Review ‘Autobiography’: Militerisme di Era Kini dan Potret Homoerotik yang Homofobik
Selain kritik pada militerisme dan bapakisme warisan orba, ada adegan-adegan homoerotik yang menonjol dalam ‘Autobiography’.

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler
“Duduk, minum kopinya.”
Suasana mencekam mulai terasa, begitu Purnawinata (Arswendy Beningswara)—mantan jenderal yang nyaleg sebagai bupati—meminta Rakib (Kevin Ardilova) menuruti perintahnya. Kalimat itu diucapkan Purna karena Rakib menyuguhkan minuman, tanpa mengetahui preferensi sang jenderal. Akibatnya, pemuda itu harus meminum kopi bikinannya sendiri.
Adegan yang muncul di menit-menit pertama itu mewakilkan tagline “seram tanpa setan”, yang diusung Autobiography (2022). Dalam film panjang pertamanya, penulis, produser, sekaligus sutradara Makbul Mubarak, mengisahkan pemanfaatan kekuasaan dalam suatu pemerintahan. Membuat adegan pembuka tersebut mewakilkan inti sari cerita.
Secara garis besar, Autobiography memang berangkat dari rantai kekuasaan militerisme, yang mengakar sejak pemerintahan Orde Baru (Orba). Film ini menceritakan tentang Rakib, pemuda yang meneruskan pengabdian kakek dan ayahnya untuk keluarga Purna. Selama proses kampanye, ia bertugas menjadi kaki tangan Purna, yang memperlakukan Rakib seperti anak sendiri.
Bak seorang diktator, karakteristik Purna dipotret sebagai sosok intimidatif, manipulatif, dan simbol atas pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan. Alhasil mengingatkan penonton dengan rezim Orba. Bahkan menimbulkan perasaan was-was selama menonton, sambil menebak langkah apa yang akan dilakukan Purna, jika mendapati sipil menghalangi prosesnya menjadi bupati.
Sebenarnya penonton akan familier dengan tindakan represif dan arbitrer seorang penguasa. Seperti strategi tertutup yang dilangsungkan Purna, untuk melakukan kekerasan terhadap Agus (Yusuf Mahardika), warga yang tidak berpihak kepadanya. Sampai kematian Agus, tak satu pun orang tahu—selain Rakib—bahwa Purna adalah dalangnya. Seorang warga malah menduga, kematian Agus berkaitan dengan sengketa lahan kopi milik ibunya, dan meminta Purna—si pembunuh—menelusuri tragedi yang menimpa pemuda itu.
Kejadian tersebut bikin teringat Gerakan 30 September (G30S). Peristiwa itu menyebabkan penculikan, penangkapan, dan eksekusi terhadap sipil, yang dianggap berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, kelompok komunis, dan ideologi komunisme sendiri. Meskipun pemerintah Indonesia menuding rakyat yang marah terhadap komunis sebagai pelaku di balik kekerasan tersebut, aktor penggeraknya tak lain tak bukan, adalah negara dan aparat militer.
Cara Purna menggerakan pemerintahan pada dasarnya tidak dapat sepenuhnya, disebut “perpanjangan tangan” Orba yang masih eksis di era ini. Mengingat Purna adalah purnawirawan, membuat militerisme begitu melekat pada kepribadiannya.
Di samping itu, Autobiography menggarisbawahi aspek lain yang melekat dengan Orba, yakni bapakisme.
Baca Juga: ‘Perang’ Hantu vs Kiai di Film Horor Indonesia Era Orde Baru

Dominasi Bapakisme dan Paternalisme
Di rezim Orba, bapakisme menjadi gaya kepemimpinan Soeharto. Ideologi ini mencerminkan patriarki maupun paternalisme, lewat peran “bapak” sebagai kepala keluarga, yang memimpin, menafkahi, dan melindungi keluarganya. Atas dasar itulah Soeharto menggambarkan masyarakat sebagai anak, yang harus menghormati dan mematuhinya sebagai bapak.
Dalam Autobiography, Purna bukan hanya menunjukkan kekuasaannya dalam mengontrol pemerintahan, melainkan atas individu seperti Rakib. Walaupun Purna menganggap Rakib seperti anaknya, ia tetap menekankan bahwa Rakib harus tunduk terhadapnya—mencerminkan relasi bapakisme.
Karena itu, ketika Rakib berusaha melarikan diri, Purna mengerahkan pasukannya untuk “menjemput” pemuda tersebut—memperlihatkan seberapa luas dan besar kuasanya. Di rumah, layaknya seorang bapak, Purna mengungkapkan kekhawatirannya akan kehidupan Rakib di luar sana. Bahkan, Purna “mengingatkan” bangunan tempat mereka menetap adalah rumah bagi Rakib.
Kemudian, relasi bapakisme juga digambarkan dalam diri Rakib, yang mengagungkan Purna. Di matanya, Purna adalah sosok bijaksana dan panutan. Terlihat ketika Rakib memercayai, dan meniru kata-kata Purna. “Permintaan maaf bisa jadi hadiah.”
Kekaguman Rakib kian terpancar, ketika ia dibiarkan mencicipi kekuasaan. Melihat kemurkaan Purna akibat spanduk kampanye yang dirusak, Rakib berinisiatif mencari tahu pelakunya. Ia memiliki kebanggaan tersendiri, ketika berhasil membawa pelaku ke hadapan Purna. Seolah berhasil menyelesaikan misi besar yang berarti, bagi sosok yang disegani—sekalipun akhirnya bertentangan dengan kehendaknya sendiri.
Kendati perbuatannya berisiko besar, keselamatan Rakib tetap terjamin. Itu merupakan buah bagi Rakib, yang mematuhi perintah Purna. Misalnya, untuk menyembunyikan perilaku kejinya dari sorotan warga, maupun tidak meninggalkan pekerjaannya.
Tentu Rakib tidak lagi menikmati kekuasaannya, begitu tahu, sebagai sipil ia tidak berdaya. Tidak ada kekuatan untuk melawan penguasa seperti Purna, yang bisa melakukan berbagai cara demi mewujudkan keinginannya. Satu-satunya yang seharusnya dilakukan adalah “menikmati” pemerintahan itu demi mengutamakan nyawa.
Seperti diucapkan ayah Rakib terhadapnya, “Dinikmati aja, yang penting sehat dan selamat.”
Baca Juga: Review The Sea Beast: Ketika Sejarah Ditulis Penguasa
Homoerotik yang Homofobik
Selain kelamnya kepemimpinan militerisme dan relasi bapakisme, Autobiography turut menampilkan adegan homoerotik antara Rakib dan Purna, serta Rakib dan Agus.
Misalnya, di adegan Rakib menjemput Agus, dalam perjalanan menuju kediaman Purna. Dengan alasan harus fokus menyetir, Rakib meminta Agus mengambilkan kerikil di pedal remnya. Kemudian, Rakib tersenyum–menyiratkan kemenangan dalam diri, ketika Agus menunduk menghadap ke selangkangannya. Setelah itu Rakib menyentuh bahu Agus, meyakinkannya agar tidak takut terhadap Purna.
Adegan homoerotik itu kembali muncul, saat Purna mengajari Rakib menggunakan senapan, dan saat sang jenderal menerobos consent dan kepemilikan tubuh Rakib dengan memandikannya secara paksa. Pilihan ini bukan tak sengaja. Tema maskulinitas beracun memang dijahit Makbul dalam naskahnya yang mengkritik militerisme dan bapakisme.
Adegan-adegan homoerotik itu bisa kita lihat sebagai hukuman (adegan Rakib dimandikan paksa), tindakan mendominasi (Agus mengambil batu di selangkangan Rakib), atau penindasan. Bacaan begini, menurut Patrick Schuckman dalam risetnya Masculinity, the Male Spectator and the Homoerotic Gaze (1998), adalah hal biasa yang dilakukan dalam sinema arus utama.
Homoerotik sendiri adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan ketegangan (tension) fisik dan emosional antara dua karakter berjenis kelamin sama (di dunia patriarki, term ini lebih sering digunakan untuk mengambarkan dua karakter utama laki-laki)—bisa berbentuk seksual, voyeurisme, fetishisme. Cara membaca dan meletakkan homoerotik pada adegan film juga terus berubah sesuai zaman dan konteks.
Ada masanya, adegan-adegan homoerotik dibaca sebagai selipan subteks untuk mengindikasikan relasi homoseksual antara dua karakter sesama jenis. Cara begini dipakai filmmaker atau para pembuat cerita untuk menghindari serbuan penonton anti-homoseksual. Karakter seperti Dumbledore dalam novel dan film-film original Harry Potter, misalnya; atau karakter-karakter Disney seperti Scar, Tigmon dan Pumba dari The Lion King, serta Elsa dari Frozen adalah contoh-contoh karakter yang sering dibaca sebagai queer-coded characters.
Di dunia hari ini yang lebih menerima orang-orang queer, homoerotik tak lagi digunakan sebagai subteks sembunyi-sembunyi.
Sementara dalam Autobiography, adegan-adegan homoerotik lebih digunakan untuk mempertebal ketakutan Rakib pada Purna, sekaligus cara Purna menunjukkan kuasa dan mendominasi. Di titik ini, adegan-adegan homoerotik itu cuma dipakai untuk menimbulkan homohisteria pada penonton—sebuah situasi ketakutan berlebihan pada homoseksual. Kondisi yang menuntut laki-laki untuk menyesuaikan diri dengan norma gender, demi membuktikan maskulinitasnya.
Jika penggunaan adegan homoerotik dalam Autobiography ingin menunjukkan betapa rapuhnya konsep kejantanan dan maskulinitas dalam dunia Rakib dan Purna (secara khusus) dan dunia kita (secara general), maka Makbul bisa dibilang berhasil. Kita bisa melihat relasi perasaan jaya sekaligus jengah yang hadir di karakter Rakib ketika adegan-adegan homoerotik itu hadir. Ia merasa jaya saat Agus mengambil kerikil di antara selangkangannya, dan merasa hina saat Purna memandikannya dengan paksa.
Namun, di saat bersamaan, Makbul justru melanggengkan homohisteria yang sifatnya homofobik, karena membuat homoseksual jadi menyeramkan dan perlu ditakuti. Potret negatif itu makin dipertebal sebuah adegan Purna bicara dengan istrinya lewat telepon.
Adegan video call itu secara tidak langsung menyatakan bahwa Purna seorang heteroseksual. Menyanggah dugaan homoseksual yang muncul karena adegan homoerotiknya dengan Rakib (mengajari pakai senapan dan memandikan paksa). Kendati demikian, wajah istri Purna tidak ditampilkan sama sekali. Hal itu menggarisbawahi, peran sang istri bersifat sekunder dan tidak memiliki identitas.
Baca Juga: ‘The Big 4’ dan Kesukaan Kita pada Film ‘Gore’
Menurut Schuckman, karakter perempuan yang sangat minim adalah ciri lain dari film-film dengan tema homoerotisme. Selain jadi token untuk mengonfirmasi heteroseksualitas karakter laki-lakinya, perempuan sering kali cuma jadi tambahan, token, atau tempelan. Di kasus Authobiography, Makbul tampaknya bahkan sengaja mengeliminasi peran-peran perempuan, bukan cuma dalam berdialog tapi sampai ke durasi tampil di layar.
(Perhatikan bagaimana peran ibu Agus juga dieliminasi saat Purna datang melayat Agus. Daripada berdialog dengan sang ibu, Purna justru dibikinkan Makbul, obrolan tentang dugaan kematian Agus dengan kerabat karakter laki-laki lain.)
Selain merugikan perempuan, homohisteria justru membahayakan homoseksual yang semakin rentan dan termarginalkan di masyarakat. Keberadaan mereka tidak begitu diinginkan, sebagaimana masyarakat secara naluri menerima heteroseksual.
Kondisi tersebut juga membuat laki-laki mengkhawatirkan persepsi masyarakat akan menilai mereka gay, hanya karena tidak sesuai dengan stereotip gender. Kesalahpahaman ini mendorong laki-laki gay menyesuaikan perilakunya dengan norma gender, untuk membebaskan diri dari tudingan masyarakat tentang seksualitasnya.
Alhasil, saya jadi mempertanyakan slogan “seram tanpa setan” dalam film ini. Apakah penggunaannya sekaligus untuk melanggengkan persepsi terhadap homoseksual?