Dari Wibu4Planet, Kita Belajar Anak Wibu Ternyata Peduli Bumi
Wibu4Planet, proyek kreatif dari Trend Asia mendorong anak muda penggemar budaya populer Jepang untuk menyelamatkan Bumi.
Orang-orang senang sekali menyetempel teman-teman Wibu dengan beragam stereotip. Disebut aneh, anti-sosial, fanatik pada animasi dan komik—hal yang cuma cocok untuk anak-anak, dan cap merendahkan lainnya. Padahal Wibu lebih dari sekadar itu. Mereka bisa ngobrolin hal-hal serius bahkan mendorong perubahan positif untuk lingkungan sekitar.
Salah satu perubahan penting yang diusahakan teman-teman Wibu adalah mendorong penyelamatan Bumi. Inilah yang dilakukan Wibu4Planet, proyek kreatif yang dinisiasi Trend Asia, organisasi masyarakat sipil independen Indonesia. Rilis pada Februari 2024 Wibu4Planet punya ikon perjuangan Nekobu (Neko Bumi atau Kucing Bumi).
Saya sendiri berkenalan dengan Wibu4Planet pada awal Mei lalu dalam acara Anime Festival Asia Indonesia (AFA ID) di Jakarta Convention Center. Beberapa anggotanya tampil mencolok dengan cosplay karakter anime seperti Princess Mononoke, Lelouch Lamperouge dari Code Geass, hingga Zenitsu dari Demon Slayer. Namun, alih-alih bicara budaya populer Jepang, cosplayer yang membawa doujinshi alias komik karya penggemar di tangan itu, sibuk ngobrolin isu lingkungan.
Misalnya, proyek batubara Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon dan deforestasi hutan Kalimantan. Di mata mereka, dua-duanya mengancam kehidupan warga. Keseriusan mereka terhadap isu iklim semakin tergambar dari VR 360 yang dipasang di booth saat itu. Dengan menggabungkan visual Wanokuni dari One Piece dengan tambang nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, pengunjung booth Wibu4Planet bak dibawa langsung melihat kerusakan alam yang terjadi di pulau seluas 705,7 km² itu.
Baca Juga: JIPFest 2022: Melihat Pameran Sambil Jalan-jalan
Populerkan Isu Lingkungan lewat Budaya Populer Jepang
Lewat proyek kreatif ini, Trend Asia ingin mengajak anak muda pecinta budaya populer Jepang atau wibu ikut melek isu lingkungan. Enggak cuma itu, setelah kesadaran terbentuk, harapannya, anak-anak muda bisa turut mendorong perubahan terkait krisis iklim.
Cyva Ardian Pradhika, Digital Campaigner Trend Asia bilang pada Magdalene, ide awal Wibu4Planet muncul dari permasalahan soal keterlibatan Jepang di proyek transisi energi di Indonesia. Jepang memberikan dana senilai US$21,5 miliar ke Indonesia melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Uang ini ditujukan untuk mendanai pensiun dini PLTU batubara, mendorong pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dan penerapan aspek berkeadilan dalam menanggulangi risiko sosio-ekonomi dari transisi energi. Niat dari inisiasi pendanaan ini memang tampak baik dan menjanjikan. Namun, Trend Asia tak menemukan bukti konkret soal pemanfaatan energi terbarukan yang berkeadilan oleh Jepang.
“Ada masalah nih di pendanaan JETP, Jepang mempromosikan solusi palsu. Mereka masih mempromosikan transisi energi seperti co-firing biomassa, hidrogen, ammonia, lalu Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilisation and Storage (CCS/CCUS). Jadi ini cuma teknologi-teknologi yang memperpanjang energi fosil atau batu bara yang berdampak buruk pada Bumi,” jelas Cyva.
Ia menambahkan, Jepang juga masih mendanai proyek energi kotor di Indonesia. PLTU Batang, Cirebon 1 & 2, dan Suralaya 5, 6, & 7 di antaranya. Jepang bahkan juga berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia dengan mengimpor pelet kayu untuk kebutuhan pembangkit listriknya. Solusi palsu ini, kata Cyva, berdampak langsung pada Indonesia. Kita melihat bagaimana krisis iklim akibat pemakaian energi kotor, berkontribusi banyak pada kenaikan permukaan air laut, kekeringan, bencana alam ekstrem, hingga krisis pangan.
“Ini kenapa akhirnya kami ingin mengajak komunitas wibu untuk peduli dengan situasi di Indonesia, aware dengan isu-isu krisis iklim. Kami mau meng-address pemerintah Jepang,” tutur Cyva.
Tentunya membangun kepedulian bukan hal mudah. Akan tetapi, Trend Asia percaya bisa melakukannya. Sebab, komunitas penggemar budaya populer Jepang punya rekam jejak aktivisme sosial yang cukup solid.
Pada 2007, di Akihabara, Jepang, para otaku (sebutan bagi individu yang punya ketertarikan besar pada sesuatu) termasuk budaya populer Jepang melakukan aksi penting. Mereka mendorong kebebasan berekspresi atau Akihabara Liberation Demonstration (Akihabara kaihō demo).
Dikutip dari blog Komite Eksekutif Akihabara Liberation Demonstration, aksi yang dipadati ratusan orang itu mengangkat isu-isu sosial seperti kapitalisme, kesetaraan gender, kekerasan terhadap kelompok minoritas, termasuk diskriminasi queer.
“Jadi gerakan solidaritas ini sebenarnya sudah ada lama di antara para pecinta budaya populer Jepang. Di Indonesia, budaya ini ka sedang berkembang, jadi kami melihat ada kesempatan yang bisa diambil untuk menjembatani isu lingkungan dengan ketertarikan mereka,” ujarnya.
Baca Juga: Pesta Perempuan: Mari Jaga Semangat Kita #MendobrakBias
Memberikan Harapan pada Anak Muda
Saat menginisiasi Wibu4Planet, Trend Asia secara spesifik menargetkan anak-anak muda dalam kampanyenya. Ini karena mereka paling terdampak oleh krisis iklim. Sayang hingga sekarang, anak muda masih enggak dilibatkan dalam penentuan kebijakan. Enggak heran jika banyak dari mereka yang enggan jadi agen perubahan.
Keengganan itu bisa dimaklumi mengingat pesimisme mereka terhadap masa depan Bumi. Dalam survei University of Bath di Inggris pada 2021 yang melibatkan 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun di 10 negara didapati, 75 persen anak muda cemas dan takut akan masa depan akibat krisis iklim.
Kekhawatiran yang disebut akademisi sebagai eco-anxiety ini membuat 45 persen responden mengalami gangguan fungsi dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Yang paling ekstrem lebih dari 50 persen responden enggak berdaya dan putus asa. Cyva bilang eco-anxiety ini timbul karena anak muda dibanjiri informasi dari media sosial dan berita yang menekankan pada kehancuran lingkungan dengan cara menakutkan (fear-mongering).
“Anak muda akhirnya cenderung jadi hopeless. Ketika udah hopeless ya merasa can’t do nothing about it, yang penting gue hidup untuk ngelakuin hobi gue. Maka dari itu kami (Wibu4Planet) fokus memberikan pesan harapan. Kami berusaha untuk memberikan pesan-pesan yang positif dan menyenangkan,” katanya.
Pesan-pesan itu disampaikan dengan mengajak generasi muda menjadi hero alias pahlawan. Bahwa selalu ada hal positif yang bisa dilakukan untuk masa depan Bumi dan umat manusia. Di luar konten media sosial, Wibu4Planet membangun komunitas daring di Discord. Di sana, Wibu4Planet memberikan guideline langkah kecil apa saja yang bisa dilakukan secara kolektif dan individu. Misalnya, memperkaya pengetahuan soal lingkungan dan krisis iklim, mengurangi penggunaan energi, hemat air, mengurangi sampah, ikut komunitas lingkungan, hingga mendorong kebijakan ramah lingkungan.
Membuat wadah di mana sesama anak muda belajar dan bersolidaritas ini penting. Alexandra Aulianta, Renewable Energy Campaigner Trend Asia menjelaskan, isu lingkungan dan krisis iklim dipandang kompleks, sehingga perubahan kecil takkan berarti apa-apa.
“Kita pingin memberikan pemahaman bahwa kalian itu bisa berkontribusi banyak. Bahkan tindakan-tindakan kecil itu bagian dari kontribusi besar karena ini kerja-kerja kolektif,” jelasnya.
Tak kalah penting, Wibu4Planet paham bagaimana anime banyak mengangkat permasalahan-permasalahan struktural. Contohnya, film-film Ghibli yang mengangkat isu kerusakan lingkungan, Dr. Stone mengangkat isu sains dan energi berkelanjutan, atau One Piece yang membahas perusakan lingkungan akibat industri ekstraktif.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Dengan menggunakan tema isekai (plot di mana tokoh utama cerita terlempar ke dimensi lain), anime-anime ini kemudian mereka gunakan sebagai medium kampanye. Wibu4Planet biasanya akan menghubungkan itu dengan situasidi Indonesia. Berkolaborasi dengan seniman lokal, Wibu4Planet membuat doujinshi dari anime-anime tersebut. Tentu saja tetap dikaitkan dengan temuan lapangan Trend Asia yang relevan.
Salah satunya, doujinshi Dr. Stone yang dibuat bersama seniman lokal. Itu berangkat dari polusi laut dan udara yang disebabkan PLTU Cirebon 1 dan Cirebon 2. Lewat kisah petualangan Senku bersama Nekobu di Cirebon yang dikelilingi dua PLTU Batubara, pembaca diajak melihat dampak dan solusi yang bisa ditawarkan. Senku digambarkan mampu merakit teknologi modern saat dunia kembali ke zaman batu. Ia menjadi sosok yang membantu warga Cirebon membangun PLTS sebagai sumber energi bersih – energi yang bila digunakan akan menghasilkan sedikit atau tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca- yang menggantikan energi kotor dari PLTU batubara itu.
“Kita bikin komik (doujinshi) ini agar isu lingkungan, krisis iklim jadi hal yang relevan bukan suatu isu yang kompleks dan berat karena dampaknya kira rasakan sehari-hari. Dengan membuat isu ini relevan, harapannya mereka (komunitas wibu) bisa lebih kritis, bisa mulai mempercakapkan isu ini dan menyerukan kontribusi Jepang terhadap kerusakan lingkungan dan krisis iklim di Indonesia,” ucap Alexandra.