Culture Prose & Poem

Review ‘Cursed Bunny’: Horor Feminis yang Seram tapi Kritis

Bora Chung menyajikan kumpulan cerpen realisme horor untuk mengkritisi masyarakat patriarkal.

Avatar
  • May 31, 2024
  • 6 min read
  • 1383 Views
Review ‘Cursed Bunny’: Horor Feminis yang Seram tapi Kritis

Tak semua orang kuat menyelesaikan kumpulan cerpen Bora Chung berjudul Cursed Bunny. Buku yang masuk dalam daftar pendek atau shortlisted International Booker Prizes 2022 ini mengaburkan batas antara realisme magis, fantasi, horor, dan fiksi ilmiah. 

Perkawinan beragam genre ini tak lantas membuat Cursed Bunny kehilangan daya kritisnya. Chung dalam diskusi virtual Makassar International Writers Festival 2022 bilang, Cursed Bunny adalah bayi yang lahir dari kegelisahan dan kemarahannya pada realitas sosial di masyarakat modern, terutama di Asia. Khususnya kekerasan, ketidakadilan, serta diskriminasi terhadap kelompok marginal. 

 

 

“Setiap cerita datang dari latar belakang kehidupan dan situasi yang sangat beragam dalam periode kehidupanku. Namun, kebanyakan aku menulis ketika merasa tidak nyaman dan marah. Jadi rasanya tepat kalau dikatakan buku ini merupakan hasil pelampiasan kemarahan perempuan Asia yang beranjak dewasa ketika melihat berbagai ketidakadilan di sekitarnya,” tutur Chung dikutip dari Media Indonesia

Lewat Cursed Bunny, Chung yang memang terkenal vokal, menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok marginal. Semua disampaikan dengan gamblang, hingga membuat pembaca bergidik ngeri. Dari sepuluh cerpen kritis Chung, favorit saya adalah Si Kepala dan Menstruasi. Lewat cerpen-cerpen ini, Chung menggunakan unsur-unsur fantasi yang terinspirasi dari sastra Rusia untuk menelanjangi patriarki tanpa sisa. 

Baca Juga:  ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Kesempurnaan Feminin dan Pengabaian Suara Perempuan 

Si Kepala adalah cerpen pertama dalam Cursed Bunny. Ia menceritakan perempuan yang dihantui sosok kepala mengambang di toiletnya. Buat penggemar horor Jepang, mungkin sosok si kepala mirip dengan Sadako, tetapi di cerita Chung, itu bukanlah hantu melainkan “anak” dari tokoh perempuan. Anak yang lahir dari kumpulan sampah berupa kotoran, urin, tisu bekas, rambut, hingga darah menstruasi karakter perempuan. 

Ia tak punya kuping, alis dan hanya memiliki dua mata dan bibir yang menampilkan garis horizontal. Warna wujudnya berubah-ubah dari kuning dan abu-abu dan terkadang berwarna merah tergantung kondisi tubuh si perempuan. Eksistensinya yang suka muncul tanpa diundang, selalu membuat perempuan bergidik ngeri. Apalagi dengan keras kepala, si kepala selalu memanggilnya dengan panggilan ibu.   

Si perempuan tak hanya takut pada si kepala, tetapi jijik luar karena ia buruk rupa. Beberapa kali perempuan berusaha mengenyahkan kehadiran si kepala, tapi selalu gagal. Dengan cara yang tak masuk akal, si kepala pasti akan kembali menghantui toiletnya. Rasa takut dan jijik ini sendiri adalah perwujudan tuntutan kesempurnaan feminin yang membelenggu banyak perempuan di dunia. 

Dalam penelitian The Triumph of The Abject: A Kristevan Analysis Of Bora Chung’s “The Head (2023) dijelaskan, lewat kesempurnaan feminin, perempuan dibentuk untuk mendambakan kemurnian dan keindahan tubuhnya sendiri. Kemurnian hadir dalam rasa tak nyaman serta jijik kala melihat wujud si kepala berwarna merah bak “ternodai” darah menstruasi. Darah menstruasi pada kenyataannya memang selalu diasosiasikan dengan kotoran. Di banyak kepercayaan masyarakat, menstruasi membuat perempuan dianggap tak suci. Sehingga, mereka teralienasi dari masyarakat bahkan tubuhnya sendiri. 

Sementara, keindahan mewujud dalam standar kecantikan feminin tak masuk akal. Contohnya tubuh langsing, kulit putih, rambut panjang, mata bulat sempurna, dan muda. Dengan standar kecantikan ini, wujud si kepala adalah mimpi buruk perempuan yang terobsesi dengan kecantikan. 

Namun, mimpi tersebut perlahan berubah jadi perasaan iri saat si kepala muncul di babak akhir cerita dengan wujudnya yang baru, yaitu versi muda si tokoh perempuan yang masih jelita. Tepat saat muncul dengan wujud barunya, si kepala keluar dari toilet dan memaksa perempuan itu masuk menggantikan dirinya bersemayam di toilet.

Ini adalah klimaksnya. Menandakan ketakutan masyarakat patriarkal kepada atas tubuh perempuan yang menua, di mana di tubuh ini kecantikan feminin yang sudah memudar sehingga lebih pantas dibuang dan diasingkan. 

Lebih dari itu, eksistensi si kepala dalam cerita Chung juga menggarisbawahi tentang penyangkalan dan pengabaian penderitaan perempuan. Saat kehidupan tokoh perempuan mulai terganggu karena si kepala, ia mulai bercerita kepada keluarga dan suaminya. Sayang, bukan empati atau pengertian yang ia terima, kekhawatiran dan ketakutan si perempuan justru diinvalidasi oleh orang-orang terdekatnya. 

Sudahlah, biarkan saja. Itu cuma masalah sepele,” kata keluarga dan suaminya. 

Penyangkalan dan pengabaian atas penderitaan si karakter perempuan, membuat ia harus hidup dalam kesengsaraan hampir seumur hidupnya. Ia bahkan berakhir lenyap, tapi siapa yang peduli?  Toh di masyarakat yang menjunjung tinggi laki-laki dan maskulinitas, perempuan sudah terbiasa diabaikan dan tidak didengar suaranya. Penderitaan mereka cuma angin lalu tanpa bobot, jadi buat apa dihiraukan. 

Baca Juga:  “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan 

Kodrat Jadi Ibu dan Tak Utuh Tanpa Laki-Laki 

Setelah sukes membangun kengerian dalam Si Kepala, Chung kembali dengan Menstruasi. Di cerpen ini diceritakan, perempuan yang terus mengeluarkan darah menstruasi lebih dari 20 hari lamanya. Takut ada yang salah dengan tubuhnya, si perempuan datang ke ginekolog dan diminta meminum pil kontrasepsi hingga enam bulan. 

Berkat pil itu, siklus menstruasi si perempuan kembali normal. Namun, sebulan berselang, ia justru jatuh sakit hingga kembali menemui ginekolog. Ia menemukan dirinya hamil walau tak pernah melakukan hubungan seksual. Ginekolog yang menyebut kehamilannya ini tidak normal, kemudian memaksa si perempuan mencari suami. Ia bersikeras akan ada sesuatu yang buruk terjadi jika perempuan hamil dan melahirkan tanpa suami. 

Dalam keadaan terhimpit, ibu si perempuan berusaha menjodohnya dengan beberapa laki-laki dalam sebuah kencan atau pertemuan perjodohan resmi. Sayang, saat si perempuan mencoba berkencan, dia lebih sering dipermalukan dan diancam oleh laki-laki yang dia temui karena mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) tanpa pasangan. 

Chung dalam wawancaranya bersama NPR bilang, cerita ini ia tulis berdasarkan kisahnya sendiri. Kala itu dia berusia 28 tahun dan menstruasinya selama dua minggu lebih tidak berhenti. Saat ingin pergi ke ginekolog sendirian, si ibu justru memarahinya dengan alasan tak seharusnya perempuan yang belum menikah ke ginekolog. 

Kemarahan ibu, kata Chung, memperlihatkan stigma seputar kehamilan dan seksualitas perempuan. Stigma ini membuat prokreasi dan peran sebagai ibu jadi hal yang diidealkan masyarakat hingga dianggap kodrat perempuan. Tidak mengherankan kemudian, perempuan di Asia kerap kali dipermalukan dan dihakimi lewat status lajang mereka apalagi jika sampai mengalami KTD. Mereka baru dianggap utuh sebagai manusia jika ada kehadiran laki-laki dalam hidupnya. 

Baca Juga:  ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah 

Dalam akhir tak terduga, si perempuan yang mendapatkan sosok suami pun melahirkan bayi aneh yang cuma berbentuk gumpalan darah. Gumpalan darah itu menekankan pada konsekuensi buruk yang didapatkan dari si perempuan karena melahirkan tanpa status pernikahan.

Menariknya, bagi si perempuan gumpalan darah itu memberikan kelegaan tersendiri. Kelegaan yang bisa dimaknai oleh kebebasan dari belenggu patriarki yang menuntutnya jadi ibu. Serta kelegaan bahwa dirinya terlepas dari belitan norma sosial yang memaksanya harus hidup dengan laki-laki. 


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *