Politics & Society

Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Partai politik berperan vital dalam keterwakilan perempuan karena menentukan berhasil tidaknya implementasi kebijakan afirmatif.

Avatar
  • September 28, 2018
  • 6 min read
  • 844 Views
Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia, negara sudah menerbitkan kebijakan afirmatif (affirmative action), yaitu sebuah instrumen kebijakan yang dirancang sebagai aturan sementara untuk meningkatkan partisipasi dan menguatkan representasi perempuan dalam jabatan-jabatan politik. Kebijakan ini sudah diatur dalam Undang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan diperkuat dengan UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Selain itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur tentang daftar calon yang diajukan partai politik, yakni harus berisi 30 persen perempuan, dan menempatkan minimal satu perempuan dalam setiap tiga nama calon legislatif (caleg).

 

 

Namun faktanya, proporsi keterwakilan perempuan dalam kursi parlemen masih jauh dari ideal dibandingkan dengan proporsi laki-laki. Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) pada 2014 menunjukkan, dari 560 jumlah kursi legislatif di Dewan Perwakilan (DPR RI), perempuan hanya menduduki 97 kursi atau hanya sebesar 17 persen.

Padahal, jika perempuan tampil sebagai pembuat kebijakan (policymaker), maka akan memberi kontribusi sangat besar pada kesetaraan gender dalam kehidupan demokrasi. Pentingnya meningkatkan representasi perempuan adalah karena pengalaman dan kepentingan perempuan berbeda dengan laki-laki, menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

“Karena itu, dibutuhkan adanya perubahan struktur politik untuk mengakomodasi perbedaan tersebut,” ujar Titi, dalam diskusi bulanan Ruang (Ny)aman, hasil kerja sama Magdalene dan Ke:Kini Coworking Space serta The O Project, di Jakarta pekan lalu.

“Bicara kebijakan afirmasi, pencalonan atau rekrutmen adalah hilir. Hulunya itu adalah kaderisasi, di partai. Partai politik berperan vital karena menentukan berhasil tidaknya implementasi kebijakan afirmatif,” kata Titi.

Namun faktanya, partai politik kebanyakan hanya menempatkan perempuan dalam pemenuhan kuota secara formalitas saja, bukan sebagai peningkatan aktualisasi perempuan dalam ranah politik, kata Titi.

Ia menambahkan, kaderisasi yang dilakukan parpol masih berkutat pada ideologi partai, sementara ideologi partai kebanyakan tidak menempatkan keberpihakan pada perempuan sebagai salah satu instrumen ideologi mereka.

“Menurut saya, penting bagi pengurus parpol untuk mengubah paradigma bahwa keterwakilan perempuan itu bukan beban. Parpol melihat 30 persen keterwakilan perempuan sebagai kewajiban, kebutuhan, hilirnya. Bukan ketika hulunya saat mereka melakukan rekrutmen,” kata Titi.

“Kalau negara tidak menghadirkan perempuan yang ‘dimasak’ dengan baik di parpol melalui kaderisasi dan rekrutmen politik demokratis, perempuan hanya punya wakil fisik di parlemen tapi tidak punya gagasan, ide dan keberpihakan pada isu perempuan. Sama saja bohong,” lanjutnya.

Program perempuan

Riset Perludem untuk Pilkada 2018 menemukan, hanya ada 37 dari 101 perempuan calon kepala daerah atau 37 persen yang mencantumkan visi, misi dan program yang menyematkan kata perempuan, wanita, atau ibu pada programnya.

“Dengan kata lain, memiliki wakil perempuan saja tidak cukup. Tetapi bagaimana menginternalisasi nilai-nilai kenapa perempuan harus hadir di politik. Buktinya itu, justru kandidat perempuan, hanya sedikit program yang pro perempuan,” katanya.

Temuan riset Perludem dari Pilkada 2015 menunjukkan, tujuh dari 12 perempuan Kepala Daerah terpilih atau 58,3 persen yang memiliki visi, misi dan program yang berpihak pada perempuan. Pada 2017, hanya 17 dari 46 orang perempuan atau 37 persen yang memiliki visi, misi dan program yang berpihak pada perempuan.

Di tengah polarisasi dan persaingan yang sengit, sebenarnya ruang pemilih untuk membangun posisi tawar dengan kontrak politik menjadi terbuka, karena setiap calon sekarang berkepentingan terhadap seberapa kecil pun suara.

Artinya, implementasi kebijakan afirmatif untuk perempuan oleh partai politik harus tunduk pada prinsip untuk memperkuat dan memperluas basis rekrutmen perempuan.

“Keterwakilan perempuan di politik Indonesia perlu mendorong isu-isu spesifik yang lekat kaitannya dengan persoalan perempuan,” kata Titi.

Pandangan selama ini, kata Titi, dengan adanya sistem kuota semua selesai. Ada banyak cakupan ketika bicara afirmasi, ujarnya, seperti daerah pemilihan (dapil), sistem Pemilu, bagaimana caleg perempuan menampilkan desain surat suara. Dan hal itu sulit dilakukan kalau orang-orang di Parlemen tidak punya perspektif.

“Misalnya, percaya atau tidak, menempatkan perempuan 30 persen itu, advokasinya tidak berhenti ketika kita sudah punya norma itu di UU. Tahun 2017, ada seorang laki-laki anggota DPR yang masih bertanya, ‘Apa sih, gunanya, apa manfaatnya, keterwakilan perempuan di Parlemen?’. Padahal dia adalah anggota DPR, dan Indonesia sudah punya pasal afirmasi sejak 2003,” kata Titi.

FIrliani Purwanti, Sekretaris Departemen Perencanaan Pembangunan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, mengatakan bahwa untuk membuat perubahan, maka perempuan harus bisa merebut posisi tinggi dalam kementerian.

“Nyatanya sulit saat terjun ke dalam politik. Terlalu banyak dihakimi saat masuk partai,” kata Firliana.

“Kalau membuat perubahan, harus merebut posisi seperti sekjen. Karena sistem kaderisasi dalam partai memang tidak berjalan,” tambahnya.

Pentingnya menggunakan hak suara

Titi menjelaskan bahwa saat ini perempuan adalah pemilih mayoritas dengan angka yang jauh lebih besar daripada laki-laki, yakni dengan selisih 120.000. Pada 2014, lebih banyak pemilih laki-laki, sekarang sebaliknya. Selain itu, perempuan memiliki konsistensi lebih tinggi dalam menggunakan hak pilih. Hampir di semua daerah, angka pengguna hak pilih atau kuota turnout perempuan itu lebih tinggi. Artinya, peran perempuan dalam menggunakan hak suaranya sangat penting untuk digunakan jelang pesta politik.

Namun ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo memilih Ma’aruf Amin untuk menjadi calon wakil presiden jelang Pemilihan Presiden (Pillpres) timbul dilema bagi kelompok perempuan dan kelompok minoritas untuk tidak memilih. Titi mengatakan, hal itu merupakan bagian dari ekspresi politik untuk menunjukkan posisi politik kita.

“Sayangnya itu tidak muncul di tengah tren politik Indonesia, di mana banyak orang yang tidak menggunakan hak suara (golput) bukan karena alasan ideologis, tetapi justru karena tidak paham apa pentingnya Pemilu,” ujarnya.

Ia menambahkan, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, angka pengguna hak pilih sekitar 70 persen, 30 persen dianggap golput.

“Hal ini tidak bisa digeneralisasi sebagai orang yang tidak suka dengan para capres. Tetapi ada situasi elektoral di mana menjelang hari H, itu sedang Piala Dunia, misalnya. Jadi ada orang-orang yang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara) dengan alasan yang sangat tidak ideologis, seperti kesiangan, malas, ada juga yang harus buka dagangan. Mereka merasa tidak tahu apa pentingnya Pemilu,” katanya.

Karenanya, pilihan golput sebagai refleksi dari pilihan ideologis akan tenggelam oleh orang yang tidak datang ke TPS karena bangun kesiangan atau malas jalan ke TPS, ujar Titi.

Ia mengatakan, saat ini ada situasi politik yang harus dibangun, bagaimana membuat kontrak politik, terutama di tengah tajamnya polarisasi dengan pilihan yang terbatas.

“Di tengah pilihan yang terbatas, persaingan yang sangat kompetitif, sangat sengit, sebenarnya ruang kita membangun posisi tawar dengan kontrak politik menjadi terbuka. Karena setiap calon sekarang berkepentingan terhadap seberapa kecil pun suara. Ini menjadi yang paling mungkin kita lakukan,” katanya.

Ia mengatakan, jika seseorang tidak ke TPS untuk memilih, maka ia kehilangan lima posisi sekaligus untuk dipilih, karena bukan hanya presiden dan wakil presiden yang dipilih, tapi juga anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota, dan DPD.

“Dan biaya penyelenggaraan Pemilu dalam konteks memfasilitasi popular control (kendali rakyat), itu sebesar Rp18 triliun, dan ini luar biasa mahal. Maka hal yang terkecil yang bisa dilakukan adalah memilih, menggunakan hak suara,” kata Titi.

Firliana menambahkan, ia juga secara kontekstual sangat menentang golput, melihat betapa mahal harga pemilu yang bebas dan adil.

“Melihat teman-teman yang menjadi korban pada 1998, hak suara itu jadi mahal harganya. Kemudian tidak datang ke TPS karena alasan yang tidak ideologis seperti mengantuk dan sebagainya, itu saya tidak bisa terima. It’s the least that you can do,” ujar Firliana.

Baca juga bagaimana perempuan pekerja rumahan terabaikan dan tidak diakui haknya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Camely Artha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *