksi lalu, keikutsertaan pelajar SMP dan STM membuat polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstran.
Baca juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Justru Ramai-ramai WFH
Hak Anak dalam Demonstrasi
Sebenarnya secara hukum, hak anak untuk ikut serta dalam demonstrasi diakui. Pasal 28E UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Hak ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menjamin warga negara untuk menyampaikan aspirasi secara damai.
Tak cuma itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan, anak-anak boleh ikut unjuk rasa asalkan mendapat perlindungan yang layak. “Dalam undang-undang, anak-anak punya hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Itu hak asasi,” ujar Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara pada 2019, dilansir dari Kompas
Namun praktik lapangan sering berbeda. CNN Indonesia melaporkan demonstrasi pelajar kerap dibayangi kekerasan aparat, termasuk pembubaran paksa, penyemprotan gas air mata, dan penangkapan tanpa pendampingan hukum.
Kondisi ini menimbulkan kontradiksi antara perlindungan hukum yang dijamin konstitusi dan pengalaman anak-anak yang turun ke jalan. Hak untuk menyampaikan pendapat dijamin, tetapi mekanisme perlindungan yang jelas dalam praktik aparat belum sepenuhnya ada.
Baca juga: Mengais Rupiah di Tengah Gelisah, Perempuan Pedagang dalam Aksi Massa
Kekosongan SOP Penanganan Anak
Kepolisian RI sendiri memiliki aturan berupa Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa (Dalmas). Di dalamnya diatur tahapan pengendalian kerumunan, mulai dari langkah preventif, pendekatan persuasif, hingga pembubaran massa. Namun, peraturan itu tidak menyebutkan secara spesifik bagaimana menangani demonstran anak.
Akibatnya, pelajar di bawah umur sering diperlakukan sama seperti demonstran dewasa. Mereka digiring ke kantor polisi, ditangkap massal, bahkan menghadapi gas air mata. Padahal UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menekankan perlakuan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk hak atas pendampingan hukum dan perlindungan dari kekerasan fisik maupun psikis.
Fenomena ini menunjukkan adanya jurang antara aturan formal dan praktik di lapangan. Penangkapan pelajar dalam demonstrasi tidak sekadar masalah prosedural, tapi juga menunjukkan lemahnya mekanisme perlindungan anak yang terlibat dalam aksi publik.
Keterlibatan pelajar SMP dan STM dalam aksi bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak gelombang #ReformasiDikorupsi 2019, pelajar menjadi bagian dari gerakan protes yang menandai keresahan generasi muda. Kehadiran mereka memperlihatkan spektrum protes yang lebih luas, sekaligus menyoroti kesenjangan perlindungan hukum yang masih ada.
Alih-alih ditangani dengan prosedur yang mempertimbangkan usia, anak-anak kerap menghadapi risiko fisik dan psikologis. Padahal, keterlibatan mereka dalam demokrasi seharusnya dilihat sebagai hak konstitusional, bukan ancaman yang harus dibubarkan dengan represi.
















