Rilis Sikap: Melawan Pandemi Bernama Kekerasan Terhadap Perempuan
Di tengah perayaan Hari HAM dan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pandemi tersendiri.
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional 2020 yang sekaligus menjadi rangkaian penutup 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan harus kita lalui dalam kondisi pandemi. Setiap harinya jumlah korban COVID-19 terus bertambah sementara penanganannya masih jauh dari harapan. Bagi perempuan, pandemi ini tidak hanya membatasi ruang gerak namun juga menimbulkan pandemi baru atau sering disebut shadow pandemic (pandemi bayangan) di mana perempuan semakin rentan mengalami kekerasan.
LBH APIK Jakarta mencatat sepanjang pandemi ini terdapat 710 pengaduan kekerasan terhadap perempuan. 225 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 196 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang meningkat tajam seiring dengan berjalannya penanganan pandemi COVID-19. Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga sering belum berpihak kepada korban, bahkan masih banyak terjadi kriminalisasi terhadap korban. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya sistem penanganan, mulai dari tidak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), ketersediaan layanan yang terbatas, penerimaan laporan kasus yang tidak responsif di level penegakan hukum, serta penggunaan Undang-Undang Informasi dan Telekomunikasi Elektronik (UU ITE) yang berpotensi memidana korban kekerasan.
Pandemi bayangan lainnya juga dialami oleh perempuan pekerja rumah tangga (PRT) dan perempuan adat, karena keberadaan mereka tidak diakui atau dilindungi oleh negara. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah 16 tahun mangkrak di DPR dan berakibat pada tidak terpenuhinya hak PRT atas upah yang layak, waktu istirahat, tunjangan hari raya, dan hal lain. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat juga terbentur dengan kepentingan oligarki dan perusahaan, padahal ekspansi eksploitasi dan komodifikasi sumber daya alam mengakibatkan perempuan adat tercerabut dari akar hidupnya.
Alih-alih memberikan pelindungan pada perempuan, pemerintah Republik Indonesia malah menyetujui pembahasan rancangan undang-undang yang semakin meminggirkan perempuan seperti Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), dan tidak meninjau ulang pasal-pasal yang berdampak pada kelompok perempuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP).
Atas dasar hal tersebut, dalam rangka menutup 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan memperingati Hari HAM 2020, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) mengajak semua lapisan masyarakat untuk bergerak bersama “Melawan Pandemi Bernama Kekerasan Terhadap Perempuan” dan mendorong pemerintah untuk:
1. Segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dan mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam prioritas program legislasi berikutnya;
2. Merevisi Undang-Undang Informasi dan Telekomunikasi Elektronik agar berpihak pada korban kekerasan terhadap perempuan;
3. Memastikan layanan pemulihan dan pelaporan korban kekerasan terhadap perempuan yang responsif, termasuk di level penegakan hukum; dan
4. Menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dan meninjau ulang Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana serta Undang-Undang Cipta Kerja.