People We Love

Puti Karina Puar, Ajak Ibu Berdaya lewat ‘Buibu Baca Buku’

Sebagai ibu, Puti merasa membaca bisa tingkatkan literasi dan membuat para perempuan jadi berdaya. Ini kisah dia mendirikan Buibu Baca Buku Book Club.

Avatar
  • June 22, 2023
  • 10 min read
  • 1574 Views
Puti Karina Puar, Ajak Ibu Berdaya lewat ‘Buibu Baca Buku’

Kreatif, inspiratif, dan berdaya. Itulah tiga kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Puti Karina Puar. Perempuan 33 tahun itu sudah malang melintang di dunia kreatif Indonesia dengan menjadi ilustrator handal. Salah satu karyanya yang paling sohor adalah video lirik lagu Kita Pernah Ada OST film Milea: Suara Dari Dilan.

Ilustrasinya sangat ikonik, memperlihatkan adegan Milea dan Dilan di atas motor dalam versi kartun. Ia juga orang di balik video lirik serta sampul album Pelukku Untuk Pelikmu yang dinyanyikan Fiersa Besari, dan belakangan jadi lagu tema film Imperfect. Begitu pula dengan stiker khusus Hari Pancasila untuk Facebook Stories pada 2019.

 

 

Kreativitasnya tak turun dari langit. Ia banyak mendapat inspirasi dari buku yang ia lahap. Ya, Putty adalah pecinta buku alias book nerds. Bahkan kecintaannya pada buku membuat dia membidani klub buku populer “Buibu Baca Buku Book Club” (BBB Book Club).

BBB Book Club juga didirikan karena ia khawatir melihat minat baca masyarakat Indonesia yang terbilang rendah. “Orang-orang sukanya posting lari, kulineran, masak, jalan-jalan. Kok jarang ya yang ada share bacaan mereka,” kata Puti.

Puti menilai, baca buku belum jadi kegiatan yang fun untuk dilakukan banyak orang, termasuk ibu-ibu. Bahkan sebagian ibu yang ia kenal juga belum sadar kalau baca buku punya banyak manfaat, setidaknya untuk dirinya sendiri.

Dalam pengamatan Puti, mereka lebih terbiasa dan lebih banyak mengonsumsi konten media sosial atau ikut kelas di Zoom. Datang dari kekhawatiran inilah akhirnya Puti putuskan mendirikan BBB Book Club. Bersama Magdalene, Puti lebih lanjut membagikan ceritanya tentang klub bukunya ini. Klub buku yang kini dijalankan oleh 17 orang relawan dengan lebih dari 37.000 pengikut di Instagram.

Baca Juga: Dirikan 3 PAUD Gratis, Hera Handayani: ‘Cara Lain Cintai BTS’

Boleh enggak, Kak diceritakan kenapa mendirikan klub buku ini untuk ibu-ibu?

Jadi alasan pertama itu datang karena aku mulai kenal ibu-ibu. Aku melihat ibu-ibu sebenarnya untuk kelas tertentu sudah punya daya beli dan kesadaran. Mereka sebetulnya pengen anaknya baca buku, beliin mereka buku banyak-banyak. Bahkan kalau ada pameran kayak BBW (Big Bad Wolf) gitu. Tapi ya itu, mereka beliin aja, enggak berusaha untuk menjadi role model bagi anak-anaknya.

Alangkah baiknya kalau di keluarga ditumbuhkan kebiasaan membaca lewat contoh langsung dari orang tua. Karena kita tahu ya anak-anak itu peniru ulung. Kalau ibunya yang umumnya di keluarga Indonesia itu sebagai pengasuh utama baca buku, ya anaknya pasti akan ikut suka baca buku. Jadi kita ingin menumbuhkan minat baca melalui ibu-ibunya dulu, nih yang jadi role model.

Alasan kedua adalah yang kita percaya membaca buku itu adalah satu bentuk melatih atau bahkan meningkatkan kemampuan literasi seorang. Di zaman yang informasi serba cepat dan orang jadi gampang kemakan hoaks, dengan kita rutin membaca, maka kita juga melatih kemampuan kita untuk mengolah dan mensortir informasi yang masuk.

Kemampuan ini kemudian akhirnya bisa membuat seseorang bisa mengambil keputusan yang bijak karena dia well informed. Ini sebenarnya sangat baik terutama bagi perempuan. Kita enggak ngomongin dalam konteks keluarga, dalam konteks pribadi saja kalau perempuan enggak memiliki kemampuan literasi yang baik, kemungkinan kita bisa terpengaruh konten TikTok.

Misalnya yang paling gampang sekarang, mau beli skincare, obat pelangsing, terus kita enggak memiliki kemampuan literasi yang baik, secara umum akhirnya ketipu. Kemakan standar kecantikan. Beli pemutih abal-abal atau beli obat pelangsing yang bahkan enggak disarankan sama dokter dan berujung sakit.

Apakah dengan demikian kemampuan literasi perempuan juga bisa memberdayakan mereka?

Itu jelas. Perempuan secara culture tidak terlatih untuk mengemukakan pendapat ya. Dengan kita mengasah kemampuan literasi, semakin banyak membaca, kita bisa lebih kritis. Makanya membaca itu aku bilang bisa memberdayakan karena ketika perempuan kritis mereka akan punya daya untuk mengambil keputusan yang baik, yang well-informed, making well-informed decision.  Perempuan jadi bisa memimpin setidaknya untuk dirinya sendiri.

Kalau misalnya kita ngomongin ke konteks keluarga konvensional, keputusan itu umumnya ada di pihak suami yang dianggap sebagai kepala keluarga. Tapi kalau perempuan yang well literate, dia paham membangun rumah tangga itu sebenarnya kerja tim.

Dia pasti akan punya kepercayaan diri atas posisinya di rumah tangga. Dia jadi berani untuk mengungkapkan pendapatnya, berdiskusi dengan orang lain, melihat perspektif orang lain, dan membantu dia ambil keputusan.

Di lingkungan kerja juga, perempuan suka diremehkan ya, kayak “Alah udah ibu-ibu mah manut aja, diem aja, ini tuh urusan laki-laki.” Tapi kalau misalnya kita juga bisa membuktikan punya keterampilan dengan kemampuan literasi yang baik, orang akan lebih mendengarkan kita. Maka kesetaraan itu jadi poin penting.

Baca Juga: Ligwina Hananto: Di Balik Kecintaannya terhadap Komedi dan Cap “SJW” dari Netizen

Jika memang BBB Book Club berusaha untuk meningkatkan kemampuan literasi perempuan, apa saja sebenarnya kegiatan dari BBB Book Club sendiri?

Jadi di BBB itu ada (buat) konten, diskusi, wawancara narasumber, dan reading challenge juga. Dalam tataran paling awal, yaitu membangun awareness, kita enggak langsung bahas baca buku secara spesifik. Kita bikin konten tentang kenapa baca buku itu penting buat kita. Jadi orang yang tadinya enggak mau baca buku jadi mau baca minimal satu buku aja.

Nah, dari situ kita berusaha meningkatkan ketertarikan orang baca buku sekaligus dengan mengasah daya kritis dengan mengadakan diskusi atau wawancara bareng narasumber. Dengan diskusi kita bakal ketemu dengan orang punya perspektif dan basis ilmu pengetahuan yang beda. Jadi di situ kita belajar, semua orang diharapkan untuk ngomong.

Kalau yang diskusi ini sistemnya biasanya kita bagi jadi breakout rooms. Kita adakan di Zoom supaya semua bisa ngomong, gitu. Kita collab lah di situ dengan penerbit, penulis, bahkan penerjemah. Terus untuk reading challenge, kita mengajak orang-orang di awal tahun untuk menantang diri mereka sendiri setahun itu mau baca berapa buku. Kita sediakan template-nya, jadi template kosongan. Melalui template itu kita ngajakin teman-teman untuk share bacaannya.

Harapannya dengan saling melihat orang lain membaca, bisa memotivasi orang lain untuk membaca juga. Misalnya yang enggak pernah baca buku sama sekali atau dia terdistraksi terus sama media sosial, ya mereka jadi mau sempetin-sempetin baca di waktu luang. Jadi menumbuhkan kebiasaan baik ya bisa dibilang.

BBB Book Club sebenarnya diinisiasi untuk para ibu. Lantas apakah diskusi buku atau interview narasumber biasanya juga mengambil tema khusus perempuan?

BBB Book Club sebenarnya enggak cuma fokus pada tema perempuan. Kita ambil tema kesehatan mental juga. Tapi secara umum kita ngomongin buku yang bertema keperempuanan, ditulis oleh perempuan, atau editornya perempuan, penerjemahnya perempuan.

Ini menurut aku sangat penting karena ini bisa memberikan inspirasi atau referensi ke ibu-ibu. Terus kalau ngomongin soal sastra atau literatur, akan terlihat sekali perbedaannya jika kita memakai lensa perempuan. Ambil contoh kalau bahas buku soal produktivitas bisanya dilihat dari lensa laki-laki. Masuknya bisnis dan manajemen yang nulis laki-laki, jadi penilaiannya berdasarkan dengan uang yang dihasilkan dari kerja tersebut.

Kerangka pikir ini yang ngebuat ibu rumah tangga dianggap enggak produktif karena enggak menghasilkan uang. Padahal mereka itu di rumah kerja lho. Pekerjaan mereka tidak bisa dikonversi dengan uang padahal berdampak besar pada masa depan. Tapi ketika kita bisa mendiskusikan itu sebagai perempuan, lewat lensa perempuan dengan sesama perempuan, kita bisa jadi lebih punya spark diskusi. Nambah perspektif juga kan ini.

Kita pernah undang Bu Nor Rofiah tuh ngebahas buku Nalar Kritis Muslimah. Lewat pembahasan itu, perempuan jadi tercerahkan soal konsep keadilan gender di mata Islam. Kita jadi tahu, “Oh ternyata tafsir ramah perempuan itu adaa ya,” kayak gitu.

Jadi ya kita berusaha juga untuk lebih berpihak kepada, ya itu tadi, buku-buku yang bertema keperempuanan, penulis perempuan, dan enggak harus selalu tentang membahas feminisme atau apa. Tapi sebenarnya kita coba lihat dari lensa keperempuanan.

Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Kalau memang sudah terbiasa membahas buku dari lensa perempuan, ada enggak program khusus terkait perempuan dan buku di BBB Book Club?

Ada sebenarnya. Itu dimulai pada 2021, namanya “Perempuan Membaca”. Tujuan dari program ini adalah untuk reach out orang-orang terutama perempuan yang memang bukan book nerds. Jadi di program ini kita bakal undang para perempuan yang kompeten dalam bidang di luar literasi untuk share pengalaman dan kesukaan mereka terhadap buku.

Kita biasanya akan ajak IG Live. Kayak misalnya waktu itu kita pernah IG Live bareng Rara Sekar. Kita tanya hobi baca bukunya dan rekomendasi buku dia. Dengan mendengar Rara Sekar yang dikenal orang-orang sebagai penyanyi, kita harapkan followers-nya juga bisa bisa melihat idolanya sebagai sosok pembaca buku. Begitu pun kasusnya pas kita ngobrol bareng sama mbak Gina S. Noer. Kita juga berencana mau wawancara Bu Grace Tahir, pengusaha perempuan terkenal di Indonesia.

Orang-orang hanya tahu sosok-sosok ini dari pekerjaan mereka ya. Pengusaha, sutradara, penyanyi. Kalau kita bisa mengobrol sama mereka, ngegali hobi baca mereka, bahkan lontarin pertanyaan kayak apa sih manfaat membaca untuk profesi yang mereka jalani.

Pertanyaan kayak gini kan sangat praktikal ya, makanya kita tuh berharap banget followers-nya yang enggak terlalu aware atau enggak terlalu biasa baca buku jadi tertarik membaca buku. Membaca yang bermanfaat buat dirinya sendiri dan ini dikenalkan lewat idolanya ini. Masuk deh itu ke tataran awal tadi, build awareness.

Ngomong-ngomong, dalam pengamatan Kakak sebagai inisiator klub buku, minat baca orang Indonesia itu gimana sih?

Menurut aku kalau kita ngomongin soal minat baca orang Indonesia, yang harus kita tanyakan pertama kali itu justru apa sebenarnya yang dimaksud atau didefinisikan sebagai minat baca. Sebab, pasti kalau ngomongin minat baca, pendapatnya terbelah. Ada yang bilang minat baca rendah, ada juga yang bilang tinggi. Yang bilang minat baca tinggi bisanya ngomong kalau ini (minat baca) kelihatan dari antusiasme anak-anak tiap kali ada orang yang bawa buku ke daerah mereka.

Tapi apakah itu langsung bisa diterjemahkan sebagai minat baca tinggi? Apakah anak-anak itu datangnya berulang? Mereka membaca berapa banyak? Mereka membaca apa buku apa saja? Itu menurut aku perlu ditanyakan juga.

Apalagi kalau melihat jumlah peminat buku juga sebenarnya menurutku yang kebetulan juga pernah menulis dan menerbitkan buku, itu enggak sebanding misalnya dengan pertumbuhan market lain. Bahkan banyak itu toko buku tutup. Padahal toko buku kayak Gunung Agung jadi ukuran dari bagaimana orang di luar yang suka baca bukuitu sendiri willing membeli buku.

Eksistensi toko buku besar ini mencerminkan ketertarikan masyarakat umum akan buku sendiri. Minat mereka untuk membaca. Kalau misalnya toko buku indie macam Pos Santa atau Patjarmerah, toko buku daring, itu memang sudah pasti ngejual buku buat orang yang suka baca buku.  Tapi kalau misalnya orang semakin enggak passionate berbisnis buku, ya berarti memang marketnya enggak growing gitu sih.

Bahkan sudah jadi rahasia umum di kalangan pelaku bisnis toko buku besar, satu hal yang ngebuat toko-toko ini survive sebenarnya bukan dari penjualan buku lho. Tapi justru dari penjualan merchandise kayak alat tulis, printer, dan lain-lain.

Kalau begitu dari Kak Puti sendiri, ada enggak harapan ke depannya buat BBB Book Club, terutama terkait usaha meningkatkan minat baca?

Kalau aku berharapnya BBB Book Club bisa terus ada, karena kita resource-nya juga sangat bergantung pada kebaik hati para volunteer, kolaborator. Dengan harapan BBB Book club akan bisa eksis, kita ingin bisa terus membuat kegiatan-kegiatan dalam rangka menyebarkan semangat baca dan berpikir kritis.

Kalau bisa malah jadinya enggak sekadar baca buku, tapi mendorong orang membaca dengan genre lebih luas dan beragam. Ini nanti bisa jadi bagian dari gerakan literasi sendiri yang bisa menjangkau bubble di luar para pecinta buku.

Aku juga berharap dengan impian ini kita bisa berkolaborasi sama lebih banyak orang. Mematahkan stigma kalau membaca itu pasti serius, pasti “SJW”. Enggak kok membaca itu mengasyikan, membaca itu bermanfaat buat kita sehari-hari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *