Culture Screen Raves

Film Thailand ‘OMG! (Oh My Girl)’: Jatuh Cinta Itu Menyakitkan!

Guy bisa jadi salah satu cowok paling tolol dalam sinema romcom. Derajatnya jauh lebih menyedihkan dari Tom dalam '500 Days of Summer.'

Avatar
  • July 6, 2023
  • 5 min read
  • 3512 Views
Film Thailand ‘OMG! (Oh My Girl)’: Jatuh Cinta Itu Menyakitkan!

OMG! (Oh My Girl) langsung menarik perhatian saya sejak adegan pertama. Seorang laki-laki berdiri di depan seorang perempuan sambil mengirimkan pesan yang mengatakan ketertarikannya pada si perempuan. Kemudian si perempuan membalas dengan verbal bahwa dia juga suka dengan si laki-laki.

“Takdir,” kata suara narator, menyela adegan itu. “Sebenarnya film ini bisa berakhir sekarang. Tapi kenyataannya laki-laki ini hanya pemain figuran. Bukan pemeran utama. Pemeran utama prianya sedang berdiri disana seperti orang tolol.” Dan kamera bergerak memperlihatkan Guy (Wongravee Nateetorn) mengintip temannya sedang “menembak” perempuan di samping bleachers.

 

 

Penulis skrip Thitipong Kerdtongtawee (yang juga menjadi sutradara) dan Thanaram Prameboon tahu benar dengan apa yang mereka lakukan dengan pembukaan ini. Opening yang menggemaskan, lengkap dengan jokes yang on point sangat tepat untuk menceritakan kisah cinta antara Guy dan June (Plearnpichaya Komalarajun). Pembukaan ringan dan jenaka ini akan membuat siapapun yang menonton, termasuk saya, meruntuhkan pertahanannya. Sehingga ketika kita sampai di pertengahan film, pembuatnya dengan mudah menggenggam hati kita dan menginjak-nginjaknya di lantai.

Baca juga: 3 Fakta ‘Ticket to Paradise’: Romcom yang Kental Cara Pandang Penjajah

Pesan moral: jangan percaya dengan pembukaannya yang manis. OMG! (Oh My Girl) adalah film sadis yang menyakitkan.

Secara plot, OMG! (Oh My Girl) memang bukan film yang revolusioner, meskipun yang disajikan lumayan fresh. Melihat posternya yang unyu, saya kira film ini adalah cerita standar tentang cowok cupu naksir cewek populer. Tapi, ternyata bukan. Ini adalah tentang cowok cupu-goblok yang selalu memendam perasaannya dan menyiksa diri sendiri dengan melihat gadis pujaannya berkali-kali jalan dengan cowok lain. Terdengar sederhana dan sangat relatable sekali, bukan?

Meskipun plotnya cukup simple, yang ditawarkan film ini lumayan berhasil untuk menguji kesabaran penonton (baca: saya). Guy bisa jadi salah satu cowok paling tolol yang pernah saya lihat dalam sinema kategori romansa. Derajatnya jauh lebih menyedihkan daripada Tom di 500 Days of Summer. Tom juga pathetic tapi setidaknya dia sempat mendapatkan Summer meskipun hanya sebentar. Guy hanya bisa mengagumi June dari dekat tanpa ada effort untuk actually menyatakan perasaannya. Saat Guy mengaku suka dengan June, semuanya sudah terlambat. Dan kita semua tahu bahwa dalam cinta, timing is everything.

Sumber: IMDB

Karakter yang Realitis dan Cerita yang Menghipnotis

Ada banyak hal yang membuat film ini membuat saya nyeletuk, “Kenapa sinema kita tidak bisa membuat film yang seperti ini ya?”, yang membuat saya mengoyak-ngoyak bantal dan berteriak saat menyaksikan aksi flirting back and forth antara Guy dan June.

Salah satu elemen yang membuat saya begitu terbawa dengan kisah dua orang ini adalah bagaimana pembuat filmnya merangkai adegan-adegan sederhana, tapi begitu efektif secara emosional. Karakter Guy dan June dirakit dengan begitu sangat believable, lengkap dengan berbagai inside joke mereka. Bagaimana Guy mencoba (dan gagal) untuk menghibur June setelah dia putus-nyambung-putus-nyambung-putus-nyambung dengan cowoknya, Phing (Michael Pugh). Bagaimana June mau-mauan menerima tantangan Guy untuk kenalan dengan cowok random hanya untuk menunjukkan bahwa dia easy going. Bagaimana keduanya begadang hanya untuk saling ledek ngirim GIF.

See? Tidak ada adegan yang membutuhkan CGI mahal atau lokasi mewah, dan film ini melaksanakan tugasnya dengan baik. Dunia mereka terbentuk dengan cantik karena pembuat filmnya tidak hanya membuat karakter utama yang manusiawi, tapi juga orang-orang yang ada di sekitar mereka punya fungsi jelas. Tidak ada satu pun karakter pendukung yang muncul hanya untuk one liner tidak jelas atau muncul di layar karena aktornya terkenal (looking at you, some local movies).

Saya makin frustrasi saat menonton OMG! (Oh My Girl) karena Kerdtongtawee bersama sinematografer Sutthichai Luangmornkert menggambar film ini dengan visual sederhana, tapi tepat sasaran. Tidak ada kamera berputar 360 derajat, tidak ada drone shot. Gerakan kameranya sesederhana handheld, panning, tilting dan kadang tracking, tapi semuanya tepat guna. Tidak hanya semua kamera shot-nya membantu untuk menyampaikan jokes yang akan disampaikan (seperti di pembukaan film), tapi juga luar biasa efektif untuk membuat saya sebagai penonton merasakan sesuatu.

Baca juga: Buat Ekspektasi Tak Realistis, Yang Saya Pelajari dari Film Romcom Remaja

Adegan sesederhana Guy dan June joget di sebuah acara konser, di tengah keramaian kemudian tiba-tiba kita melihat mereka berdua menikmati momen di tempat yang sama, tapi tanpa keramaian lain. Saat itu juga, saya langsung merasakan apa yang orang kedua ini rasakan, tapi tak berani dinyatakan.

Setelah semua kelucuan yang terjadi di masa SMA Guy, OMG! (Oh My Girl) memang berubah menjadi film yang agak serius. Terutama ketika kita sampai di fase yang berbeda dalam kehidupan Guy dan June. Akhir filmnya yang tidak manis seperti film romantic comedy kebanyakan, juga mungkin akan membuat para hopeless romantic kesal.

Saya, sebagai pecinta romcom sejati, sebenarnya juga merasa dikhianati ketika saya menemukan diri saya tidak begitu banyak tertawa seperti paruh pertama OMG! (Oh My Girl). Tapi di kali kedua saya menonton film ini, saya menemukan diri saya berdamai dengan endingnya. Karena apa? Karena semua yang dilakukan karakter-karakternya sangat konsisten.

Film OMG! (Oh My Girl) ulasan bahasa indonesia
Sumber: IMDB

Bagian paling tidak realistis dalam film sejenis adalah bagaimana cara karakter utamanya berperilaku setelah mereka mengalami kejadian yang membuat hidup mereka jungkir balik (biasanya ada di akhir babak kedua). Orang-orang ini berubah menjadi orang yang lebih baik dalam semalam. Mendadak mereka menjadi bijaksana dan tahu rahasia semesta dalam waktu sekejap. OMG! (Oh My Girl) tidak melakukan itu.

Baca juga: ‘Semantic Error’: Ramuan Romcom+BL yang Manjur

Sampai akhir film, Guy dan June tetaplah seperti orang yang kita temui di awal film. Guy tetap reckless dan tolol, June tetap menjaga hatinya. Dua orang ini mungkin belajar dari kesalahan mereka tapi perubahan mereka tidak drastis dan hal tersebut entah kenapa terlihat sangat comforting di mata saya.

“Kalau suatu hari kamu sudah oke sama aku, bisa nggak kita temenan lagi?” tanya Guy di akhir film. “Tentu saja.” Dan disaat itulah OMG! (Oh My Girl) berhasil membuat saya mengumpat-ngumpat.

OMG! (Oh My Girl) dapat disaksikan di Netflix



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *