Praktik Ruqyah terhadap Kelompok LGBT adalah Tindak Kekerasan
Praktik ruqyah terhadap kelompok LGBT berpotensi menimbulkan masalah psikologis.
Akhir tahun lalu, media Indonesia dan beberapa media luar negeri banyak menyoroti praktik ruqyah atau rukiah terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang dilakukan oleh Pemerintah Padang, Sumatera Barat. Praktik ini, menurut kamus, adalah “pengobatan hati dengan membaca zikir atau doa seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW., berfungsi untuk mengusir pengaruh jahat dari hati.
BBC (23/11) melaporkan bahwa dalam satu bulan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang telah menangkap 18 pasangan gay untuk diberikan pendampingan psikologis dan rehabilitasi oleh dinas sosial setempat. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan instruksi Wali Kota Padang guna memberantas perilaku maksiat dan LGBT, yang disebut sebagai Aksi Anti-Maksiat, Anti-LGBT. Orang-orang gay yang ditangkap tersebut diminta untuk menjalani rukiah untuk “menyembuhkan” mereka dari perilaku yang “menyimpang”.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam bulan-bulan selanjutnya, penangkapan terhadap kelompok LGBT pun terus-menerus dilakukan di Kota Padang. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang ini bersumber dari adanya anggapan bahwa seseorang menjadi lesbian, gay, biseksual, atau transgender akibat gangguan jin di dalam tubuhnya. Oleh karena itu, untuk “menyembuhkannya”, perlu dilakukan penghilangan terhadap jin tersebut.
Praktik ini dipilih karena dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Beberapa ustaz yang fokus pada praktik rukiah pun mengklaim bahwa mereka telah berhasil melakukannya terhadap beberapa orang dari kelompok LGBT. Dikutip dari ABC News (6/12/2018), seorang ustaz bernama Aris Fathoni dari Asosiasi Ruqyah Syar’iyyah Indonesia mengatakan bahwa rukiah dilakukan dengan membaca ayat-ayat Alquran sambil memukul sapu lidi ke punggung pasiennya. Sejak membuka praktik sejak tahun 2003, ia mengaku telah merukiah belasan pria yang mengaku homoseksual.
Saya melihat bahwa praktik rukiah yang terjadi di Indonesia ini ada hubungannya dengan homofobia yang mewabah di Indonesia. Menurut filsuf Michel Foucault, konsep mengenai homoseksualitas merupakan konsep yang diciptakan oleh wacana kedokteran Barat pada abad ke-19. Dalam konteks ini, kedokteran menetapkan seksualitas yang normal dan abnormal atau penyimpangan. Salah satu penyimpangan yang disebut secara rinci adalah homoseksual. Konsep ini pun berkembang di Barat dan menyebar hingga menjadi konsep arus utama di seluruh dunia. Konsep ini juga yang mengkontruksikan kita untuk memikirkan dikotomi seksualitas secara paten, yakni homoseksual dan heteroseksual. Akibatnya, kita tidak melihat alternatif terhadap seksualitas lain karena konstruksi arus utama tersebut.
Di Indonesia, ada persinggungan ruang yang tidak bisa dilepaskan untuk membicarakan homoseksual di Indonesia, salah satunya yang berpengaruh besar adalah persinggungan dengan agama dan lokalitas.
Di negara ini, agama menjadi hal wajib yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Setiap warga masyarakat di Indonesia saat ini harus memeluk satu agama dari enam agama atau kepercayaan lokal di Indonesia. Meski demikian, agama yang mendominasi di Indonesia adalah Islam. Ajaran-ajaran Islam banyak memengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia, bahkan sampai pada tingkat institusi negara. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila praktik rukiah menjadi suatu praktik yang dipilih oleh aparatur negara.
Mengenai posisi homoseksual Islam di Indonesia, khususnya gay, pernah dibahas oleh antropolog AS, Tom Boellstorff (2005). Dalam tulisannya, ia melihat bahwa seorang homoseksual Islam tidak memiliki ruang penerimaan. Agama, bangsa, dan gender–seksualitas merepresentasikan tiga titik dalam sebuah segitiga yang meletakkan keluarga heteronormatif sebagai pondasi bagi bangsa, kesalehan, dan kedirian warga negara yang baik.
Selain itu, peran media pun tidak bisa dilepaskan. Media turut melanggengkan dan menyebarkan homofobia tersebut. Selama ini, rukiah memang bukanlah hal yang asing di Indonesia. Namun, baru akhir-akhir ini praktik ini dipercaya untuk “menyembuhkan” LGBT. Hal ini dapat dilihat dari berbagai video yang menyajikan rukiah untuk kelompok LGBT, yang tersebar di Youtube selama satu tahun terakhir.
Dari pengamatan secara sekilas, narasi-narasi yang diproduksi dalam video-video tersebut adalah bahwa pertama, LGBT merupakan sesuatu yang melanggar agama dan tidak sesuai dengan kodrat. Kedua, LGBT disebabkan oleh gangguan jin. Ketiga, LGBT bisa “disembuhkan” melalui rukiah. Padahal bukannya menjadi heteroseksual, praktik semacam ini merupakan adalah tindak kekerasan terhadap kelompok LGBT karena berpotensi menimbulkan masalah psikologis, seperti depresi dan lain sebagainya. Dalam praktik ini, media telah menjadi apa yang disebut oleh Foucault (1980) sebagai rezim kebenaran. Media bukanlah corong untuk menyampaikan kebenaran, tetapi menjadi pihak yang memproduksi kebenaran itu sendiri.
Meski demikian, produksi wacana praktik rukiah yang diproduksi oleh media ini tidak bersifat tunggal. Ada wacana yang berusaha menandinginya. Kita bisa melihat dari berbagai artikel yang dibuat oleh berbagai media, baik Indonesia maupun asing dalam melihat fenomena ini. Sebagian besar melihat bahwa praktik rukiah merupakan praktik kekerasan terhadap LGBT. Selain itu, dari beberapa fakta lapangan yang didapat oleh mereka, banyak kelompok LGBT yang melakukan rukiah dan hasilnya nihil. Kontestasi wacana pun tak dapat dihindarkan sampai saat ini. Namun, sepertinya pemenangnya yang pertama, seiring politisasi agama yang marak akhir-akhir ini.