December 12, 2025
Issues Politics & Society

Ketika Diplomasi Makin Gencar, Ke Mana Perspektif Gender di Tahun Pertama Prabowo?

Setahun pertama pemerintahan Prabowo menunjukkan diplomasi Indonesia yang kian fokus pada keamanan dan investasi, sementara perspektif gender pelan-pelan menghilang dari panggung dan kebijakan.

  • December 12, 2025
  • 6 min read
  • 82 Views
Ketika Diplomasi Makin Gencar, Ke Mana Perspektif Gender di Tahun Pertama Prabowo?

Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia perlahan membangun kebiasaan baru dalam politik luar negerinya—tidak melulu bicara dagang, keamanan, dan geopolitik, tetapi juga membawa isu kesetaraan gender ke forum internasional. Di dalam negeri, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pun mulai menata kebijakan pengarusutamaan gender agar kerja diplomasi lebih inklusif—bukan hanya sebagai jargon, tetapi sebagai cara pandang yang memengaruhi prioritas, program, bahkan budaya organisasi.

Karena itu, satu tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto memunculkan pertanyaan, apakah arah ini diteruskan, atau justru meredup? Tulisan ini mencoba menengok kembali praktik politik luar negeri Indonesia selama setahun terakhir dengan kacamata sederhana: apakah perspektif gender masih terlihat dalam dokumen, pidato, dan keputusan diplomasi, atau hanya tersisa sebagai catatan kaki?

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Jual Kecap Prabowo di Isu Lingkungan

Evaluasi paling mudah dimulai dari dokumen dan pidato resmi, yakni Asta Cita dan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) 2025, lalu disandingkan dengan praktik diplomasi yang menonjol selama tahun pertama.

Di atas kertas, Asta Cita memuat komitmen untuk “memastikan setiap kebijakan bersifat inklusif dan berperspektif gender serta memprioritaskan pemberdayaan perempuan.” Namun, ketika membaca lebih jauh, sulit menemukan sinyal kuat bahwa politik luar negeri akan dijalankan dengan kacamata gender.

Indikasi paling jelas justru datang dari hal yang sepele tapi jujur, yaitu frekuensi penyebutan. Kata “gender” hanya muncul tujuh kali dari total 88 halaman, sementara “perempuan” disebut sebelas kali. Sebagai pembanding, kata “ekonomi” berulang hingga sekitar seratus kali. Ini bukan sekadar soal hitung-hitungan kata, tetapi soal fokus mengenai apa yang dianggap mendesak dan pantas diulang.

Nada serupa tampak dalam PPTM 2025 yang disampaikan Menteri Luar Negeri Sugiono. Dalam pidato itu, pengarusutamaan gender tidak muncul, baik saat memetakan situasi global maupun ketika menjelaskan arah diplomasi Indonesia. Kata “diplomasi” disebut paling sering (34 kali) disusul “ekonomi” (23 kali).

Absennya isu gender menunjukkan minimnya perhatian pada isu gender, sekaligus hilangnya kesinambungan dengan kebijakan periode sebelumnya yang menempatkan gender sebagai bagian dari politik luar negeri Indonesia.

Dalam praktiknya, politik luar negeri Prabowo cenderung menampilkan pola diplomasi maskulin yang berorientasi kuat pada isu keamanan dan investasi ekonomi. Selain itu, diplomasi di bawah kendali langsung Prabowo didominasi oleh aktivisme, summit diplomacy, modernisasi pertahanan, dan diversifikasi kemitraan strategis.

Sepanjang tahun pertama, Prabowo melakukan 36 kunjungan luar negeri ke 25 negara dengan fokus pada pembelian alat utama system senjata (alutsista), kerja sama pertahanan, dan negosiasi investasi asing. Langkah ini menggeser orientasi politik luar negeri dari dimensi normatif ke pragmatisme yang berorientasi pada keuntungan strategis.

Lalu bagaimana dengan representasi perempuan dalam wajah diplomasi Indonesia? Di sini, gambarnya tidak banyak berubah. Dari 41 duta besar yang dilantik Prabowo sepanjang 2025 (Maret dan Oktober), hanya tujuh yang perempuan, ditambah satu 1 wakil duta besar perempuan. Artinya, duta besar perempuan sekitar 17 persen dari total pelantikan, atau masih di bawah 20% seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski stagnasi ini bukan semata “kesalahan” satu pemerintahan, ketiadaan dorongan baru tetap layak dicatat, apalagi ketika pemerintah mengklaim komitmen inklusif.

Dari sisi internal Kementerian Luar Negeri, setahun terakhir juga belum menunjukkan lompatan berarti. Tidak terlihat kebijakan baru, misalnya peraturan menteri, surat edaran, atau inisiatif kelembagaan, yang melanjutkan capaian sebelumnya, seperti panduan penganggaran responsif gender (2015) dan peraturan tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender (2020). Tanpa pembaruan kebijakan dan insentif kelembagaan, perspektif gender mudah menjadi “program tambahan” yang kalah oleh target-target yang dianggap lebih mendesak.

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Institusi Pendidikan Tertiup Angin Kekuasan

Mengapa perspektif gender meredup?

Pertanyaan berikutnya, mengapa isu gender seolah menghilang dari panggung politik luar negeri? Ada beberapa faktor yang saling menguatkan.

Hilangnya perhatian pada isu gender dalam politik luar negeri di era Prabowo tampaknya berkaitan dengan dua hal. Pertama, keterlibatan presiden yang sangat kuat dalam menyusun sekaligus menjalankan agenda diplomasi. Kedua, rekam jejak Prabowo yang selama ini tidak dikenal menempatkan isu gender sebagai prioritas. Kombinasi keduanya membuat perspektif gender tidak lagi tampak menonjol dalam arah maupun praktik politik luar negeri Indonesia.

Situasinya berbeda dengan periode Joko Widodo, ketika Kementerian Luar Negeri relatif lebih leluasa merumuskan agenda diplomasi karena keterlibatan presiden tidak sedominan sekarang. Di bawah Prabowo, politik luar negeri terlihat lebih personal: presiden aktif memimpin arah diplomasi dan keputusan strategis. Pola ini, mau tidak mau, memperkecil ruang inisiatif Kemlu, baik di tingkat institusi maupun individu diplomat, untuk mendorong agenda yang bersifat normatif, termasuk pengarusutamaan gender.

Dari sisi kelembagaan, kontrol presiden yang tinggi juga berpotensi menyulitkan Kemlu menerjemahkan Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional ke ranah politik luar negeri. Sementara itu, di level kepemimpinan, kedekatan menteri luar negeri dengan presiden—ditambah minimnya rekam pengalaman pada isu kesetaraan gender—membuat dorongan internal untuk diplomasi yang lebih peka gender cenderung melemah.

Selain faktor politik, ada pula faktor kultural yang ikut membentuk arah diplomasi. Ketika politik luar negeri dipahami terutama lewat lensa “keamanan” dan “kepentingan strategis”, isu gender dan agenda emansipasi sering dianggap tambahan, bukan bagian dari inti. Akibatnya, isu-isu tersebut mudah tersisih dari pembahasan maupun prioritas kerja.

Jika kecenderungan ini berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan peran yang sempat mulai dibangun dalam satu dekade terakhir: menjadi salah satu negara yang aktif mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat regional dan internasional. Stagnasi ini juga dapat melemahkan kapasitas Kemlu untuk membangun institusi diplomasi yang inklusif dan lebih responsif terhadap keadilan sosial—termasuk keadilan gender.

Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo memperlihatkan tanda-tanda meredupnya isu gender dalam praktik politik luar negeri Indonesia. Sentralisasi kendali diplomasi pada presiden, orientasi diplomasi yang lebih “maskulin” dan berfokus pada keamanan-ekonomi, serta minimnya inisiatif kelembagaan di Kemlu menjadi kombinasi yang membuat agenda kesetaraan gender tidak lagi menonjol. Bila terus terjadi, Indonesia berpotensi tertinggal dari tren global yang semakin memberi ruang pada diplomasi yang lebih peka pada isu-isu inklusi.

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Agenda Perempuan (Masih) Tak Masuk Prioritas Negara

Karena itu, pemerintah perlu kembali memberi tempat yang lebih jelas bagi perspektif gender dalam politik luar negeri. Setidaknya ada empat langkah yang bisa dipertimbangkan. Pertama, memberi ruang yang lebih otonom bagi Kemlu untuk merumuskan arah dan dinamika diplomasi, sehingga agenda normatif tidak selalu kalah oleh target jangka pendek.

Kedua, memperkuat pengarusutamaan gender melalui kebijakan dan mekanisme kerja yang nyata—agar ia hadir dalam perencanaan, program, dan evaluasi, baik internal maupun eksternal. Ketiga, meningkatkan representasi diplomat perempuan di posisi-posisi puncak sekaligus memperluas keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan strategis. Keempat, mengintegrasikan isu gender ke dalam agenda prioritas luar negeri—bukan sebagai sisipan, melainkan sebagai bagian dari cara Indonesia merancang kerja sama keamanan, ekonomi, dan kemitraan internasional.

Pada akhirnya, ukuran keberhasilan diplomasi tidak cukup dilihat dari jumlah kunjungan, nilai investasi, atau banyaknya kontrak kerja sama. Tanpa perspektif gender, diplomasi mudah menjadi urusan segelintir agenda dan segelintir aktor—sementara dampaknya tidak merata. Mengembalikan gender ke dalam arsitektur politik luar negeri bukan soal “menambah isu”, melainkan memastikan keputusan strategis—dari keamanan hingga ekonomi—punya ukuran keberhasilan yang lebih utuh: siapa yang ikut diuntungkan, siapa yang terlindungi, dan siapa yang punya ruang setara untuk terlibat.

Wendy Andhika Prajuli adalah pengajar di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara (Binus). Ia menaruh perhatian pada riset isu gender dalam kebijakan luar negeri dan diplomasi.

About Author

Wendy Andhika Prajuli