Prostitusi Bukanlah Pilihan
Penulis mengatakan, menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan sama sekali tidak emansipatif.
“Every woman is negatively impacted by the sex industry. If one group of women is up for sale, this is how we are all viewed. Women are not toys for men.”
Setiap kali aktivis dengan berani meneriakkan kesetaraan perempuan, masih ada beberapa sektor yang sering kali saya perhatikan justru “terpaksa” bungkam—salah satunya adalah para perempuan korban prostitusi. Saya sebut sebagai korban prostitusi karena, terlepas dari cara feminis liberal atau feminis postmodern mengglorifikasi hal ini, prostitusi atau perdagangan perempuan adalah tempat di mana relasi kuasa justru bekerja paling kejam dan sistematis.
Di tempat ini, segala hal yang ditolak mati-matian oleh aktivis perempuan—pelecehan dan kekerasan seksual, hubungan tidak sehat yang menyakiti perempuan, dirampasnya kehormatan perempuan secara paksa bahkan sampai femicide (pembunuhan perempuan)—seakan-akan dilumrahkan terjadi. Karena semua itulah, mereka sering kali bungkam dan tidak tergabung dalam barisan utama perjuangan hak asasi perempuan.
Pada Desember 2017, saya berkesempatan mengunjungi salah satu panti sosial di Jakarta yang katanya dibangun atas dasar tujuan “untuk mengembalikan wanita tuna susila ke jalan yang benar”. Ketika ditanyakan mengapa bukan laki-laki mucikari, germo atau pembeli jasa seks saja yang direhabilitasi, seorang petugas—kebetulan laki-laki—di sana menjawab bahwa “perempuan di masyarakat lemah posisinya, sehingga harus dilindungi dengan rehabilitasi. Dan karena cuma di tempat ini mereka dapat merdeka”. Kecurigaan saya terhadap dasar nilai seksis yang dibangun semakin bertambah ketika saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang penerima manfaat berinisial DS.
DS menyambut saya cukup ramah. Ia menceritakan bahwa dirinya mengikuti program rehabilitasi sosial sekitar tiga bulan yang lalu. Ia diciduk di sebuah bar kecil di kampungnya, kemudian mengikuti proses pendataan dua, tiga kali sebelum akhirnya dinyatakan harus ikut rehabilitasi.
Ketika ditanya mengenai latar belakangnya, DS menjawab bahwa ia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Keluarganya miskin dan adik-adiknya masih sekolah. Penghasilan kedua orang tua mereka tidak mencukupi biaya hidup mereka semua, sehingga pada umur 19 tahun, DS terpaksa putus sekolah, kemudian nikah siri dan menjadi istri kedua. Di usianya yang baru 20 tahunan, DS sudah dikaruniai seorang anak. Tak lama setelah memiliki anak, ia terpaksa bercerai dengan suaminya karena istri pertama yang tidak suka kepadanya. Beban DS berat, mengingat ia harus menafkahi orang tua, adik-adik, dan anaknya yang masih sangat kecil pada saat itu. Karena putus sekolah, ia tidak memiliki ijazah dan kemampuan yang cukup untuk kerja yang mapan. Prostitusi bukanlah sebuah pilihan baginya, namun satu-satunya jalan yang ia tempuh demi bertahan hidup.
Di panti rehabilitasi sosial, DS mengatakan ia sering mengalami pelecehan seksual dari para petugas panti yang lelaki karena masih kuatnya stigma dilekatkan kepada para perempuan bekas pekerja seks di sana. DS merasa bahwa melapor pun percuma karena masyarakat—termasuk orang-orang yang merehabilitasi mereka—sudah menganggap mereka menjadi pihak yang kotor, sakit, dan harus “disembuhkan”. Sangat miris mendengar DS mengucapkan hal tersebut dari mulutnya. Saking seringnya dituduh sebagai pelaku, mereka menjadi lupa kalau sebenarnya mereka juga adalah korban utama dari patriarki.
Perdagangan seks sebagai kekerasan seksual yang sistematis
Relativisme kultural sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan praktik-praktik tidak manusiawi dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan dalam suatu komunitas. Hal ini semakin diperparah kondisi masyarakat Indonesia yang patriarkal, yang sering kali menempatkan posisi perempuan, korban yang paling dirugikan oleh sistem, sebagai tersalah.
Dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing pada 1995, perdagangan perempuan dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi seksual global yang melecehkan hak asasi jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia. Prostitusi termasuk dalam kategori eksploitasi perempuan ini.
Andy Yentriyani, salah satu komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang skripsinya diterbitkan menjadi buku berjudul Politik Perdagangan Perempuan menyebutkan bahwa perdagangan perempuan adalah suatu bentuk pelanggaran berat dari hak asasi manusia perempuan. Dalam bukunya, ia mengutip laporan hak asasi manusia perempuan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, tentang Trafficking in Women and Girls into Forced Prostitution and Forced Married:
Latar belakang ekonomi keluarga DS yang miskin dan terbelakang membuat ia terpaksa melepaskan pendidikannya dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi demi menafkahi keluarga dan anaknya. Rae Story, seorang penyintas dari Inggris mengatakan bahwa mayoritas perempuan yang menjadi korban perdagangan seks berasal dari kelas sosio-ekonomi bawah. Karena prostitusi menawarkan uang yang cepat dan “mudah”, maka lebih mudah menarik perempuan-perempuan miskin ke dalam perangkap perdagangan seks daripada mereka yang sudah stabil secara finansial.
Saya yakin kita semua sudah sepakat bahwa pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di jalanan serta bukan hanya mengancam perempuan-perempuan kelas atas. Pelecehan dan kekerasan seksual juga terjadi di tempat-tempat terpencil, kumuh, dan penuh laki-laki bengis yang berpikir bahwa sejumlah uang adalah tiket untuk melakukan penindasan terhadap perempuan.
Realitas seperti itu dihadapi oleh perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi. Kenyataannya, itu semua harus mereka hadapi sehari-hari demi mendapatkan sesuap nasi. Program-program seperti “rehabilitasi sosial” yang disediakan tidak banyak menolong para saudara kita ini, hanya menambah beban mereka karena dibangun atas paradigma yang salah tentang kemiskinan dan nilai-nilai yang seksis.
Prostitusi, pada kenyataan praktiknya yang berjejaring dan besar dalam masyarakat, bukanlah suatu pilihan. Menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan sama sekali tidak emansipatif. Menggunakan “pilihan” sebagai argumentasi untuk mempertahankan prostitusi sering kali justru menutup ruang untuk dialektik ke arah perubahan yang positif, serta membungkam suara-suara mereka yang korban sebenarnya. Tidak jarang kita, para feminis salah pengertian dengan mengartikan bahwa anti-prostitusi berarti anti-pekerjanya. Jangan biarkan industri yang terus-menerus meraup keuntungan dari obyektifikasi perempuan langgeng melanglang buana. Jangan biarkan saudari-saudari kita semakin kehilangan suaranya. Libatkan mereka lebih banyak dalam debat dan diskusi. Tujuan kita selalu sama dan selalu satu: merdeka dari penindasan patriarki.
Priscilla Yovia adalah mahasiswi Fakultas Hukum yang merasa bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan.