December 6, 2025
Issues Politics & Society

#RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial

Nilai rapor kepemimpinan Prabowo-Gibran bahkan lebih rendah dari rata-rata skor akademik Syahroni. Penuh catatan.

  • October 20, 2025
  • 5 min read
  • 866 Views
#RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial

Hari ini (20/10) tepat setahun Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dilantik. Selama kepemimpinan mereka, delapan visi Asta Cita ditetapkan sebagai target ambisius untuk kemajuan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan

Namun sejak awal masa kepemimpinan, arah politik justru diwarnai oleh konsolidasi kekuasaan yang sangat ketat. Dampaknya, ruang bagi reformasi, pengawasan, dan implementasi kebijakan menjadi semakin sempit. CNN Indonesia mencatat, Koalisi Indonesia Maju (KIM) menguasai 81 persen kursi DPR. Sementara, PDI-P memilih peran sebagai penyeimbang dan menolak disebut oposisi formal. 

Karena itulah, tahun ini sejumlah instansi seperti Center of Economic and Law Studies (Celios), Wahana untuk Lingkungan Hidup (Walhi), Ombudsman RI, hingga Imparsial kompak memberi survei dan laporan kritis untuk rezim Prabowo-Gibran.

Celios misalnya menyebutkan 96 persen responden dalam survei mereka terhadap 1.338 responden pakar dan masyarakat umum, menuntut perombakan kabinet. Senada, WALHI menggambarkan realitas kepemimpinan Prabowo sebagai “Indonesia Gelap”. Ini ditandai dengan kebijakan yang abai terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

Apa saja rapor merah untuk setahun kepemimpinan Prabowo-Gibran? Redaksi Magdalene telah merangkumnnya untukmu:

Kabinet Gemuk, Politik yang Kian Transaksional

Setahun pemerintahan ini berjalan dengan struktur kabinet terbesar dalam sejarah Indonesia. Totalnya ada 48 kementerian dan 109 pejabat menteri dan wakil menteri. Revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 yang menghapus batas jumlah kementerian membuka peluang lebar bagi praktik politik balas budi. Survei Celios mencatat skor kinerja kabinet hanya 3 dari 10, dengan 77 persen responden menilai kinerja buruk.

Sementara menurut laporan WALHI, membesarnya kabinet ini bukan sekadar soal inefisiensi, tetapi juga menandai kembalinya politik transaksional. “Ini simbol kerakusan politik dan konflik kepentingan yang tak terkendali,” tulis WALHI.

Di sisi fiskal, beban anggaran melonjak. Data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menunjukkan belanja pegawai naik 20–30 persen hingga mencapai Rp600 triliun pada APBN 2025.

Pemetaan ulang kementerian memperlihatkan orientasi ekonomi yang semakin eksploitatif. Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Kelautan (KLHKK) kini berada di bawah koordinasi pangan, menegaskan alam hanya sebagai sumber bahan baku industri.

Sementara Kementerian ATR/BPN diposisikan di bawah koordinator infrastruktur, membuka ruang lebih besar bagi proyek-proyek sawit dan pembangunan skala besar. “Indonesia tak lebih dari broker izin bagi investor,” kritik WALHI.

Wapres Gibran: Antara Ada dan Tiada

Kinerja Gibran Rakabuming Raka menjadi salah satu yang paling disorot publik. Survei Celios menunjukkan skor kinerjanya hanya 2 dari 10, bahkan 61 persen responden menilai kinerjanya sangat buruk. Angka ini turun dari 100 hari pertama pemerintahannya yang masih bertahan di kisaran 3 poin.

Minimnya peran politik membuat publik menilai posisi Gibran tak lebih dari simbol representasi generasi muda tanpa kontribusi substantif terhadap kebijakan nasional. Dalam konteks pemerintahan yang sangat terkonsolidasi, ketiadaan peran ini memperkuat kesan bahwa Gibran sekadar pelengkap, bukan penggerak.

Program Makan Bergizi Gratis: Janji Manis, Realitas Pahit

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan pemerintahan ini menelan anggaran Rp71 triliun untuk tahun 2025. Namun laporan Ombudsman RI mengungkap empat pelanggaran utama dalam implementasinya: keterlambatan pencairan honor, diskriminasi lembaga pelaksana, pelanggaran standar penyimpanan bahan, dan penyimpangan pengadaan.

Hingga September, hanya 26,7 persen layanan gizi yang berfungsi. Kasus keracunan massal di berbagai daerah menjadi pukulan serius bagi kredibilitas program ini. Tempo mencatat, dana MBG bahkan memangkas alokasi untuk program Permakanan bagi lansia dan disabilitas, memperlihatkan ketimpangan prioritas.

Secara substansi, MBG juga tidak menyentuh akar masalah tengkes (stunting). Fokusnya pada anak sekolah, bukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, mengabaikan fase paling penting tumbuh kembang anak. Biaya satuan yang ditekan menjadi Rp7.500 dikhawatirkan menurunkan kualitas gizi. Lembaga CISDI memperingatkan bahwa skema kemitraan publik-swasta membuka peluang masuknya industri makanan ultra-proses ke ranah kebijakan publik.

Dalam laporan WALHI, program MBG dikaitkan langsung dengan proyek food estate senilai Rp124,4 triliun dalam APBN 2025. Proyek ini disebut sebagai dalih untuk menguasai lahan skala besar di bawah kedok gizi anak bangsa. “Di balik jargon gizi anak bangsa, terselip ambisi korporasi,” tulis WALHI.

Demokrasi Melemah, Aktivis Dibungkam

Kemunduran demokrasi selama setahun terakhir terasa nyata di lapangan. WALHI mencatat sedikitnya 959 demonstran ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2025, sementara 11 aktivis lingkungan dikriminalisasi di Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Kasus kematian Rudolfus Oktofianus Ruma di NTT masih belum menemukan kejelasan hukum.

Imparsial menilai pemerintahan ini tengah menghidupkan kembali watak militeristik dalam tiga bentuk: perluasan peran TNI di ranah sipil, penempatan perwira aktif dalam jabatan strategis, dan legalisasi wewenang militer lewat Perpres No. 66/2025 serta RUU KKS. Temuan ini selaras dengan survei Celios yang memberi skor 2 untuk kinerja POLRI dan 3 untuk TNI.

Sistem peradilan militer yang tertutup memperkuat impunitas pelaku pelanggaran dan menciptakan ketimpangan di hadapan hukum. Menteri HAM Natalius Pigai mencatatkan skor terendah di kabinet, –58, menggambarkan krisis legitimasi moral dan politik dalam perlindungan hak warga negara.

Perempuan dalam Bayang Represi

Kekerasan terhadap perempuan, terutama mereka yang menjadi pembela HAM dan lingkungan, meningkat tajam sepanjang tahun pertama pemerintahan ini. Banyak korban kehilangan akses terhadap keadilan karena kasusnya masuk ke ranah militer atau aparat keamanan. Situasi ini memperburuk kondisi sosial di daerah rawan konflik, di mana perempuan sering menjadi korban ganda—baik dari kebijakan pembangunan yang eksploitatif maupun dari sistem hukum yang tidak berpihak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan Arifatul Choiri Fauzi dinilai cukup progresif dalam memperjuangkan ruang aman dan partisipasi perempuan di ranah publik, namun langkah-langkahnya masih terbentur struktur kekuasaan yang maskulin dan represif. Banyak kebijakan yang masih meminggirkan suara perempuan, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan perumusan kebijakan ekonomi.

Krisis Lingkungan dan Janji yang Dikhianati

Janji lingkungan dalam visi Asta Cita justru berbalik arah. Prabowo berkomitmen mencapai target net zero 2060 dan merehabilitasi 12 juta hektar hutan, tetapi deforestasi justru meningkat hingga 250–300 persen. Sedikitnya 20 juta hektar lahan baru dibuka untuk pangan dan energi, sementara izin tambang mencakup 9 juta hektar hutan.

Pemerintah juga tetap mempertahankan PLTU baru dengan tambahan kapasitas hingga 16,6 GW, dan proyek co-firing biomassa yang digadang sebagai solusi hijau justru memperpanjang umur batu bara. WALHI menegaskan, kebijakan ini memperparah polusi dan meningkatkan risiko kesehatan publik. Di Banten, PLTU Suralaya dikaitkan dengan 1.470 kematian per tahun akibat pencemaran udara.

Di banyak daerah, warga menghadapi ancaman penggusuran karena proyek energi dan infrastruktur besar. Sementara itu, kebijakan transisi energi masih dikuasai oleh konglomerasi pertambangan yang sama. Alih-alih adil dan berkelanjutan, transisi ini justru memperluas ketimpangan dan mempercepat kehancuran ekologis.

Magdalene menyusun series artikel tentang satu tahun kepemimpinan Prabowo-Gibran.

About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.