Review ‘Emily In Paris Season 4 Part 1′: Ada Isu #MeToo tapi Selebihnya Tak Ada yang Baru
‘Emily in Paris Season 4’ bak ‘comfort food’ yang selalu layak dinikmati. Namun jika tak hati-hati, ia bisa saja ditinggalkan penontonnya.
(Mengandung sedikit spoiler).
Beberapa hal terjadi dalam tiga musim Emily in Paris. Dibuka dengan datangnya Emily Cooper (Lily Collins) ke Paris untuk menggantikan atasannya, Madeline (Kate Walsh). Ia lantas bertemu dengan bos jutek, Sylvie (Philippine Leroy-Beaulieu), yang akhirnya mencuri hatinya. Musim lalu ada plot di mana Madeline dan Sylvie tidak sadar rebutan karyawan, yang diakhiri dengan keputusan Emily untuk join bos jutek tersebut.
Emily kemudian naksir chef ganteng Gabriel (Lucas Bravo), yang ternyata punya pacar bernama Camille (Camille Razat). Karena inilah, Emily memutuskan untuk mencoba move on dan jadian dengan Alfie (Lucien Laviscount). Sementara itu, belakangan kita mendapati Camille justru naksir dengan Sofia (Melia Kreiling).
Di akhir musim ketiga ketika Gabriel dan Camille mau menikah, Camille mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Emily dan Gabriel masih jatuh cinta. Camille juga mengaku hamil anaknya Gabriel.
Baca juga: ‘The Real Emily in Paris’: Perempuan-perempuan Pelopor dari Perancis
Satu-satunya yang konstan dalam hidup Emily hanyalah sahabatnya, Mindy (Ashley Park). Namun dia punya champagne problem, berhubungan dengan bapaknya yang kaya raya dan mimpi jadi penyanyi.
Terdengar rumit memang, tapi percayalah tidak ada yang memusingkan dalam Emily In Paris. Musim keempatnya yang baru saja rilis (Netflix membaginya dalam dua bagian di mana bagian keduanya baru akan rilis awal September), lagi-lagi menghadirkan konflik yang sama sekali tidak berpengaruh apa-apa dalam semesta Emily.
Setelah konklusi musim ketiga, Emily sekarang menjadi bulan-bulanan sosial media. Kisah cintanya yang ruwet menjadi viral. Semua ini tidak penting kalau saja bukan karena urusan pekerjaan. Masalahnya Emily dan Alfie yang putus itu punya kontrak untuk brand campaign.
Hubungan Emily dan Gabriel juga masih stagnan karena dua-duanya tersandera urusan pribadinya masing-masing. Emily masih ribet dengan Alfie. Gabriel ribet dengan drama Camille yang sempat hilang dan nantinya ditambah dengan kenyataan, Camille jatuh cinta dengan Sofia. Masalah ini akan terselesaikan dalam 2-3 episode sebelum akhirnya Emily dan Gabriel bersatu.
Sylvie punya sub-plot yang berhubungan #MeToo (soal mantan bosnya). Namun sampai episode terakhir, masih belum ada konklusi soal sub-plot ini. Co-worker Emily, Luc (Bruno Gouery) punya pacar baru yang bekerja sebagai kurator Michelin yang nantinya akan berhubungan dengan restoran baru Gabriel. Mindy punya pacar orang kaya, Nicolas (Paul Forman), tapi masih low-key punya chemistry dengan band-mates-nya.
Selain itu, lima episode musim terbaru Emily In Paris lebih fokus dengan percintaan Emily-Gabriel-Camille yang terlalu childish untuk dibahas lebih jauh.
Baca juga: ‘Emily In Paris’ Serial Absurd, Tapi Tontonan Sempurna di Kala Pandemi
Mulai Kehilangan Daya Pikat
Dari awal Emily In Paris muncul, ia memang sudah menasbihkan diri sebagai tontonan receh. Ia tidak berusaha bersembunyi menjadi sesuatu yang lain. Seperti The Morning Show yang mencoba menipu penonton dengan desain produksi dan pemain mahal padahal plotnya tidak ada bedanya dengan sinetron.
Dari awal muncul Emily In Paris tahu, target pasarnya adalah orang-orang yang menggemari karya Darren Star sebelumnya (Sex and the City, Younger) yang ringan dan enak ditonton. Siapa yang tidak senyum-senyum sendiri menyaksikan Lily Collins jalan-jalan di Paris dibalut dalam busana couture bingung mau naksir cowok ganteng mana?
Penonton tidak akan peduli kalau jokes-nya, bahkan sampai musim keempat ini, berputar di bagian Emily yang belum bisa-bisa juga bicara Bahasa Perancis.
Dengan resep sesederhana ini, tentu saja Emily In Paris kehabisan bahan bakar dengan cepat. Di musim keempat, hampir tidak ada drama yang membuat plotnya bergerak. Emily masih sama saja konvensional.
Untuk ukuran karakter yang tergila-gila dengan Paris, hal paling revolusiner yang dilakukan Emily hanyalah have sex dengan Gabriel di rooftop. Pembuat serial ini memang menyadari ini (ada dialog di mana Emily mengatakan bisa berubah tapi ternyata tidak) tapi self-aware itu tidak membuat Emily In Paris menjadi lebih baik.
Dinamika hubungan Emily-Gabriel-Camille-Sofia memang agak sedikit berbumbu. Masalahnya dari kehebohan mereka, penonton bisa melihat hubungan Camille dan Sofia tidak akan bertahan lama. Camille terlalu bergantung dengan Gabriel dan Gabriel punya leading-man-syndrome. Dia tidak punya kepribadian yang lebih edgy selain chef ganteng yang enggak enakan. Dia membiarkan mantan tunangannya tinggal di apartemen bersama pacarnya, sementara dia tidur di sofa.
Bagian paling menarik dari plot ini adalah ketika sesuatu terjadi dengan Camille yang mungkin akan membuat hubungan Emily dan Gabriel agak sedikit kompleks. Namun, melihat pola Emily In Paris, saya yakin masalah ini akan cepat selesai dalam tiga atau empat episode.
Baca juga: ‘Survival of the Thickest’, Michelle Buteau, dan Kemampuan Melawaknya
Emily In Paris adalah comfort food. Ia hadir untuk membuat penontonnya rileks. Tidak membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk menikmati komedi ini. Dengan durasi yang sangat bersahabat, tidak mengherankan kalau banyak orang menikmati petualangan anak agency ini culture shock dengan semua hal yang berhubungan dengan Paris.
Sayangnya keseruan yang dijanjikan di musim pertamanya tidak banyak hadir di musim keempatnya ini. Kalau dari lima episode yang seru dan lucu justru plotnya Luc yang nggak penting (tinggal di kapal, pacarnya ternyata controlling), Emily In Paris berada dalam bahaya. Bukan tak mungkin, banyak penonton yang mulai meninggalkannya. Semoga saja semua hal ini diobati di episode yang tersisa.
Tidak ada yang salah dengan gula-gula, tapi pastikan gula tersebut betul-betul manis. Musim keempat Emily In Paris mulai terasa cocok untuk penderita diabetes. Karena gula-gulanya makin lama makin menipis.
Seluruh episode Emily In Paris dapat disaksikan di Netflix.