Refleksi Seorang Katolik Setelah Bom Bunuh Diri
Sebagian besar dari kita dibesarkan oleh narasi liyan demi supaya iman kita tumbuh. namun juga sering kali membuat kita mencurigai pemeluk agama lain.
Saya adalah seorang Katolik yang, seperti saya tulis di beberapa tulisan sebelumnya, dibesarkan di sebuah keluarga Katolik yang taat. Saya menempuh pendidikan dasar di sekolah Katolik. Dalam keluarga besar, mereka beranggapan bahwa semua yang Katolik itu baik. Kalau ada yang tidak baik maka narasinya berubah menjadi, “Wah ini padahal Katolik loh, kok gitu ya?”
Sementara itu, dari pihak luar, sejak kecil saya sudah kenyang ditanya oleh orang yang berbeda keyakinan dengan saya, “Tuhanmu tiga ya?”. Selain itu, narasi kekerasan terhadap pemeluk Kristiani sudah sering saya dengar. Zaman itu belum ada teror bom, namun teror pembakaran gereja banyak.
Semua itu membuat saya berhati-hati terhadap pemeluk keyakinan lain dan sedikit baperan. Saya pernah dihukum bersama dengan dua orang teman lain saat SMP karena menyanyi saat pelajaran kosong. Kebetulan yang kami nyanyikan adalah lagu gereja dan kami sekolah di sekolah negeri. Saya ikut percaya bahwa si bapak yang menghukum itu rasialis dan dia tidak suka pada murid Kristiani.
Sekarang setelah saya menjadi guru, rasanya saya ingin menegur diri saya sendiri waktu itu, bahwa teriak-teriak di kelas meskipun saat pelajaran kosong itu tidak dibenarkan. Ada kelas lain yang sedang belajar. Dan itu tidak peduli agamamu apa, suaramu yang sekeras geledek itu membuat darah guru-guru di kelas lain naik ke ubun-ubun.
Di sekolah negeri yang sama, guru-guru agama yang saya miliki banyak menggunakan narasi kesulitan kami sebagai minoritas untuk mengajarkan kasih kepada sesama. Maka kebaperan saya seakan mendapat pupuk untuk tumbuh subur.
Di SMA, kebetulan sekolah negeri juga, ketika saya terlalu malas mengikuti pelajaran, saya membaca sebuah cerita pendek dari majalah berbasis Islam milik teman dari laci meja. Cerpen di majalah itu cukup menarik dan cukup membantu mengatasi kebosanan kami di kelas, sehingga kami yang non-Muslim pun sering membaca majalah itu. Suatu kali, cerpen yang dimuat sungguh membuat jantung serasa copot. Isinya tentang remaja Muslim yang pacaran, dan ketika dikonfrontasi remaja lain dan jilbabnya ditarik, ternyata si remaja memakai kalung salib.
Itu adalah narasi sebagai liyan pertama yang saya lihat langsung dan cukup mengguncang. Saya dan teman-teman Katolik saat itu cuma saling berbisik saja. Namun demikian, pertemanan kami dengan teman-teman non-Muslim tidak terganggu. Saya melihat bagaimana beberapa teman Muslim merasa jengah juga ketika sadar cerpen apa yang ada di majalah itu. Dan itu cukup bagi saya untuk menyimpulkan bahwa mereka peduli pada kami yang non-Muslim.
Ketika saya kuliah, ada dua mata kuliah yang menuntut kami untuk intensif berinteraksi dengan teman satu kelompok yaitu Play Performance yang mengharuskan kami memproduksi pertunjukan drama, dan Service Program Design yang mengharuskan kami mengajar di perusahaan. Dua mata kuliah tersebut melelahkan dan menuntut kewarasan. Namun dalam interaksi dengan teman-teman, saya belajar bagaimana perbedaan kami itu tidak menghalangi kami untuk melakukan yang terbaik bagi kelompok. Saya masih ingat bagaimana kami bergantian memimpin doa sesuai keyakinan kami setiap kami bertemu untuk berlatih dan rapat. Teman-teman lintas keyakinan ini pula yang berkeliling mencari dana ketika saya terkapar di rumah sakit dan tidak mempunyai uang.
Perjumpaan saya dengan kemanusiaan yang telanjang dan tak mengenal sekat terjadi sekali lagi ketika saya menuntut ilmu di Amerika Serikat. Saya sungguh disentuh oleh malaikat dari berbagai latar belakang saat mengandung putra saya jauh dari keluarga. Teman-teman dari berbagai kelompok yang saat itu mengadakan acara baby shower dan saya dalam doa mengatakan, “I am blessed to be surrounded by angels from various backgrounds. They speak different languages, they have different faiths, their skin colors are different, yet they are here to share their hands and shoulders for me.” Seorang teman kemudian mendekati saya dan berkata, “Nina, I don’t usually believe in prayer and anything religious like this, but what you said and all of this are so beautiful.”
Pengalaman-pengalaman saya bertemu dan disentuh oleh semakin banyak orang dari berbagai latar belakang agama, budaya, negara, bahasa, dan bahkan orientasi seksual banyak mengubah cara pandang saya terhadap pemeluk keyakinan lain. Saya yang baperan itu sudah mengganti alasan baperan-nya. Saya sekarang baper ketika kemanusiaan dilukai.
Yang ingin saya katakan dari seluruh cerita perjalanan tumbuhnya rasa toleransi saya adalah bahwa sebagian besar dari kita dibesarkan oleh narasi liyan (dengan cara yang berbeda-beda) demi supaya iman kita tumbuh. Ini perlu diakui dengan rendah hati. Kita dibesarkan supaya terus yakin pada apa yang kita peluk dengan cara yang sering kali membuat kita mencurigai pemeluk agama lain. Dan ini membuat kita rentan dipecah, rentan diteror.
Kita perlu keluar dari lingkaran nyaman kita dan menyapa mereka yang berbeda untuk kemudian berinteraksi dengan tulus. Hanya dengan ini kita bisa sungguh saling memperkuat persatuan dan menangkis paham radikal di sekitar kita. Keluarlah, rasakan gegar budaya berkali-kali, dan berkali-kali pula kita akan merasakan indahnya kemanusiaan. Itu tidak bisa dilakukan dengan cara terus-menerus membacakan cerita ketertindasan. Itu hanya bisa dijalankan lewat perjumpaan dan hubungan.
Kemudian ketika kemanusiaan menempati sebagian besar hati kita, kebencian dan kekerasan akan menyingkir pergi. Semoga.
Antonina Suryantari adalah seorang ibu dan guru yang suka menulis. Menulis adalah caranya belajar, bersyukur, dan berefleksi.