Selisih Rp500 Juta Kompensasi Luka Rawa dan Nyawa Korban Meninggal
Dalam Tukar Takdir (2025), Mouly Surya membawa kita menyelami bagaimana duka bisa termanifestasikan berbeda di tiap orang. Menariknya, film ini tidak hanya mengeksplorasi duka sebagai reaksi atas kehilangan. Ia juga menyoroti duka sebagai ruang tempat kelas sosial dan relasi kuasa berkelindan.
Diadaptasi dari novel berjudul sama, Tukar Takdir mengikuti kisah Rawa (Nicholas Saputra), satu-satunya penumpang yang selamat dari jatuhnya pesawat komersial. Kini ia harus hidup dan bergelut dengan survivor’s guilt, karena menempati kursi yang seharusnya diduduki oleh suami Dita (Marsha Timothy). Dari sana, film membuka jalur-jalur berduka yang berlapis: Rawa yang dihantui hidup yang terasa bukan miliknya, Dita yang mengubah kehilangan menjadi misi mencari keadilan, dan Zahra (Adhisty Zara), putri sang kapten pesawat, yang di usia muda harus kehilangan bukan hanya ayahnya, tetapi juga ibunya yang tenggelam dalam kesedihan.
Mouly menenun kisah ini dengan pendekatan yang menaruh perhatian pada detail emosional. Tapi, yang paling kuat justru bukan tragedinya, melainkan cara film ini mengupas bagaimana duka, sebagai emosi yang privat, bisa berubah bentuk ketika menjadi urusan publik dan bahkan komoditas.
Film ini memperlihatkan bagaimana hidup manusia bisa diberi nilai nominal oleh korporasi. Setelah tragedi, pihak maskapai menawarkan kompensasi: Rp1,5 miliar untuk keluarga korban meninggal, dan Rp2 miliar untuk Rawa.
Selisih angka itu menjadi titik kritik tajam yang coba diinisasi film ini. Di balik tambahan Rp500 juta ada kalkulasi strategi PR untuk membeli narasi. Rawa “dibutuhkan” untuk tampil di media, menjadi wajah penyintas yang bersyukur, agar publik melupakan kemungkinan kelalaian di balik kecelakaan tersebut.
Dengan cerdas, Tukar Takdir menyorot absurditas ini tanpa didaktik: bagaimana sistem ekonomi bisa mengintervensi cara seseorang mengekspresikan kehilangan.
Baca juga: Cerita Mereka yang Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
Duka dan Kelas
Tiga karakter utama film ini memperlihatkan wajah duka yang berbeda-beda, dan ketiganya berada di posisi sosial serta psikologis yang tak sama.
Namun di antara mereka, Dita menjadi pusat gravitasi emosional sekaligus moral. Ia adalah personifikasi manusia modern—mandiri, berpendidikan tinggi, terbiasa menyelesaikan masalah dengan rasionalitas. Maka ketika tragedi menimpa, ia menolak larut dalam air mata; ia merasa butuh untuk bertindak guna memproses keadaan.
Awalnya, kemarahan Dita diarahkan kepada Rawa, yang “salah duduk” di kursi yang seharusnya ditempati suaminya. Tapi perlahan fokusnya bergeser: dari marah kepada kebetulan, menjadi marah kepada sistem.
Dengan latar belakang hukum, Dita mencurigai adanya kelalaian oleh pihak maskapai. Ia menemukan bahwa para petinggi maskapai sedang berpesta di hari kecelakaan, dan baru menanggapi laporan setelah pesta usai. Bagi Dita, ini bukan sekadar tragedi, melainkan bentuk kejahatan lain yang terbungkus formalitas. Maka, duka baginya menjelma menjadi gerak mencari keadilan.
Namun Tukar Takdir tidak pernah menggambarkan langkah Dita sebagai heroik belaka. Mouly memberi ruang bagi kontradiksi: bahwa dalam upayanya mengontrol duka, Dita sebenarnya sedang menutupi luka yang belum sempat ia hadapi. Rasionalitas kelas menengah yang menjadi kekuatannya justru mendistorsi cara berdukanya.
Baca juga: Membedah Adegan Seks Karakter Zahra dan Rawa dalam ‘Tukar Takdir’
Hal itu tergambar kuat dalam salah satu adegan terbaik film: ketika Dita mendatangi Pak Mukhsin (Ayez Kassar), seorang pria tua yang kehilangan istri, anak, menantu, dan cucunya dalam insiden itu. Ia mengajak Pak Mukhsin untuk bergabung menuntut maskapai, berargumen bahwa langkah itu “akan menguntungkan” semua keluarga korban. Pak Mukhsin, yang seluruh dunianya direnggut dalam waktu sekejap, tidak punya urgensi untuk mengeluarkan tenaga sebesar itu demi “mencari keadilan.” Toh uang yang ia terima sudah lebih dari cukup untuknya, tak ada pula nyawa lain yang harus ia hidupi.
Namun kegigihan Dita membuatnya luluh, dan memutuskan untuk membantunya.
Adegan itu memunculkan dua hal yang menurut saya jarang disandingkan dan didiskusikan sebelumnya: bahwa duka kelas menengah yang bisa diartikulasikan dengan bahasa hukum, dan duka kelas bawah yang sering kali dilalui tanpa suara setelah uang berbicara.
Pun bukan berarti diamnya Pak Mukhsin tidak lebih menyakitkan ketimbang kemarahan yang menguasai Dita. Hanya saja, fakta bahwa Dita merasa ‘tega’ untuk tetap mengajak Pak Mukhsin mendukung prosesnya berduka, membuat saya memikirkan tentang derajat entitlement yang dimiliki kelas menengah ke kelas yang lebih rendah.
Sementara itu, Zahra menambahkan lapisan lain dalam peta emosi film. Sebagai anak muda yang kehilangan ayahnya (kapten pesawat) dan melihat ibunya (Marcella Zalianty) tenggelam dalam kesedihan, ia hidup di tengah kekosongan ganda.
Dalam dirinya, Tukar Takdir memperlihatkan cara generasi muda mengalami duka tanpa pegangan moral atau emosional dari figur otoritatif. Zahra bukan korban langsung tragedi, tetapi korban dari spiral duka yang diwariskan. Mouly menempatkan Zahra dalam situasi yang kontras, tempat ia mendiami dunia anak muda yang penuh ingar bingar, di tengah kondisi mentalnya yang diobrak-abrik duka.
Di titik ini, Tukar Takdir menunjukkan seorang remaja intelejen yang belum sepenuhnya paham bagaimana memaknai kehilangan—karena orang dewasa di sekitarnya pun tersesat di dalam duka itu.
Rawa, Dita, dan Zahra membentuk segitiga emosional yang saling bertaut, awalnya tidak saling memahami, namun berakhir di posisi yang lebih empatik terhadap satu sama lain.
Ketiganya menunjukkan bahwa duka tidak seragam: ia bisa berubah menjadi rasa bersalah, menjadi kemarahan yang disalurkan lewat sistem, atau menjadi kebingungan yang diekspresikan dalam aksi seksual yang frustrasi.
Meski Tukar Takdir tidak selalu konsisten dalam menautkan semua benang naratifnya—kadang terasa longgar dan tergesa—film ini berhasil menorehkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kisah kehilangan. Ia mempertanyakan: bagaimana jika duka bukan lagi sekadar reaksi manusiawi, tetapi cermin dari ketimpangan sosial yang lebih besar?
Bagaimana jika cara kita berduka sudah lebih ditentukan oleh kelas, status, dan citra publik ketimbang oleh perasaan itu sendiri?
















