Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama
Negara masih menyulitkan pernikahan beda agama padahal undang-undang tidak melarang hal ini.
“Kana” risau karena hubungannya yang sudah sembilan tahun dengan sang pacar tidak kunjung berakhir ke pelaminan. Alasannya klasik: perbedaan keyakinan.
“Saya muslim, dan pacar saya Protestan. Namun ketika berbicara tentang menikah beda agama, memang masalah terbesarnya ada di keluarga kami masing-masing,” ujar perempuan tersebut.
Kerisauan Kana dihadapi oleh banyak pasangan di Indonesia karena keluarga, dan masyarakat pada umumnya, menuntut agar pasangan memiliki keyakinan agama yang sama. Yang menyulitkan pasangan seperti ini adalah bagaimana negara mengakomodasi keinginan masyarakat tersebut.
Pernikahan hanya bisa dicatatkan ke Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) jika telah disahkan oleh pemuka agama, sehingga mustahil bagi pasangan untuk mencatatkan pernikahan jika tidak direstui pemuka agama masing-masing. Jalan pintas bagi ratusan pasangan adalah menikah di luar negeri, baru mencatatkannya setelah kembali ke Indonesia.
Isu pernikahan beda agama ini menjadi fokus diskusi bulanan Ruang (Ny)aman, hasil kerja sama Magdalene dan Ke:Kini Coworking Space serta The O Project, di Jakarta pekan lalu. Bertindak sebagai narasumber adalah Ahmad Nurcholish, konsultan pernikahan di Yayasan Harmoni Mitra Madani dan aktivis di lembaga swadaya masyarakat Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP).
Nurcholish mengatakan, masalah yang paling klasik ketika membincangkan pernikahan beda agama adalah dikaitkan dengan pandangan keagamaan.
“Tantangan terbesar datang dari keluarga. Tapi umumnya, mereka mengacu pada pandangan keagamaan yang notabene secara umum di Indonesia melarang pernikahan beda agama,” kata Nurcholish, yang sudah melayani konseling ribuan pasangan beda agama sejak 2004, dan berhasil membantu 856 pasangan beda agama menikah melalui ICRP.
Antara 2005 sampai 2010, Nurcholish melakukan riset tentang pernikahan beda agama didukung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia mengatakan ada mazhab yang melarang pernikahan beda agama dengan mengacu pada dua ayat Alquran, yakni Albaqarah ayat 221, dan Almumtahanah ayat 10 yang menyebutkan, “Janganlah kalian menikah dengan orang musyrik sebelum mereka beriman.”
Ketentuan mazhab ini secara umum diikuti oleh hampir 99 persen umat Islam di Indonesia, ujar Nurcholish.
Namun ada juga mazhab yang memperbolehkan pernikahan beda agama, dengan syarat dilakukan oleh laki-laki muslim, dan si perempuan dibatasi merupakan pemeluk Nasrani atau orang Yahudi.
Lalu ada mazhab ketiga, yang memperbolehkan pernikahan beda agama, baik antara laki-laki muslim dan perempuan non-muslim, atau sebaliknya. “Ini sudah ada praktiknya sejak zaman Nabi Muhammad,” kata Nurcholish.
Ia menjelaskan, dua dari sembilan istri Nabi adalah non-muslim, yaitu Maria Al Fiqiah yang penganut Kristen Koptik dari Mesir, dan Sofiah yang orang Yahudi. Praktik yang sama juga dilakukan oleh kedua putri Nabi Muhammad dari Siti Chadijah, yakni Rukkoyah dan Zainab.
Nurcholish mengatakan, dalam agama Katolik, sudah jelas bahwa semua gereja mengizinkan pernikahan beda agama, menyusul aturan Vatikan yang dikeluarkan pada 1965. Sementara untuk Kristen Protestan di Indonesia, menikah beda agama sudah diperbolehkan melalui keputusan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) pada 1972.
“Menariknya adalah, keputusan PGI itu tidak serta merta diikuti oleh gereja-gereja di PGI itu sendiri. Yang baru bisa hanya di Gereja Kristen Indonesia (GKI). Itu pun tidak semua bisa memfasilitasi,” jelasnya.
Sementara itu, dari pihak Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) maupun Majelis Buddhayana Indonesia (MB), hampir tidak ada yang mempermasalahkan pernikahan beda agama.
“Begitu juga di Konghucu. Dalam ajaran Konghucu, ada ayat yang berisi ‘Menikahlah dengan orang yang berbeda marga’. Oleh para cendekiawan Konghucu, berbeda marga itu juga diartikan sebagai berbeda agama. Jadi tidak ada larangan,” tambah Nurcholish.
Namun yang paling rumit adalah agama Hindu, karena Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), belum memberikan lampu hijau bagi umat untuk menikah dengan non-Hindu.
“Kami agak kesulitan untuk mencari pemangku agama yang bisa menikahkan pemeluk Hindu dengan non-Hindu. Jadi harus melalui Sudi Wadani (pindah agama) terlebih dahulu, baru pemangku bisa melakukan Pawiwahan (pemberkatan nikah),” kata Nurcholish.
Pernikahan beda agama dalam konteks hukum dan negara
Dalam konteks hukum dan negara, Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan secara gamblang mengenai pelarangan menikah beda agama. Hanya ada dua ayat yang menyangkut instusi pernikahan terkait agama.
Pasal 2 ayat 1 mengatakan, pernikahan dikatakan sah ketika dilakukan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Menurut Nurcholish, ini artinya jika dilakukan dengan dua cara yang berbeda sekaligus, sesuai dengan agama masing-masing, sudah memenuhi faedah hukum dalam UU Perkawinan di Indonesia.
Dalam ayat berikutnya dijelaskan, bagi pasangan yang sudah disahkan oleh agamawan, maka tugas negara berikutnya adalah mencatat. Pencatatan itu diperkuat di dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 mengenai Administrasi Kependudukan, katanya.
“Sampai di sini sebetulnya jelas bahwa tidak ada pelarangan pernikahan beda agama. Dan itu diperkuat oleh Ketetapan Majelis Mahkamah Agung (TAP MA) Nomor 1400 Tahun 1986/1989. Namun, persoalannya ada di aparat negara kita,” ujar Nurcholish.
“Biasanya ada dua kemungkinan: pertama, petugas pencatatan sipil bias ideologi keagamaan. Artinya, secara agama dia meyakini bahwa menikah beda agama itu tidak boleh, maka itulah yang diterjemahkan olehnya dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat negara.”
“Yang menjadi korban adalah pasangan-pasangan beda agama yang akan menikah.”
Persoalan kedua, rata-rata aparat negara sendiri tidak paham akan konstitusi ini, ujar Nurcholish.
Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah meratifikasi Kovenan Hak Asasi Manusia dalam bentuk UU, yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana sebagai warga negara,kita memiliki hak-hak yang tidak bisa diintervensi, dikurangi, dan diganggu oleh siapa pun, termasuk oleh negara.
“Hak-hak tersebut harus dipenuhi oleh negara. Dan itu termasuk memilih pasangan dan memilih cara menikah, dan ini tidak bisa ditawar,” tambahnya.
“Intinya, secara konstitusi, sebetulnya pernikahan beda agama sudah clear.”
Pelaksanaan pernikahan beda agama
Menurut Nurcholish, pernikahan beda agama sebetulnya bisa dilakukan dengan dua upacara sekaligus. Misalnya, jika pasangan merupakan pemeluk Islam dan Kristen, maka akan ada akad nikah dan pemberkatan pernikahan yang dilakukan di satu tempat, entah itu gereja, masjid, atau di rumah. Namun tidak bisa melalui KUA.
Ada beberapa penghulu dan pendeta yang bisa membantu saat prosesi pernikahan agama, dan keduanya dilakukan tanpa harus ada yang pindah agama, kata Nurcholish.
“Setelah selesai dengan prosesi agama, berikutnya kita harus mencatatkan pernikahan kita pada negara melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Itu merupakan peluang kita saat KUA menutup pintunya,” tambahnya.
Problemnya, tidak semua kantor catatan sipil mau mencatatkan, kata Nurcholish. Namun dari hasil pemantauannya, saat ini ada beberapa kantor pencatatan sipil yang masih memungkinkan: di DKI Jakarta, Salatiga, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.
“Tapi ada peluang berikutnya yang jauh lebih menyenangkan. Anda bisa bulan madu sebelum menikah, jadi menikahnya di luar negeri,” ujar Nurcholish sambil tertawa.
Ia mengatakan, banyak pasangan yang melakukan pernikahan di luar negeri seperti Singapura, Bangkok, Australia, dan Hong Kong.
Tapi sebetulnya ada celah lain sebelum ke luar negeri, yaitu melalui pengadilan. Nurcholis menyarankan, ketika sudah mentok di catatan sipil, mintalah surat penolakan karena menikah beda agama. Surat penolakan itulah yang bisa dibawa dan disidangkan ke Pengadilan Negeri.
Beberapa kasus seperti ini sudah terjadi di Bandung, Solo, Bogor dan Depok, dan sebagian berhasil, ujarnya. Keberhasilannya pun juga tergantung pada hakim yang menyidangkan tidak bias ideologi agama.
Membesarkan anak dalam keluarga pasangan beda agama
Persoalan yang sering ditanyakan oleh pasangan beda agama adalah bagaimana mereka membesarkan anak mereka, terutama dalam konteks pendidikan agama.
Berdasarkan penelitiannya pada 2003 sampai 2010, Nurcholish menemukan tiga model pengasuhan yang sudah dilakukan oleh orang tua yang berbeda agama.
Model pertama yaitu melalui perjanjian pranikah yang menyatakan anak laki-laki ikut agama ayahnya, dan anak perempuan ikut agama ibunya, atau sebaliknya. Model kedua penetapan agama berdasarkan urutan kelahiran anak. Model ketiga, yang paling banyak dipakai, adalah ketika orang tua memperkenalkan dua tradisi agama kepada anak-anak mereka, sampai anak ini bisa menentukan pilihannya sendiri.
“Menurut saya model ketiga lebih moderat dan lebih progresif. Karena orang tua memberikan hak kepada anaknya untuk memilih. Dari saya pribadi, anak harus diperkenalkan ajaran dan nilai dari kedua agama yang dianut oleh orang tuanya,” ujar Nurcholis.
“Orang tua pasangan beda agama justru punya ruang yang lebih luas untuk mendidik anaknya dengan memperkenalkan lebih dari satu agama. Dan faktanya, anak akan tumbuh menjadi orang yang jauh lebih terbuka, lebih moderat, dan memiliki rasa toleransi yang lebih tinggi.”
Nurcholish juga menggarisbawahi pentingnya pemilihan sekolah untuk anak agar ia berada di lingkungan yang beragam dan tidak eksklusif.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, kalau bisa anak jangan disekolahkan di sekolah yang eksklusif. Kenapa? Agar anak mengenal perbedaan sejak dini, sehingga tumbuh rasa toleransi yang tinggi. Saya berharap agar generasi anak-anak sekarang bisa hidup dalam keberagaman di tengah tingginya intoleransi saat ini.”
*Ilustrasi oleh Sarah Arifin