Culture Screen Raves

‘YOLO’: Adaptasi ‘100 Yen Love’ yang Bikin Hati Hangat

Lewat Leying, karakter utamanya, kita diingatkan tentang semangat hidup yang memang tak selalu lurus.

Avatar
  • August 6, 2024
  • 4 min read
  • 762 Views
‘YOLO’: Adaptasi ‘100 Yen Love’ yang Bikin Hati Hangat

(Artikel ini mengandung spoiler)

Du Leying (Jia Ling) tidak mempunyai semangat hidup, bangun tidur hanya untuk makan, tak punya tujuan jelas. Semua usaha keluarganya untuk membuat Leying melakukan sesuatu, gagal. Saudaranya yang bekerja di televisi mencoba untuk membuat Leying sebagai peserta acara reality show. Leying sangat cocok untuk bahan olok-olok. Hidupnya hanya di sofa, ia tidak pernah membantu keluarganya dan fisiknya yang overweight membuat ia menjadi sasaran empuk.

 

 

Setelah pertengkaran dengan saudarinya, Leying akhirnya keluar dari rumah. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari pekerjaan. Setelah diterima menjadi pelayan di sebuah restoran BBQ, Leying bertemu dengan Hao Kun (Lei Jiayin), seorang coach di tempat  latihan tinju di dekat restoran. Hao Kun terlihat fit, beda dari Leying. Tapi, perbedaan mereka hanya di batas fisik. Secara emosional mereka berdua adalah orang yang sama: Orang yang menyerah dengan hidup.

Leying akhirnya memutuskan untuk menjadi anggota di tempat latihan tinju tersebut. Tujuan utamanya jelas untuk mendapatkan hati Hao Kun. Tapi dalam perjalanannya Leying menemukan lebih dari sekedar cowok. Ia menemukan tujuan hidup. Dan semakin Leying berubah secara fisik, kepribadiannya pun ikut berubah. Sekarang Leying mencari posisi untuk bisa menang.

Baca juga: ‘Anyone But You’: Romcom Duet Glen Powell dan Sydney Sweeney

Mengikuti Pergerakan Lambat Karakter Utama

Diadaptasi dari film Jepang berjudul 100 Yen Love, YOLO mengenalkan karakter utamanya dengan baik. Di umurnya yang sudah tidak lagi muda (32 tahun), Leying menghabiskan waktunya tidak melakukan apa-apa. Kerjaannya hanya menjadi penghias sofa. Ibunya sudah menyerah, saudaranya tidak bisa melakukan apa-apa. Kepasifan Leying tidak terbatas pada kemalasannya untuk melakukan apa pun. Ia bahkan tidak bereaksi apa-apa ketika pacarnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Menyaksikan Leying tidak merasakan apa-apa, bahkan ia bersedia menjadi bridesmaids di pernikahan sahabatnya yang sudah menikung pacarnya, membuat saya sebagai penonton langsung tidak sabar untuk melihat perubahan yang terjadi dengan karakter utamanya.

Sebagai sebuah komedi, YOLO menghabiskan banyak waktu untuk bermain-main. Di tangan editor yang tepat, karakter utama film ini tidak akan menghabiskan waktu sampai 45 menit agar ia masuk ke gym. Seolah-olah meniru gerak tokoh utamanya yang lambat, film ini mengenalkan dunia karakter utamanya dengan sabar. Dan sesuai dengan progress karakter utamanya, tempo film berubah menjadi lebih gesit ketika Leying sudah berubah transformasi. Keputusan editing ini memang tidak begitu mengganggu meskipun kalau diedit dengan lebih rapi ia akan menjadi lebih powerful.

Bagian paling menyegarkan dari YOLO adalah bagaimana film ini menolak menjadi sebuah roman picisan. Ketika Hao Kun muncul, saya sudah membayangkan semua klise yang ada di film-film sejenis muncul dalam film ini. Tapi rupanya pembuat film ini mempunyai thesis yang jelas di kepala mereka. YOLO bukanlah sebuah komedi romantis yang semuanya berpusat pada cinta atau cowok ganteng. Film ini menunjukkan dengan jelas bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Meskipun katalisnya memang laki-laki tapi YOLO pada akhirnya menunjukkan bahwa Leying berubah karena keinginannya sendiri, bukan Hao Kun.

Konklusinya yang menunjukkan bahwa Leying tidak fokus untuk cinta saja juga membuat film ini menjadi refreshing. Sepanjang film kita melihat Leying melakukan sebuah keputusan tanpa pikir panjang.

Di akhir film, ketika Hao Kun mengajaknya berkencan, Leying justru merespons dengan jawaban yang sangat berbeda dengan film-film romantic comedy. Ia menjawab dengan keyakinan bahwa ia mungkin akan mau berkencan kalau dia sudah “mood”. Melihat perubahan Leying ini, saya tidak bisa menahan diri untuk ikut senang.

Baca juga: ‘The Bear’ Season 3: Kejayaan dan Keterpurukan Carmy

YOLO Sukses di Global

Saat saya menulis artikel ini, saya terkejut dengan kenyataan bahwa YOLO mendapatkan hampir setengah miliar dollar hanya dari pendapatan tiket dari pemutarannya di seluruh dunia. Kalau film ini adalah film superhero atau produk remake Hollywood lain, saya tidak akan kaget. Kesuksesan ini tentu saja membuat saya semakin bangga dengan Jia Ling yang dalam film ini melakukan akrobat dengan mengerjakan banyak hal.

Dalam YOLO, Jia Ling tidak hanya menyutradarai tapi ia juga ikut menulis skrip (bersama Sun Jibin, Liu Honglu, Guo Yupeng dan Bu Yu) tapi ia juga menjadi pemeran utama. Sebagai seorang sutradara, Jia Ling berhasil menawarkan tontonan yang sungguh konsisten dari awal sampai akhir. Film ini hangat dan lucu pada saat yang bersamaan. Sebagai seorang aktor, Jia Ling berhasil menunjukkan transformasi yang sungguh menawan. Tidak ada fat suit dan body double untuk membuat Jia Ling terlihat overweight. Transformasi yang penonton lihat melalui Leying menjadi terasa magis karena kita benar-benar melihat orang yang sama berubah di hadapan kita. Dan ternyata magis inilah yang membuat YOLO menjadi tontonan yang sungguh spesial.

YOLO dapat disaksiksan di Netflix



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *