Prinsip ‘Polluter Pays’: Menuntut Keadilan atas Polusi dan Krisis Iklim
Prinsip "polluter pays" menuntut pencemar lingkungan bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka sebabkan, bukan melemparkan beban ke negara berkembang.
Pertengahan September lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap sebuah perusahaan tekstil di Pasuruan, Jawa Timur, yang telah membuang limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) tanpa izin dan mencemari sungai. Pengadilan kemudian memerintahkan perusahaan tersebut, PT Soedali Sejahtera, memenuhi tanggung jawab sebagai pencemar dan membayar Rp48 miliar kepada negara.
Gugatan ganti kerugian lingkungan tersebut merupakan contoh penerapan prinsip polluter pays (pencemar membayar), sebuah praktik umum yang meminta pihak-pihak penghasil polusi untuk menanggung biaya pengelolaan pencemaran untuk mencegah kerusakan pada kesehatan manusia atau lingkungan hidup.
Prinsip polluter pays merupakan serangkaian prinsip yang luas untuk memandu pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Panduan ini secara formal diluncurkan secara global sebagai Deklarasi Rio 1992 pada Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED), atau dikenal juga sebagai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi.
Polluter pays menjadi inti kebijakan untuk mencegah pencemaran sekaligus pemulihan lingkungan yang tercemar, dengan skema pembayaran yang beragam: pajak untuk penggunaan produk maupun layanan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, penetapan izin batas pencemaran, atau penawaran insentif agar pelaku pencemaran berhenti merusak lingkungan. Kemudian negara-negara turut menerapkan prinsip ini ke dalam instrumen hukum, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan
Polluter Pays di Indonesia
Di Indonesia, prinsip polluter pays diatur salah satunya dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan, ”Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau tindakan tertentu”.
Regulasi lain yang menjadi acuan adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 13/2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Muhammad Reza Cordova, profesor dan peneliti lingkungan hidup dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan aturan terkait pencemar membayar ini sudah cukup, baik yang eksplisit dan implisit, namun pelaksanaannya belum berjalan dengan optimal.
“Terkait dengan polluter pays principle, yang bisa dilakukan adalah penegakan hukum dan implementasinya secara tegas, tanpa pandang bulu. Ini perlu kerja sama berbagai pihak dan sektor, baik pemerintah, industri, juga masyarakat,” ujarnya.
Contoh penegakan hukum yang tidak optimal adalah pada kasus pencemaran udara oleh aktivitas industri manufaktur dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di wilayah Jabodetabek. Warga Jakarta sebetulnya telah memenangkan gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2021 agar presiden, menteri dalam negeri, menteri lingkungan hidup, dan menteri kesehatan memperbaiki sistem pengendalian udara bersih di Jakarta.
Namun, para tergugat tersebut tidak mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini. Presiden berikut para menteri yang digugat malah mengajukan kasasi pada 2023 ke Mahkamah Agung (MA), dengan alasan bahwa industri dan PLTU tidak menyumbang udara kotor secara signifikan. Menolak pengajuan kasasi tersebut, MA memerintahkan pengetatan baku mutu udara serta pengawasan terhadap pemerintah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat terkait inventarisasi emisi lintas batas.
Sampai sekarang, keputusan MA tersebut belum dijalankan. Tingkat polusi udara di Jakarta masih termasuk dalam kategori tidak sehat, 9.1 kali lebih buruk dari batas yang telah ditentukan Badan Kesehatan Dunia (WHO), berdasarkan data terakhir pada Agustus 2024. Secara global, Indonesia berada di peringkat keenam negara penyumbang emisi karbon dunia, menurut laporan Global Carbon Project pada 2022. Peningkatan emisi terjadi secara signifikan sejak 1990, dengan kontribusi terbesar dari sektor industri, transportasi, serta pembangkit listrik dan panas.
Baca Juga: Transisi Energi yang Berkeadilan: Mengapa Perempuan Harus Terlibat?
Polluter Pays dan Negara-negara Kaya yang Mencemari
Dalam setiap penyelenggaraan Conference of Parties (COP), konferensi tahunan untuk mencegah dampak pemanasan iklim global, prinsip polluter pays selalu dibicarakan. Penerapan prinsip ini diharapkan bisa mengendalikan dan menekan emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan kerusakan iklim. Para aktivis dan ilmuwan menuntut negara-negara maju untuk menjalankan prinsip ini karena mereka adalah penyumbang emisi terbesar. Sejumlah studi menunjukkan bahwa Amerika Serikat, China, dan negara-negara Uni Eropa bertanggung jawab atas 83 persen emisi pada 2022.
Ketiga wilayah tersebut menghasilkan emisi lewat pembakaran bahan bakar fosil demi memenuhi berbagai kebutuhan. Dari emisi tersebut, AS saja telah menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar US$1,9 triliun sepanjang 1990 sampai 2014.
Negara-negara ekonomi besar ini telah dituntut untuk membayar biaya pengendalian dampak lingkungan akibat emisi. Pada Kesepakatan Kopenhagen 2009, 43 negara maju, termasuk AS, berjanji untuk bersama-sama memobilisasi $100 miliar per tahun pada 2020 untuk “memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang”. Namun, kontribusi Australia, Kanada, dan AS belum cukup, karena pendanaan yang mereka berikan kurang dari 20 persen.
Masalahnya, yang paling terdampak dari emisi ini, adalah masyarakat negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Negara kecil dan berkembang lebih rentan mengalami dampak krisis iklim karena keterbatasan dari segi infrastruktur dan keuangan dalam beradaptasi maupun menangani krisis tersebut.
Baca Juga: Kalang Kabut Pengelolaan Sampah Pembalut, Bagaimana Mengatasinya?
Secara nyata, kondisi ini berdampak pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu, misalnya, menyebabkan badai lebih sering terjadi sehingga merusak tempat tinggal warga, merenggut korban jiwa, hingga menimbulkan kerugian ekonomi. Krisis air dan kekeringan berkepanjangan juga berdampak pada ketahanan pangan dan mengakibatkan malnutrisi.
Dana dari prinsip polluter pays akan bermanfaat bagi negara-negara yang rentan terhadap krisis iklim ini, misalnya untuk membangun infrastruktur sebagai perlindungan dari bencana alam dan naiknya permukaan laut, atau pemulihan ekosistem terumbu karang. Lalu membiayai masyarakat yang kesehatannya terdampak karena perubahan iklim, serta mendukung petani dan nelayan yang penghasilannya tak menentu karena bergantung pada iklim.