Issues Politics & Society

UU TNI: Di Antara Barak dan Kebijakan, Di Mana Posisi Perempuan?

Pengesahan UU TNI memperkuat dominasi militer dalam ranah sipil, mempersempit ruang perempuan dalam pengambilan keputusan strategis di tubuh TNI dan institusi negara.

Avatar
  • March 27, 2025
  • 5 min read
  • 305 Views
UU TNI: Di Antara Barak dan Kebijakan, Di Mana Posisi Perempuan?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah memicu pro dan kontra tajam di tengah masyarakat. Proses pengesahannya yang berlangsung cepat—hanya satu bulan setelah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025—menimbulkan gelombang protes di berbagai daerah, terutama di Jakarta. Ironisnya, pembahasan RUU yang begitu kilat ini dilakukan di Hotel Fairmont Jakarta, hanya berjarak empat kilometer dari Gedung DPR.

Pengesahan UU TNI pada 20 Maret 2025 memunculkan kekhawatiran besar karena memperluas kewenangan militer dalam ranah sipil, termasuk pengamanan demonstrasi, pengelolaan bencana, hingga keterlibatan dalam lembaga penegakan hukum seperti Kejaksaan. Ini memperkuat posisi militer dalam pengambilan kebijakan sipil—sebuah kemunduran dari semangat reformasi yang selama ini berupaya menegakkan supremasi sipil atas militer.

 

Namun di tengah kontroversi tersebut, satu aspek krusial luput dari sorotan: bagaimana posisi perempuan dalam tubuh TNI, dan sejauh mana revisi UU ini mengakomodasi kepentingan serta partisipasi perempuan dalam struktur militer?

Baca juga: UU TNI dan Perlawanan Ibu: Ketika Keadilan Tak Kunjung Pulang

Militer dan ketimpangan gender yang mengakar

Dalam rapat kerja Komisi I DPR-RI bersama jajaran Panglima TNI dan Kepala Staf dari tiga matra angkatan pada 13 Maret 2025, tak terlihat satu pun perwakilan perempuan dari tubuh TNI yang hadir. Pembahasan yang seharusnya inklusif justru berlangsung dalam ruang yang didominasi laki-laki, mencerminkan ketimpangan gender yang masih kuat di tubuh militer.

Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa perempuan di TNI masih menghadapi pembatasan struktural yang signifikan. Pada 2022, tercatat sekitar 8.850 personel perempuan aktif di TNI—sekitar 2 persen dari total keseluruhan anggota militer (meski beberapa sumber menyebut angka 10–15 persen). Hanya terdapat 67 perwira perempuan berpangkat jenderal di seluruh matra TNI, dan hanya 12 di antaranya yang masih aktif:

  • TNI Angkatan Darat: 24 orang (hanya 4 berpangkat jenderal)
  • TNI Angkatan Laut: 22 orang (hanya 5 berpangkat jenderal)
  • TNI Angkatan Udara: 21 orang (hanya 3 berpangkat jenderal)

Sebagai perbandingan, perwira laki-laki berpangkat jenderal bintang tiga yang masih aktif saja mencapai 42 orang, sebagian besar menempati posisi strategis seperti Kepala Staf, Panglima, atau posisi penting di kementerian dan BUMN. Sementara perwira perempuan dalam TNI umumnya ditempatkan di posisi staf atau peran non-strategis.

Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana kebijakan militer di Indonesia masih sangat maskulin dan patriarkal. Struktur yang hierarkis dan budaya maskulinitas yang dominan menyulitkan perempuan untuk menembus batas peran yang dianggap “tradisional.”

Baca juga: Suara Perempuan di Demo UU TNI: Ini Langkah Mundur Demokrasi

UU TNI: Langkah mundur bagi keterwakilan perempuan

Pengesahan UU TNI semakin mempertegas ketimpangan ini. Dalam revisi Pasal 47 tentang posisi TNI dalam jabatan sipil dan kementerian, ditambahkan lima posisi baru yang kini dapat diisi oleh perwira TNI aktif, yaitu:

  • Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
  • Badan Penanggulangan Bencana
  • Badan Penanggulangan Terorisme
  • Badan Keamanan Laut (Bakamla)
  • Kejaksaan Republik Indonesia

Saat ini, posisi strategis di lembaga-lembaga tersebut hampir seluruhnya diisi oleh laki-laki. Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, dan Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen TNI Lukmansyah, misalnya, adalah perwira tinggi laki-laki. Begitu pula di Bakamla dan Kejaksaan Agung, struktur kepemimpinan didominasi laki-laki.

UU TNI tidak hanya memperluas pengaruh militer dalam ranah sipil, tetapi juga mempertegas dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan di sektor keamanan dan pertahanan. Ketidakadilan struktural ini memperkuat budaya maskulinitas dalam pengambilan kebijakan dan mempersempit ruang bagi perempuan untuk memiliki peran strategis dalam lembaga pertahanan dan keamanan negara.

Robin Luckham, peneliti emeritus sosiologi politik di Institute of Development Studies, University of Sussex, dalam artikelnya “Building Inclusive Peace and Security in Times of Unequal Development and Rising Violence” menekankan bahwa kebijakan keamanan yang inklusif membutuhkan keterlibatan kelompok rentan, termasuk perempuan.

Kebijakan militer yang didominasi oleh perspektif maskulin cenderung berfokus pada stabilitas dan kekuatan militer, bukan pada kebutuhan masyarakat sipil dan kelompok rentan. Dalam konteks Indonesia, pengabaian terhadap keterlibatan perempuan dalam UU TNI menciptakan ketimpangan yang memperkuat budaya militerisme dan maskulinitas toksik.

Studi “Taking Implementation Seriously in Assessing Success: The Politics of Gender Equality Policy” karya Isabelle Engeli dan Amy Mazur, juga menunjukkan bahwa kebijakan yang efektif hanya dapat dicapai jika implementasinya memperhatikan perspektif gender. Tanpa keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan, ketidakadilan struktural akan terus bertahan.

Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan bukan sekadar soal representasi, tetapi prasyarat bagi terciptanya kebijakan yang adil dan efektif. Ketimpangan jumlah serta terbatasnya kewenangan Korps Wanita dalam struktur TNI hanya memperkuat dominasi maskulinitas dalam lembaga tersebut. Di sisi lain, pengabaian terhadap masukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, terutama terkait lemahnya fungsi kontrol publik terhadap TNI, semakin menunjukkan arogansi institusional dan hambatan serius terhadap proses reformasi.

Baca juga: Pencabutan Tes Keperawanan TNI AD Saja Tak Cukup

Dalam wawancaranya dengan Tempo pada 19 Maret 2025, Agus Widjojo, purnawirawan bintang tiga TNI AD, menyatakan bahwa penyusunan regulasi seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan bertanggung jawab.

“Kalau ingin menyusun peraturan, hendaknya kita lihat secara keseluruhan apa masalahnya, letak kekurangan, dan bagaimana cara mendapatkan solusinya. Jangan hanya melihat secercah-cercah yang kemungkinan besar itu adalah kesalahan internal TNI, yaitu kesalahan dalam melaksanakan manajemen pembinaan,” ujarnya.

Alih-alih memperkuat profesionalisme TNI dan memperbaiki tata kelola keamanan, pengesahan UU TNI yang sarat polemik dan cenderung mengabaikan suara masyarakat sipil mencerminkan ketidakseriusan dalam menjalankan reformasi. Jika ketidakadilan ini terus dibiarkan, perempuan dan kelompok rentan akan tetap tersingkir dari ruang pengambilan keputusan strategis. Hal ini adalah sebuah kegagalan yang tidak hanya memperlemah demokrasi, tetapi juga memperpanjang ketidaksetaraan dalam kebijakan pertahanan dan keamanan.

Mickhael Rajagukguk bekerja sebagai Research and Advocacy Communication Specialist di salah satu think tank yang berfokus pada isu lingkungan dan transisi energi. Ia sangat menggemari isu-isu yang berkaitan dengan politik, media, pendidikan, dan kebijakan.

Seluruh opini, interpretasi, dan pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mencerminkan pandangan, kebijakan, atau sikap resmi dari organisasi tempatnya bekerja.



#waveforequality
Avatar
About Author

Mickhael Rajagukguk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *