Culture Screen Raves

Review ‘Sleep Call’: Soal Relasi Kuasa, Pemiskinan, dan Kekerasan Perempuan

Ada relasi kuasa dalam ‘Sleep Call’ yang membuat perempuan tunduk pada laki-laki. Sayang, isu kekerasan berbasis gender masih tanggung ditampilkan di film ini.

Avatar
  • September 13, 2023
  • 7 min read
  • 1509 Views
Review ‘Sleep Call’: Soal Relasi Kuasa, Pemiskinan, dan Kekerasan Perempuan

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler

Dina (Laura Basuki) adalah penagih utang di kantor pinjaman online (pinjol). Selain menghidupi diri, ia juga harus membayar biaya perawatan sang ibu di panti rehabilitasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Akibatnya, Dina terjebak pinjaman online (pinjol), yang uangnya diperoleh dari tempat ia bekerja.

 

 

Lewat karakter Dina, Sleep Call (2023) mencerminkan realitas segelintir masyarakat kini: Mencari bantuan dana lewat pinjol, demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Digarap oleh Fajar Nugros, film ini sekaligus menampilkan Dina sebagai warga ibu kota yang kesepian, di tengah upayanya menyambung hidup. Karena itu, Dina mencari teman ngobrol lewat aplikasi kencan.

Di aplikasi itulah Dina bertemu Rama (Bio One). Setiap malam, keduanya ngobrol lewat telepon. Bagi Dina, Rama adalah sosok yang setia menemani dan bisa diceritakan keluh kesah. Bahkan melindungi di sejumlah peristiwa, dan mendukung Dina dalam pekerjaannya.

Namun, tulisan ini enggak akan menguliti relasi semu antara Dina dan Rama, melainkan potret Dina, perempuan yang mengalami kerentanan berlapis akibat masalah ekonomi.

Sumber: IMDB

Baca Juga: ‘Marlina’, Pembunuh yang Melawan Patriarki

Terjebak dalam Relasi Kuasa Akibat Status Ekonomi

Dari awal film, Dina diperlihatkan sedang mengalami kesulitan finansial. Simbolnya ditunjukkan lewat beberapa hal: kos-kosan sempit, tinggal di permukiman padat penduduk, setiap makan hanya telur goreng, jadi tulang punggung keluarga, dan sejumlah dialog yang menunjukkan Dina tak punya uang.

Kondisi tersebut membuatnya harus tunduk pada Tommy (Bront Palarae), pemilik perusahaan tempat Dina bekerja. Awalnya, Tommy menawarkan kesempatan kerja pada Dina, yang tak mampu membayar utang pinjol. Kemudian, Tommy menunjukkan ketertarikannya dengan meminta Dina menemani di rumah, memberikan hadiah, dan mengajak berhubungan seks. Semua itu Dina lakukan, demi mempertahankan pekerjaan yang terancam hilang, lantaran peminjam uang tak kunjung bayar utang. Tommy pun menekankan pada Dina, agar tak satu pun orang tahu tentang perlakuan khusus yang ia berikan.

Hubungan Dina dan Tommy menyorot kerentanan perempuan, berbanding lurus dengan pemberdayaan ekonominya. Sebab, ketika perempuan berdaya secara ekonomi, mereka bisa mengakses pekerjaan yang layak, layanan keuangan, serta memiliki kontrol atas dirinya sendiri—mencakup kehidupan, tubuh, dan waktu. Bahkan meningkatkan kesempatan sebagai pengambil keputusan ekonomi.

Namun, ketika perempuan tidak berdaya secara ekonomi seperti Dina, posisinya semakin rentan didiskriminasi dan eksploitasi. Kita bisa melihat kerentanan berlapis yang ia alami: Perempuan, status ekonominya rendah dan tinggal di Jakarta, terlilit utang, harus bertahan hidup sendirian, dan tidak punya batasan dalam relasi dengan pemberi kerja—orang yang status ekonominya lebih kuat.

Di samping itu, Sleep Call turut merefleksikan kehidupan orang yang meminjam uang di pinjol. Sering kali, mereka tak berdaya ketika harus melunasi utang. Hal ini tak hanya ditampilkan lewat cerita Dina yang berusaha memenuhi keinginan Tommy, melainkan Iwan (Rukman Rosadi).

Iwan merupakan salah satu peminjam yang ditangani Dina. Awalnya, ia terus menunda pembayaran akibat tak punya uang. Setelah menerima ancaman dari Dina, Iwan semakin stres dan memutuskan bunuh diri, lantaran tak bisa membayar utang.

Sejak maraknya pinjol, sejumlah kasus bunuh diri kerap terjadi. Kurang lebih motifnya sama: Tertekan karena diteror untuk melunasi tagihan. Kasus demikian cukup menggambarkan ketimpangan kuasa di bisnis pinjol, antara peminjam dengan pihak perusahaan—di mana penagih memprioritaskan pengembalian dana pinjaman, dan mengesampingkan keadaan si peminjam.

Bahkan, di hari Iwan meninggal pun, orang-orang kantor Dina masih menuntut agar keluarga Iwan melunaskan utangnya. Sebagai penagih utang yang menjalankan bisnis, perbuatan itu menunjukkan bahwa bisnis tetaplah bisnis. Pembayaran harus tetap dilakukan, supaya perusahaan tidak mengalami kerugian akibat pinjaman.

review Film Sleep Call terbaru
Sumber: IMDB

Baca Juga: 6 Film Adaptasi Novel Indonesia yang Angkat Isu-isu Sosial

Krisis Ekonomi Bikin Perempuan Rentan Alami Kekerasan Berbasis Gender

Adanya ketidakadilan gender di masyarakat membuat posisi ekonomi perempuan belum setara dengan laki-laki. Dampaknya terlihat dari pekerjaan perempuan yang lebih rentan, pengangguran terselubung—bekerja kurang dari 35 jam seminggu, enggak punya pekerjaan, kurangnya perlindungan sosial, serta punya keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi dan keuangan.

Situasi tersebut membuat perempuan kehilangan kemandirian finansial, kemudian bergantung secara finansial pada laki-laki—baik pasangan maupun pemberi kerja. Secara bersamaan, peran laki-laki dalam pengambilan keputusan akan lebih meningkat.

Masalahnya, perempuan jadi lebih berisiko mengalami kekerasan berbasis gender, lewat kekerasan pasangan intim maupun praktik seksual yang tidak aman. Hal ini disampaikan Ruth Phillips, akademisi di The University of Sydney, dalam Food security and women’s health: a feminist perspective for international social work (2009).

Dalam Sleep Call, Dina enggak punya pekerjaan selain jadi penagih utang pinjol. Penghasilannya pun enggak seberapa, dengan performa kerja yang kurang maksimal. Mau enggak mau, Dina “bergantung” pada kedua atasannya, Tommy dan Bayu (Kristo Immanuel).

Keduanya kemudian memanfaatkan kerentanan itu: Tommy meminta Dina melakukan semua permintaannya, sedangkan Bayu melakukan pemerkosaan saat Dina di bawah pengaruh alkohol.

Meski enggak ditampilkan eksplisit, tindakan Bayu direpresentasikan lewat dialog. Bayu berasumsi, ciuman yang Dina berikan adalah consent untuk berhubungan seksual. Padahal, ketika seseorang menyetujui suatu aktivitas, bukan berarti setuju melakukan aktivitas lainnya dalam sebuah rangkaian interaksi. Terlebih Dina dalam kondisi tidak dapat memberikan consent.

Sayangnya, Sleep Call enggak mengeksplorasi lebih lanjut terkait pemerkosaan yang dilakukan Bayu. Kelihatannya, Dina “memaklumi” kekerasan yang diterima, lantaran kondisi finansialnya bergantung pada kedua atasan. Buktinya, Dina masih bekerja di perusahaan pinjol, meski penyebab hidupnya tertekan juga berasal dari kantor tersebut.

Dampaknya, Dina bertindak permisif, demi bertahan dari situasi yang membuatnya tertekan. Ia mengorbankan nyawa orang lain yang lebih dulu menyakitinya, lalu dipotret seolah tindakan tersebut adalah pemberdayaan dirinya.

Lewat adegan itu, tampaknya Sleep Call ingin memotret perempuan yang keluar dari kerentanan berlapis, dan mampu memberdayakan diri. Ini didukung oleh ending cerita Rama dan Shinta, yang dibacakan salah satu pasien ODGJ di panti rehabilitasi. Bahwa Shinta enggak butuh sosok Rama, untuk mendampinginya. Serupa dengan Dina yang enggak butuh sosok laki-laki, yang selama ini mengobjektifikasinya.

Lantas, untuk menunjukkan pemberdayaan perempuan, Fajar Nugros memilih melanggengkan trope female revenge dalam filmnya.

ulasan film Sleep Call
Sumber: IMDB

Baca Juga: Review ‘Inang’: Cerita Horor Perempuan yang Menghadapi Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan yang Balas Dendam untuk Menunjukkan Kekuatan

Trope female revenge adalah sebutan untuk plot film, ketika karakter utama perempuan menggunakan kemampuannya untuk membalas dendam. Biasanya, ia menjadi korban male gaze dan seksualisasi laki-laki, sehingga ingin menunjukkan kekuatannya. Caranya dengan meniru perilaku toksik laki-laki, yang mencerminkan kekerasan—seperti dalam The Godfather (1972) atau Reservoir Dogs (1992)

Namun, ketika perempuan melakukan kekerasan, sering kali aksinya direduksi menjadi sesuatu yang reaktif. Berbeda dengan tindakan laki-laki yang dianggap sebagai cerminan perasaan, dan respons atas suatu peristiwa.

Dalam tulisannya di The Swaddle, penulis Pooja Das Sarkar mengatakan, peniruan aksi kekerasan yang dilakukan laki-laki, sering kali enggak cukup menunjukkan alasan perempuan melakukan balas dendam yang sebenarnya. Justru itu terlihat sebagai feminisme performatif, dengan mengurangi kesedihan menjadi kekerasan tak bermakna. Pada akhirnya, perempuan terlihat membenci laki-laki atau feminazi.

Hal itu yang muncul dalam Sleep Call. Selain Tommy dan Bayu, Dina melukai dua laki-laki lain. Secara kasatmata, plot tersebut seperti menunjukkan kebencian Dina terhadap laki-laki, yang dinilai membawa pengalaman buruk. Tanpa sepenuhnya menerangkan alasan Dina bertindak demikian. Meminjam kalimat Sarkar, enggak ada closure dari tindakan perempuan menyakiti laki-laki—dalam film ini Dina. Sekalipun memuaskan untuk ditonton.

Berbeda dengan Bad Sisters (2022), yang disutradarai oleh Dearbhla Walsh. Perbuatan balas dendam yang dilakukan Grace (Anne-Marie Duff) dilatarbelakangi oleh sakit hati terhadap mendiang sang suami, John Paul (Claes Bang). Pasalnya, John bersikap abusive, manipulatif, dan mengontrol hidup Grace serta anaknya. Ketiga saudara perempuan Grace pun sempat berupaya membunuh John, yang kemudian gagal dan sempat diliputi rasa takut, ketika tahu John mati.

Bukan hanya dendam, Bad Sisters turut menampilkan nuansa berupa penyesalan, rasa bersalah, serta luka dari kekerasan yang dialami keempat karakter saudara kandung perempuan. Kompleksitas itu yang berhasil disampaikan Walsh, dalam memotret karakter perempuan yang ingin membalas dendam.

Sayangnya, narasi serupa belum disampaikan oleh Fajar Nugros. Alhasil, saya mempertanyakan, apakah pemberdayaan perempuan dalam Sleep Call cuma sebatas feminisme performatif?



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *