Community

Potret Kusam Jurnalis Perempuan di Lampung

Dari polling terbuka Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung tergambar, jurnalis perempuan masih rawan diskriminasi dan perilaku rasis, serta pelecehan seksual secara verbal atau fisik saat menjalani pekerjaannya.

Avatar
  • May 27, 2021
  • 5 min read
  • 783 Views
Potret Kusam Jurnalis Perempuan di Lampung

Pada bulan Mei 2021 kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengadakan polling terbuka guna mengetahui kondisi para jurnalis perempuan. Beranjak dari kasus yang dialami jurnalis perempuan Tuti Nurkhomariyah yang mendapat ancaman verbal dan intervensi oleh pejabat pemerintahan di Lampung, riset kecil ini menjadi langkah pendahuluan untuk memotret apa yang terjadi, untuk nantinya ditindaklanjuti secara mendalam. Persoalan itu antara lain kekerasan, pelecehan seksual, diskriminasi, dan lainnya.

Sedikitnya ada 45 jurnalis perempuan di Lampung yang terdata oleh AJI,  bekerja di pelbagai perusahaan media, baik lokal maupun nasional. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 jurnalis perempuan terverifikasi sebagai jurnalis aktif (bukan mantan jurnalis) yang bersedia mengisi kuesioner. Ada dua bagian kuesioner yang diberikan: bagian pengalaman, dan bagian persoalan kondisi terkini yang dirasakan dengan memilih opsi sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, dan sangat setuju. Setelah kuesioner disusun dan data sampel terkumpul, kuesioner disebarkan secara online pada 11-16 Mei. Adapun hasilnya dipaparkan sebagai berikut.

 

 

 

37,9% Jurnalis Perempuan Terima Upah di Bawah UMP

Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung ditetapkan sebesar Rp2.432.001. Hasil polling, 10 dari 30 jurnalis perempuan menerima upah di kisaran Rp1 juta – Rp2,3 juta. Dan satu jurnalis perempuan mendapat upah kurang dari Rp1 juta per bulan. Selebihnya, 63,3% sesuai UMP. Lalu, 13 jurnalis perempuan mendapat upah sekitar Rp2,4 juta – Rp3,7 juta. Empat jurnalis perempuan diupah Rp3,8 juta – Rp5 juta, serta dua jurnalis perempuan menerima upah lebih dari Rp5 juta per bulan. Dan sisi lain, dua dari 30 jurnalis perempuan pernah mengalami pemotongan upah.

Selanjutnya, sebanyak 20 jurnalis perempuan (66,7%) mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3%) tidak memperoleh jaminan kesehatan. Jaminan ketenagakerjaan diterima oleh 17 jurnalis perempuan (56,7%). Selebihnya, 13 jurnalis perempuan di Lampung (43,3%) tidak memperoleh jaminan ketenagakerjaan dari kantornya.

Ketika ditanya soal cuti hamil, sebanyak 13 dari 30 jurnalis perempuan (43,3%) menjawab mendapatkan cuti hamil. Namun, terdapat satu jurnalis perempuan yang tidak mendapatkan hak cuti hamil. Sisanya, 16 orang menjawab belum pernah hamil.

Selain memenuhi pekerjaan utama, sebanyak 22 jurnalis perempuan (73,3%) pernah mendapatkan pekerjaan tambahan. Dari angka tersebut, hanya 12 jurnalis perempuan yang mendapatkan upah tambahan. Sisanya, 45,5% (10 jurnalis perempuan) tidak menerima upah tambahan.

Secara umum, sebanyak 56,7% (17 jurnalis perempuan) tidak setuju bahwa perusahan mereka tak memenuhi hak-hak pekerja. Lima orang atau 16,7% sangat tidak setuju, netral (tujuh orang atau 23,3%), dan satu orang setuju. 

 

Peningkatan Kompetensi dan Karir

Di tempat kerja, 20 dari 30 jurnalis perempuan yang disurvei mendapatkan peningkatan kompetensi, seperti pelatihan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3%) tidak memperoleh peningkatan kompetensi dari perusahaan media. Sementara 25 jurnalis perempuan atau 83,3% menyebut terdapat jenjang karier di perusahaan masing-masing. Namun, lima dari 30 jurnalis perempuan (16,7%) menyebut tak ada jenjang karier. 

Jurnalis perempuan merasa berkembang secara pengetahuan di tempat bekerja. Ketika ditanya mengenai hal ini, sebanyak 11 orang tidak setuju bahwa mereka tak berkembang. Kemudian, lima orang setuju dan netral sebanyak tiga orang.

 

Pelecehan Seksual dan Diskriminasi di Kantor

Secara umum, para responden tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik di tempat bekerja. Namun, dua dari 30 jurnalis perempuan mendapatkan pelecehan seksual secara verbal atau fisik di kantornya. Tak hanya itu, lima wartawati mengalami diskriminasi dan perilaku rasis di tempat bekerja. Saat menjalankan kerja-kerja jurnalistik, sebanyak 11 jurnalis perempuan (36,7%) pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal atau fisik. Dua jurnalis perempuan menerima kekerasan, serta sembilan reporter perempuan mengalami diskriminasi dan rasialisme ketika peliputan.

Empat dari 30 jurnalis perempuan sangat setuju bahwa mereka merasa tidak nyaman ketika bercanda mengarah ke pelecehan seksual secara verbal. Dan tujuh jurnalis perempuan menyatakan setuju. Sedangkan responden yang memilih netral sebanyak sembilan orang. Sisanya, enam responden tidak setuju, dan empat responden menjawab sangat tidak setuju.

Kemudian, mayoritas responden merasa masih rawan menjadi korban pelecehan seksual saat peliputan, yakni 13 jurnalis perempuan atau 43,3%. Tujuh orang menjawab setuju. Lalu, satu orang menjawab sangat tidak setuju, dan dua orang tidak setuju,  

Sebanyak dua responden menyatakan setuju bahwa mereka masih mengalami diskriminasi di kantor. Sisanya, tujuh responden atau 23,3% memilih netral, sementara delapan orang memberi jawaban sangat tidak setuju, dan 13 orang atau 43,3% yang menjawab tidak setuju. Hal ini menunjukkan mereka tidak mengalami diskriminasi di tempat bekerja.

 

Beban Kerja Tinggi Berdampak Sering Keliru dalam Pekerjaan

Sebanyak delapan wartawati (26,7%) merasa beban pekerjaannya tinggi. Sedangkan yang netral sebanyak 13 jurnalis perempuan. Tujuh orang merasa beban pekerjaannya tidak tinggi, serta dua orang merasa beban pekerjaannya sama sekali tidak tinggi.

Beban kerja oleh perusahaan sudah sesuai upah. Tiga dari 30 jurnalis perempuan (10%) menjawab sangat tidak setuju. Mereka merasa beban pekerjaan tidak sesuai dengan upah. Kemudian, 11 orang tidak setuju. Sedangkan yang menjawab setuju sebanyak enam orang, dan 10 jurnalis perempuan (33,3%) memilih netral. 

Pada sudut lain, bagi yang merasa beban kerja tinggi berdampak sering salah dan keliru dalam pekerjaan. Sebanyak 11 orang menjawab tidak setuju dan satu orang sangat tidak setuju. Bagi yang merasa setuju sebanyak delapan orang, sangat setuju satu orang, dan memilih netral sebanyak sembilan orang.

Selain kekeliruan, 10 jurnalis perempuan atau 33,3% setuju, serta satu orang sangat setuju bahwa beban kerja yang tinggi berdampak kepada kesehatan dan mental. Akan tetapi, 12 orang tidak setuju, sangat tidak setuju (satu orang). Pilihan yang netral sebanyak enam orang atau 20%.

 

 Mayoritas Jurnalis Perempuan Pernah Stres

Sedikitnya ada 10 dari 30 jurnalis perempuan (33,3%) telah berserikat (bergabung dengan organisasi). Sisanya, 20 jurnalis perempuan di Lampung tidak berserikat. Menanggapi pernyataan kantor yang tidak demokratis, dua jurnalis perempuan setuju bahwa kantornya tidak demokratis, sementara tujuh responden memilih netral. Namun 15 responden tidak setuju dengan pernyataan tersebut, dan bahkan ada enam responden menjawab sangat tidak setuju.

Sementara itu sebanyak 26 dari 30 jurnalis perempuan (86,7%) pun mengaku pernah merasa stres karena pekerjaan. Hanya empat orang yang menjawab tidak pernah mengalami stres. Sebagai solusinya, ada 15 orang atau 50% setuju bahwa waktu liburan dipercaya sebagai solusi agar tidak stres. Bahkan, 11 orang atau 36,7% menjawab sangat setuju waktu liburan diperlukan agar tak stres. Meski demikian, dua orang atau 6,7% menjawab tidak setuju, dan sisanya dua orang atau 6,7% memilih netral. ***

 

 

 

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *