Praktik Perkawinan Anak di Indonesia pada Tahap Mengkhawatirkan
Perkawinan anak adalah jalan pembuka bagi pelucutan hak-hak anak seperti praktik kekerasan seksual, perenggutan waktu bermain, pembatasan akses pendidikan, dan masih banyak lagi.
Melihat banyaknya kampanye nikah muda, terutama di media sosial, dan masih adanya masyarakat yang menganggap perkawinan di usia anak hanya memiliki kebaikan semata tanpa cacat, saya merasa perlu menuangkan pandangan saya terkait isu perkawinan anak yang, bagi sebagian orang, penuh kontroversi.
Beberapa waktu lalu, pada malam hari, saya membeli nasi goreng di Jl. Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Sembari menunggu pakdhe mengolah nasi, ada dua anak laki-laki dan perempuan menghampiri pakdhe penjual nasi goreng. Mereka berdua berniat menukarkan uang logam dengan uang kertas yang lebih praktis. Uang logam memang lebih bermanfaat untuk penjual nasi goreng karena dapat digunakan sebagai stok uang kembalian.
Awalnya, saya mengira kedua anak tersebut adalah teman sepermainan, namun berdasarkan penjelasan penjual nasi goreng setelah keduanya pergi, anak-anak tersebut adalah sepasang suami-istri.
“Mereka berdua adalah suami-istri. Usianya belum genap 17 tahun. Kecil-kecil sudah nyari duit. Mereka baru selesai ngamen, tuh.” jelas budhe, istri penjual nasi goreng yang biasa membantu pakdhe berjualan. Jika dilihat dari perawakannya, kedua anak tersebut memang belum pantas untuk disebut suami-istri. mereka masih sangat belia. Mereka seharusnya masih belajar di sekolah.
Sesungguhnya kasus-kasus perkawinan anak yang diikuti oleh dampak-dampak kehidupan anak seperti ini sudah sering terjadi. Jika kita bersedia meluangkan waktu untuk merambah internet, banyak sekali kasus serupa yang akan kita jumpai. Pun, sudah banyak penelitian terkait isu ini yang berakhir pada kesimpulan bahwa perkawinan anak memiliki dampak buruk dalam bidang-bidang vital seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Praktik perkawinan anak selalu diikuti oleh dampak buruk. Perkawinan anak adalah jalan pembuka bagi pelucutan hak-hak anak seperti praktik kekerasan seksual, perenggutan waktu bermain, pembatasan akses pendidikan, dan masih banyak lagi. Tak heran jika tingkat kekerasan pada anak semakin tahun terus meningkat. Kementerian Kesehatan juga menyebut kehamilan usia muda menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu saat melahirkan (Riskesdas 2013). Indonesia masih belum ramah terhadap anak.
Selain itu, masih banyak dispensasi perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2016, ada sekitar 8.500 dispensasi praktik perkawinan anak yang disetujui oleh pengadilan. Dispensasi tersebut diajukan untuk menerobos aturan usia minimal perkawinan di Indonesia, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Praktik perkawinan anak di Indonesia sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pemerintah sebagai lembaga berwenang harus tanggap dalam menghadapi kasus ini. Menunggu bukanlah pilihan. Lagipula, menunggu apa lagi? Menunggu praktik perkawinan anak terus menggelinding sampai memunculkan dampak buruk yang lebih besar? Praktik perkawinan anak bisa menciptakan efek bola salju yang buruk.
Tak perlu ada lagi dispensasi argumen-argumen ‘menikah usia anak untuk menghindari zina’, ‘menikah usia anak diperbolehkan karena cinta satu sama lain’, dan argumen lain yang sengaja dikonstruksi untuk mendiskreditkan hak-hak universal anak sesuai Konvensi Hak Anak. Jika cinta menjadi alasan diperbolehkannya perkawinan anak, apakah cinta yang menjadi alasan tersebut memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak asasi manusia, hak berpendidikan, hak bermain, hak hidup, dan hak-hal vital lainnya?
Saya tidak mempermasalahkan pernikahan. Saya juga ingin menikah. Namun, ketika pernikahan tersebut pada akhirnya memutus hak anak untuk memperoleh pendidikan, memperburuk hubungan sosial, memperburuk kondisi kesehatan, dan berbagai masalah lain yang muncul pascapernikahan, apakah pernikahan tersebut masih layak disebut membawa kebaikan? Praktik perkawinan anak punya potensi untuk menambah angka kekerasan terhadap istri yang sudah mencapai 245.548 kasus pada 2016 menurut data Pengadilan Agama.
Beberapa kelompok dalam masyarakat masih menganggap bahwa pernikahan adalah tujuan hidup. Jika dapat dilakukan secepat mungkin, kenapa harus menunda? Begitu kira-kira. Mereka mengeluarkan argumen-argumen agamis yang mendukung pendapatnya. Namun, argumen tersebut tak cukup kuat untuk melegitimasi bahwa perkawinan anak adalah praktik yang terbaik. Yang membuatnya tidak menjadi paling baik adalah sifatnya yang represif terhadap hak-hak anak.
Dalam Islam, Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk segera menikah jika mampu secara finansial, jasmani, dan rohani, serta tidak mengganggu ibadah wajibnya. Dalam buku panduan menikah Qurrotul Ayyun karya Syaikh Muhammad At-Tihami Ibnul Madani Kanu, hukum pernikahan adalah hukum yang fleksibel. Pernikahan menjadi haram jika perempuan belum siap dalam segi jasmani maupun rohani dan laki-laki belum mampu menafkahi istrinya.
Selain itu, buku al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, seperti dikutip NU Online dalam artikel berjudul Menikah dengan Motif untuk Menghindari Zina saja mengatakan, “Apabila (calon) suami tahu bahwa ia tidak mampu untuk memenuhi nafkah atau mahar atau sesuatu yang menjadi hak istri, maka tidak halal baginya untuk menikahinya sebelum ia menjelaskannya kepada istri, atau sampai ia mengetahui bahwa dirinya mampu untuk memenuhi hak istri.”
Memutuskan praktik perkawinan bukanlah suatu yang gampang, apalagi hanya melalui keputusan yang terburu-buru dan terpaksa. Harus ada syarat-syarat mutlak dan pertimbangan matang untuk melangsungkan perkawinan tersebut karena sejatinya perkawinan adalah bersatunya dua orang secara sah menurut syariat agama. Salah satu syarat utama perkawinan adalah mampu. Meski sudah dianggap aqil-baligh, jika belum mampu, kenapa terburu-buru?
Rasulullah pernah bersabda (H.R. Bukhari), “Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.”
Berkebalikan dengan syarat tersebut, perkawinan anak lebih banyak didasari oleh hal-hal yang bersifat memaksa seperti keinginan orangtua, relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, kehamilan tidak diinginkan, dan hal lain yang umumnya mendiskreditkan anak perempuan, terutama dalam lingkungan patriarki seperti yang terjadi di Indonesia.
Pembahasan isu pernikahan anak merupakan turunan dari argumentasi untuk membela hak-hak anak, sama sekali bukan ketidaksepakatan terhadap pernikahan ataupun pembangkangan terhadap perintah agama. Melihat banyaknya mudarat yang potensial terkandung dalam perkawinan anak, maka penting untuk menjadikan isu ini sebagai prioritas, apalagi melihat konteks Indonesia yang memiliki tingkat perkawinan anak cukup tinggi.
Pemerintah perlu membuat peraturan yang ramah anak. Selain itu, lembaga formal yang diakui negara untuk memperjuangkan hak-hak anak Indonesia seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga perlu bertindak visioner dan tegas untuk menjalankan tugasnya. Semuanya perlu membuka diri untuk bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mewujudkan perlindungan anak yang lebih baik.