Kisah Resi Mencegah Perkawinan Anak di Kampungnya
Perkawinan usia anak yang di tinggi di kampungnya bikin Resi resah. Ia makin gundah saat fenomena itu menghampiri teman-teman lingkaran pertamanya.
Tahun lalu Resi (18) membantu teman mainnya, “Nia”, mengurungkan niat untuk menikah. Saat itu, Nia dan pacarnya akan menikah dalam waktu dekat. Hal ini membuat Resi merasa perlu bertindak untuk mencegah perkawinan anak lainnya—mengingat Nia masih berusia 17 tahun.
“Aku juga tahu pacarnya toksik, suka ngelarang main sama teman-temannya dan ngelakuin kekerasan verbal,” ujar Resi. “Makanya kutanya alasan Nia menerima lamaran itu. Pilihannya atau bukan?”
Dari situ Resi tahu, Nia terpaksa menerima lamaran pacarnya karena desakan orang tua. Sebab, Nia baru pulang kerja, ketika pacarnya datang ke rumah membawa antaran bersama keluarga. Lamaran pun dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Nia, karena si pacar hanya mengutarakan intensinya lewat ibu Nia.
Menurut Resi, tindakan orang tua Nia merupakan hal biasa di tempat tinggal mereka, di Kabupaten Sukabumi. Pihak perempuan memang biasa menerima niat baik laki-laki dan keluarganya, yang datang melamar ke rumah perempuan.
Selain itu, masyarakat sekitar punya anggapan, sebaiknya hubungan romantis segera dibawa ke perkawinan—terlebih jika dijalani sejak lama. Tujuannya agar tidak menimbulkan omongan buruk dari tetangga, sekaligus menghindari zina.
Sadar perkawinan anak perlu dicegah dan melihat orang-orang di sekitarnya menormalisasi, Resi bergabung jadi peer educator di sekolah. Kesempatan itu diperoleh dari program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Anak (Gema Cita) dari Plan Indonesia, yang bekerja sama dengan sekolahnya.
Baca Juga: Bahagia Selamanya yang Semu: Perkawinan Anak Tingkatkan Depresi Perempuan
Selama jadi peer educator, ia belajar tentang bahaya perkawinan anak, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan kekerasan verbal maupun non-verbal. Semua itu bikin Resi sadar tentang dampak perkawinan anak, risiko hamil di usia anak, dan kesehatan reproduksi.
Dari obrolan mereka, Nia mengaku masih ingin membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Kemudian, Resi membantu menjelaskan pada orang tua Nia bahwa anaknya belum ingin menikah. Pengakuan itu disambut penolakan, mengingat orang-orang di kampung mengetahui rencana perkawinannya.
“Orang tuanya bilang, ngapain enggak nikah, kan nanti jadi aib?” ungkap Resi. “Akhirnya Nia bilang, enggak nyaman sama si pacar karena sikapnya bikin psikis Nia terganggu. Di situ orang tuanya baru paham, Nia dapet perlakuan enggak baik selama pacaran.”
Setelah pembicaraan itu, Nia bersama kakaknya mengembalikan antaran ke kediaman pacarnya. Niat mereka tak disambut baik. Pacar Nia terus menghubungi dan menyampaikan kata-kata kasar.
Meskipun demikian, berkat bantuan Resi, Nia berhasil meninggalkan relasi tersebut dan memprioritaskan keinginannya. Ia mengambil program Kejar Paket C, dan kini tinggal di Bekasi sambil bekerja sebagai admin online shop.
Baca Juga:Remaja di 7 Daerah Dorong Kampanye Lawan Perkawinan Anak
Resah Melihat Teman-teman Seusianya Kawin
Keresahan Resi terhadap perkawinan anak bermula saat ia berusia 16. Waktu itu, Resi masih kelas satu SMA, saat “Rima”—adik kelasnya di pesantren—menikah dengan santri asal pesantren yang sama. Perkawinan terjadi karena keduanya didapati, sedang berduaan di rumah Rima selama tiga hari. Kebetulan orang tua Rima tinggal di luar kampung untuk bekerja.
“Awalnya ketahuan sama bibinya Rima, dia marah-marah. Setelah dimusyawarahkan, kiai pesantren itu nyaranin untuk dinikahin aja,” cerita Resi.
Rima dan pacarnya menangis lantaran enggak diberikan kesempatan, untuk menjelaskan situasi yang terjadi. Keluarga Rima pun bersikeras melangsungkan perkawinan. Padahal, keluarga pacar Rima sempat mempertimbangkan perkawinan ini, mengingat kedua anak itu baru mau masuk SMA.
“Besoknya kiai itu mengawinkan Rima dan pacarnya,” kata Resi.
Kejadian tersebut bukan kali pertama Resi melihat anak seusianya kawin. Di Kabupaten Sukabumi, perkawinan anak adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan, teman-teman ayah Resi yang sering berkunjung ke rumah suka mengatakan, ingin segera melepaskan tanggung jawab dengan mengawinkan anaknya—meskipun belum 19 tahun, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 yang memperbarui UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Awalnya, Resi mempertanyakan alasan teman-temannya menikah di usia anak. Jika karena faktor ekonomi, menurutnya anak-anak bisa ambil Kejar Paket C atau sambil bekerja. Yang jelas, perkawinan enggak seharusnya dijadikan jalan keluar untuk permasalahan ini.
“(Yang) laki-laki aja pekerjaannya enggak jelas. Apakah bisa kasih kepastian hidup bahagia setelah menikah?” ucap Resi.
Di samping masalah ekonomi, ada anggapan dua orang yang saling suka atau cinta lebih baik dikawinkan. Menurut Resi, orang-orang di tempat tinggalnya belum memahami hak-hak anak, serta dampak perkawinan anak—yang berujung pada menormalisasi.
Namun, sebelum menjadi peer educator, Resi pun enggak tahu harus melakukan apa agar perkawinan anak tidak terus terjadi. Saat melihat Rima akan dikawinkan, Resi sempat mengungkapkan kebingungannya pada kedua orang tua—berharap bisa bertindak. Namun, orang tuanya menyarankan untuk enggak terlibat dalam peristiwa ini.
“Katanya gak ada hak ikut campur, soalnya itu masalah keluarga. Nanti malah kebawa-bawa (dalam masalahnya),” tutur Resi.
Seperti orang tua di kampungnya, sebelum Resi jadi peer educator, orang tuanya pun memiliki pemahaman sama soal perkawinan anak. Tapi, mereka memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk menikah. Buktinya, kakak Resi menikah di usia 25.
Lebih dari itu, orang tua Resi mendukung penuh keterlibatannya sebagai peer educator. Walaupun sang ayah sempat mempertanyakan upaya dan tenaga Resi, karena melihat banyaknya angka perkawinan anak di kampung mereka.
Baca Juga: Berkaca dari Mama Papa, Anak Muda Putuskan Menikah
Tantangan Sebagai Peer Educator
Sebagai peer educator, Resi mencegah perkawinan anak lewat diskusi yang melibatkan siswa kelas satu dan dua SMA di sekolah, maupun kampanye di media sosial. Dari respons teman-teman sepantarannya, Resi melihat banyak yang enggak tahu terkait UU Perkawinan dan dispensasi nikah.
Realitas itu sekaligus menjelaskan perkawinan anak di lingkungannya yang terus terjadi. Teman-teman Resi pun sulit memahami, dan menyadari bahaya perkawinan anak. Karenanya, banyak yang belum hadir pada diskusi yang diselenggarakan.
“Sedih, lihat teman-teman yang datang ke diskusi biasanya kurang dari 20 orang. Mereka belum berminat,” cerita Resi.
Kondisi itu menjadi evaluasi di kalangan peer educator. Akhirnya, Resi menyampaikan pada kepala sekolah agar program ini dilanjutkan. Hasilnya, diskusi yang tadinya dilakukan di hari libur atau jam sekolah berdasarkan inisiatif siswa, kini menjadi bagian kurikulum. Nantinya, diskusi pencegahan perkawinan anak dan HKSR dilakukan di sekolah setiap bulan.
Hal itu jadi salah satu dampak yang diberikan Resi, sebelum perannya sebagai peer educator selesai dalam hitungan bulan. Namun, keinginannya untuk mengedukasi tidak terbatas dilakukan di lingkungan sekolah. Belakangan, Resi pun mengingatkan teman-temannya yang sudah menikah, sebisa mungkin menunda kehamilan selama usianya masih di bawah 25 tahun—mengingat kehamilannya lebih berisiko.
Jika dibandingkan perkawinan anak yang sudah terjadi, mungkin upaya Resi terlihat masih kecil. Namun, baginya enggak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang positif. Selama bisa berupaya, Resi percaya bisa melakukan perubahan bermakna.