‘Mata di Tanah Melus’ dan Upaya Okky Madasari Mendekatkan Isu Masyarakat Adat pada Anak
Gadis 12 tahun bernama Mata diajak ibunya berlibur ke Atambua, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste. Di sana ia bertemu suku Melus.
Novel anak Mata di Tanah Melus karya Okky Madasari menjadi salah satu novel yang menjadi fokus thesis saya. Novel ini menjadi seri pertama dari tetralogi Mata; Mata di Tanah Melus, Mata dan Rahasia Pulau Gapi, Mata dan Manusia Laut, serta Mata dan Nyala Api Purba. Dalam wawancara dengan Gramedia.com, Okky bilang novel anak tersebut lahir dari sebuah kegelisahan. Menurutnya, buku anak atau novel sangat terbatas, kebanyakan buku anak yang beredar didominasi buku terjemahan. Okky terdorong untuk menulis buku anak yang mengandung nilai-nilai positif kehidupan.
Bagi saya, yang sedang meneliti sastra popular khususnya sastra anak, karya Okky Madasari menjadi angin segar sebagai wujud hadirnya sastra progresif yang menghadirkan isu lingkungan dan persoalan masyarakat adat—dua isu yang dekat dengan Indonesia.
Baca juga: Menelusuri Geliat Kritik Sastra Anak Indonesia: Minim dan Diabaikan?
Hingga hari ini, sastra anak di Indonesia masih banyak diambil dari cerita rakyat yang berupa mitos dan legenda. Beberapa cerita dikategorikan sebagai sastra anak karena menjadikan anak sebagai tokoh utama dan menjadi bahan pembelajaran moral. Namun sebenarnya, tidak semua cerita rakyat sesuai untuk anak karena tidak dibuat khusus untuk konsumsi anak.
Hasil penelitian yang dilakukan Setiyawan (2024) dalam judul ‘From Cindelaras to Snow White: A Critical Analysis of Popular Children’s Literature with an Ecofeminist Perspective’ menyebutkan bahwa cerita rakyat seperti Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Jaka Tarub dan Ande-Ande Lumut justru menonjolkan penindasan kepada perempuan, karakter protagonis yang lemah dan penuh kemalangan.
Hasil penelitian ini juga menyebut bahwa cerita-cerita ini tidak sesuai untuk anak karena terlalu banyak menonjolkan kisah cinta sepasang kekasih, penindasan terhadap perempuan dan alam, perempuan membenci perempuan (misoginis), laki-laki sebagai pusat yang diperebutkan. Namun, cerita-cerita tersebut masih terus beredar di pasar, mal, toko dan berada di perpustakaan sekolah.
Singkatnya, Mata di Tanah Melus bercerita tentang petualangan seorang gadis berusia 12 tahun bernama Mata yang diajak ibunya berlibur ke kawasan terluar Indonesia, Atambua, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste.
Setibanya di sana, Mata mengalami berbagai kejadian aneh, mulai dari menabrak sapi dengan mobil yang ditumpanginya yang membuat Mata terus-terusan bermimpi dikejar sapi, menggelar ritual untuk menjaga keselamatan, sampai bertemu suku Melus yang merupakan salah satu penghuni pertama Kabupaten Belu. Suku Melus digambarkan sebagai suku yang sangat menghargai alam. Mereka adalah penjaga Gunung Lakaan yang kuat dan sakti.
Namun, suku Melus kian hari kian terpojok oleh suku lain dan pendatang-pendatang baru yang merampas kekayaan dan merusak tempat tinggal mereka. Itulah yang menyebabkan bangsa Melus menutup diri dari dunia luar. Mata menyaksikan bagaimana dampak dari konflik horizontal mengakibatkan suku Melus menutup diri dari dunia luar, suku Melus menganggap pendatang adalah sebuah ancaman. Bangsa Melus menghormati alam dan menjadikan penjagaan alam sebagai tugas dan kehormatan. Tugas menjaga alam ini pun berdampak baik untuk bangsa Melus sehingga mereka hidup berkecukupan dengan memanfaatkan alam dengan bijak dalam kehidupan mereka.
Baca juga: Capeknya Jadi Anak Sastra, Kuliah Susah tapi Masih Distigma
Masyarakat Adat, Hutan, dan Perubahan Iklim
Saya meyakini Okky ingin menyampaikan masalah-masalah krusial yang terjadi di Indonesia seperti deforestasi (pembabatan) hutan, eksploitasi sumber daya alam, perubahan iklim, perburuan hewan liar hingga dampak hilangnya hutan bagi masyarakat adat. Seperti yang kita tahu, Asia Tenggara pada tahun 2015 memiliki hutan seluas 206,5 juta hektare, dan sekitar 65 persen berada di Indonesia, namun yang mengerikan 55 persen dari luas hutan tersebut diperkirakan akan hilang pada tahun 2050 karena pertambangan, eksplorasi energi dan kebakaran. Indonesia sedang menghadapi krisis iklim saat ini dan masyarakat adat lah yang paling merasakan dampak buruknya, karena mereka menggantungkan keberadaan lahan dan hutan sebagai mata pencaharian dan bertahan hidup. Jika sumber daya alam terus dieksploitasi maka keanekaragaman hayati, ekosistem, mata pencarian, ketahanan pangan, pasokan air, dan kesehatan masyarakat adat akan terganggu.
Mirisnya, hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya seringkali tidak diakui dan dilanggar.
Berdasarkan data greennetwork, presentase masyarakat adat hanya berjumlah 6 persen dari populasi global, namun merekalah yang melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia, maka ketika ekosistem rusak akibat perubahan iklim, masyarakat adat lah yang paling menanggung bebannya.
Pesan tersebut digambarkan Okky lewat suku Melus yang menjaga hutan secara turun temurun sebagai ruang sakral yang tak tergantikan. Bagi suku Melus hutan adalah rumah dan sumber penghidupan, mereka memanfaatkan hutan sebagai tempat bercocok tanam, menanam berdasarkan kearifan lokal mereka, sampai pada akhirnya datang orang Bunang yang mengancam keberadaan mereka.
Hal tersebut akhirnya mengingatkan kita pada rusaknya hutan-hutan di Indonesia seperti di Kalimantan, Papua, NTT dan bagaimana masyarakat adat tidak berdaya melawan penguasa yang kapitalis, padahal para penguasa itu tahu, jika perampasan hutan oleh perusahaan skala besar seperti tambang dan kelapa sawit secara jelas melanggar hak asasi masyarakat adat dan secara tidak langsung merenggut masa depan mereka.
Meski seakan-akan isu yang diangkat berat, namun Okky berhasil mengemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, alur yang cepat sehingga anak-anak tidak cepat bosan ketika membaca. Okky tidak hanya menggabungkan antara fantasi dan sejarah yang mengasah daya imajinasi anak, tetapi juga menghadirkan pengetahuan tentang beragamnya suku-suku di Indonesia beserta tradisinya.
Baca Juga: Mengenang Toeti Heraty, Sang Profesor, Penyair, dan Guru Para Feminis
Pentingnya Sastra Anak Berwawasan Ekologis di Indonesia
Di tengah badai kerusakan lingkungan yang terjadi, sudah seharusnya bacaan ekoliterasi menjadi bacaan wajib yang berada di rumah dan rak-rak perpustakaan sekolah yang menjadi kesadaran orang tua dan guru.
Menjaga dan peduli terhadap lingkungan merupakan salah satu indikator dari pendidikan karakter. Meningkatkan bacaan-bacaan tentang sastra anak yang bertema lingkungan dapat membantu anak-anak untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Cerita dengan latar alam banyak mengandung nila-nilai pendidikan yang dapat menjadi pedoman tingkah laku bagi anak-anak sehingga rasa cinta terhadap alam dengan sendirinya akan tertanam dalam diri mereka. Pentingnya literasi ekologis tidak dapat diabaikan, karena perannya sangat penting untuk mengetahui pemahaman akan dampak dari aktivitas manusia terhadap lingkungan. Dengan adanya literasi ekologis yang memadai, anak dapat lebih bijaksana dalam bertindak atau melakukan sesuatu.
Seperti yang kita tahu, bahwa anak-anak memiliki karakteristik fantasi yang berkembang dalam fase menerima segala nilai dalam cerita, terlepas cerita tersebut masuk akal atau tidak, sehingga dalam hal ini membaca karya sastra anak yang berkualitas dalam konteks menanamkan kesadaran ekologi memiliki urgensi yang kuat. Karya sastra bisa menjadi media yang sangat potensial untuk mempengaruhi pola pikir dan tindakan, mengingat anak-anak adalah peniru ulung.
Baca juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina
Matthew Grenby seorang ahli sastra dari Skotlandia dalam bukunya berjudul Children Literature menyebutkan bahwa cerita anak harus selalu dilandasi oleh harapan mempersiapkan seorang anak untuk menjadi manusia dewasa yang baik.
Anak-anak yang sadar akan literasi ekologi akan menjadi masyarakat yang tidak akan merusak lingkungan sekitarnya, tetapi mereka akan menjaga lingkungan mereka supaya mereka nyaman akan lingkungan tempat mereka bergantung. Salah satu strategi penting yang harus disadari oleh orang tua dan guru untuk meningkatkan literasi ekologis adalah dengan membaca karya sastra progresif, dan tentu Mata di Tanah Melus layak menjadi pilihan sebagai bagian ikhtiar preventif dalam menyelamatkan bumi dan mempersiapkan anak agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang baik.