Issues Opini

#BasaBasiReformasiPolri: Ke Mana Melapor Kalau Polisi yang Membunuh?

Pertanyaan di atas muncul lagi. Seorang anak mati di Padang jadi pemantiknya.

Avatar
  • July 17, 2024
  • 9 min read
  • 1002 Views
#BasaBasiReformasiPolri: Ke Mana Melapor Kalau Polisi yang Membunuh?

Akhir bulan lalu, tepat 30 Juni 2024, Polda Sumatera Barat (Sumbar) resmi menutup kasus kematian Afif Maulana, seorang anak 13 tahun di Padang. Kasus itu ditutup karena berdasarkan hasil forensik menyebut kematian Afif karena jatuh dari jembatan. Berbeda dari hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. 

Afif, dalam laporan itu disebut, ditemukan di bawah jembatan Kuranji pada 9 Juni 2024 dengan luka lebam di sekujur tubuh. Dari hasil otopsi, tulang rusuk Afif patah dan paru-parunya bocor. Berdasarkan keterangan kawan Afif, mereka berdua yang sedang berboncengan sepeda motor menuju utara, disetop polisi di jembatan itu.

 

 

“Mereka dihampiri oleh anggota Sabhara Polda Sumbar yang menendang motor mereka, menyebabkan mereka terjatuh,” kata Direktur LBH Padang Indira Suryani dalam siaran pers mereka.

Namun, dalam proses penyidikannya, muncul banyak kejanggalan yang memicu amarah publik. Mulai dari pernyataan Polda Sumbar yang menyebut ada kesalahan prosedur dalam kasus tersebut, hilangnya CCTV di TKP, fokus polisi mencari tahu siapa yang memviralkan kasus ini, hingga penggiringan opini dari polisi yang menyebut Afif sebagai pelaku tawuran.

Baca juga: #KeadilanBuatAfif: Anak 13 Tahun di Padang Ditemukan Meninggal, Diduga Disiksa Polisi

Tempo bahkan sempat mengeluarkan pernyataan publik untuk mengkritisi sikap Polda Sumbar yang malah fokus mencari siapa yang memviralkan berita ini. 

“Kamilah yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Pak Polisi dapat menyalurkan energi perburuan yang tak terpakai untuk menjalankan tugas utama Polri: Menegakan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tulis Tempo.

Indira, dalam wawancara dengan Narasi, juga kembali mengingatkan Polda Sumbar sekaligus meluruskan urusan. “Kita mencari kebenaran di sini,” kata Indira. “Justru yang mencoreng institusi kan Polda sendiri, yang mengubah kata-katanya terus. Yang kemudian sibuk membuktikan bahwa Afif Maulana itu memang pelaku tawuran. Maaf, kasus kita bukan itu. Kasus kita ada Afif Maulana, mati di bawah jembatan, di tubuhnya ditemukan banyak luka penyiksaan. Nah itu fokus kita, mari kita fokus di situ,” tegasnya.

Kasus kematian Afif yang diduga disiksa polisi kembali membuka catatan panjang kekerasan yang dilakukan polisi. Pertanyaan yang jadi judul artikel ini sempat muncul di media sosial, sebagai bentuk protes dan kemarahan publik atas kematian Afif.

Sebelumnya, #percumalaporpolisi sempat viral 2021 lalu sebagai tanda kemarahan rakyat pada institusi aparatur negara ini. Tagar itu muncul setelah liputan Project Multatuli yang mengungkap kasus perkosaan pada tiga anak, dilakukan bapak kandung mereka yang polisi, di Luwu Timur. Kasus itu dihentikan penyelidikannya, dan justru mengancam ibu anak-anak tersebut yang melaporkan kasus dan mencari keadilan.

Di Indonesia, antipati pada kepolisian bukan barang baru dan tak jarang pula terjadi. Beberapa kasus kekerasan paling dekat, misalnya, terjadi saat unjuk rasa omnibus law 2020 dan #ReformasiDikorupsi, penganiayaan mahasiswa di Makassar dalam unjuk rasa 2021, kasus penembakan di Tol 50 Cikampek, sampai kasus pembunuhan polisi oleh polisi yang diikuti media seperti sinetron yang menjerat Irjen Ferdy Sambo.

Baca juga: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan

Institusi yang Melawan Kekerasan dengan Kekerasan

Sentimen antipati itu belakangan selalu tergambar dalam survei kepercayaan pada institusi ini. Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada Agustus 2021, Polri adalah lembaga penegak hukum dengan tingkat kepercayaan terendah. Terutama dibanding lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, Pengadilan, dan Kejaksaan. Survei itu dilakukan pada 1.047 responden di 34 provinsi di Indonesia.

Peringkat tersebut tak berubah menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2023 lalu. Polri masih institusi penegak hukum paling tak dipercaya dengan angka 64 persen. Hanya 61 persen responden yang percaya percaya pemberantasan korupsi oleh polisi, menempatkan mereka, lagi-lagi, jadi yang paling tidak dipercaya.

Dalam Kegagalan Historis Membangun Polisi (di) Indonesia, Bambang Widyanarko mencatat survei serupa sudah hadir sejak awal mula terbentuknya bibit Polri pada 1924.

Rapport nopens de werking van de organisatie der politie op de grootse hoofdplaatsen van Java (‘Laporan Tentang Kinerja Lembaga Kepolisian di Tiga Kota Terbesar Jawa’) diterbitkan seorang polisi kolonial bernama Helsdingen pada Februari tahun itu. Isinya, merangkum tiga masalah yang menjangkiti polisi: Korup, sewenang-wenang, serta menjadi alat politik penguasa.

Menurut Widyanarko, penyakit itu tak terlepas dari sejarah pembentukan polisi yang pada dasarnya memang untuk mengamankan aset dan kepentingan pemerintah kolonial. Mereka dipersenjatai dan bertugas sebagai penjaga residen maupun wedana yang tinggal di rumah besar. Upah kecil bikin para schout (penjaga malam) ini harus mencari penghidupan lain di siang hari—sesuatu yang kelak membentuk perilaku koruptif dan sewenang-wenang.

“Tidak hanya problematika ini yang kemudian menjadi momok dalam tubuh polisi kolonial. Penangkapan yang tidak berdasar dan penyiksaan dalam proses penyidikan menjadi laporan harian yang dikeluhkan penduduk bumiputra pada residen,” tulis Widyanarko.

Setelah Kemerdekaan, Sukarno menunjuk RS Soekanto untuk membentuk kepolisian nasional. Ia memang sempat mewanti-wanti agar kepolisian negara harus berbeda dengan kepolisian kolonial bentukan Belanda atau Keisatsu bentukan Jepang. Namun, “Secara epistemik, gagasan para pendiri kepolisian penuh dengan keluhuran. Secara empiris, panggung sejarah berkata lain,” tulis Widyanarko.

Hal itu tak terlepas dari peran dan wewenang polisi yang diberikan negara. Dalam Police, Power, dan Politics (1982), dua akademisi kepolisian Amerika Serikat Robert Baldwin dan Richard Kinsey menulis, polisi bertindak sebagai vigilance actor in society atau aktor yang berlaku vigilante dalam masyarakat. Polisi adalah komunitas khusus dalam masyarakat sipil yang dipercaya memberantas kejahatan dengan kejahatan.

Lewat wewenangnya yang disokong aturan hukum, mereka punya wewenang untuk mengakses senjata dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil lain. Dalam konsep negara, kewenangan itu harusnya diimbangin dengan tanggung jawab. Namun dalam praktiknya, pembuktian tanggung jawab itu sulit terjadi atau sulit transparan karena keleluasaan wewenang yang dimiliki instansi ini.

Buktinya? Sederetan kasus kekerasan polisi yang pengusutannya sangkut atau bahkan tak pernah selesai.

Antipati dan Imajinasi tentang Keamanan 

Kekerasan yang dilakukan polisi tak cuma terjadi di satu tempat. Ia terjadi hampir di semua negara. Itu pula yang bikin antipati terhadap polisi sudah lama muncul, di berbagai negara. Di AS kembali terpercik gara-gara kematian George Floyd, di Prancis gara-gara kematian Nahel Merzouk, di Malang gara-gara kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, di Yogyakarta karena perlawanan perempuan di Wadas.

Saat antipati ini kembali meninggi belakangan, istilah ACAB—singkatan untuk “all coppers (cop) are bastards”—kembali ramai.

Empat huruf ini adalah sebuah kritik sistemik yang digunakan secara global untuk mengkritisi kewenangan polisi. 

Victoria Gagliardo-Silver di Independen, menjelaskan kritik itu hadir dari  gagasan bahwa, “Masalahnya bukanlah ‘beberapa apel buruk’ (oknum); melainkan pohon yang membusuk dari dalam ke luar, menyebarkan racunnya.”

Baca juga: Deretan Aksi Kekerasan Polisi di Berbagai Negara, Prancis Bukan Satu-satunya

Kritik ini mempercayai bahwa kasus-kasus kekerasan oleh polisi (mulai dari salah tangkap, korupsi, perilaku rasisme, polisi pelaku kriminal, dsb) bukanlah masalah kasuistik yang bisa diurai satu-satu.

Leksikografer Eric Partridge dalam bukunya A Dictionary of Catch Phrases mencatat, ACAB telah ada sepanjang abad ke-20 dan telah digunakan “di kalangan penjahat dan penjahat profesional, setidaknya satu generasi sebelumnya”. Seperti dikutip dari Vice, Partridge pertama kali mendengar ungkapan pada tahun 1920-an sebagai bagian dari lagu: “Saya akan menyanyikan sebuah lagu untuk Anda, tidak terlalu panjang: all coppers are bastards.”

Gerakan punk yang populer pada 1970-an membawa ACAB makin mendunia. Menurut catatan James Poulter di Vice, akronim ini sangat populer di “Oi!” sub-genre—saudara kandung punk arus utama yang lebih pemberontak dan kelas pekerja. Pada tahun 1982, Oi! band The 4 Skins merilis lagu “A.C.A.B.”, salah satu karya yang ikut mempopulerkan akronim tersebut. Band punk anti-fasis Jerman Slime merilis “A.C.A.B.” lagu mereka sendiri pada tahun sebelumnya, dan hal itu membantu memantapkan penggunaan istilah tersebut dalam subkultur pemuda Jerman.

Kini ACAB mencapai puncak popularitas baru. Dan bukan hanya anarko-punk yang menggunakannya, video TikTok berlabel #acab telah ditonton lebih dari setengah miliar kali.

Di dunia feminisme sendiri, ada aktivis, dosen, dan pemuka pemikiran feminisme Angela Davis yang terkenal sebagai abolisionis—sebuah pemikiran yang mencoba mengimajinasikan dunia tanpa ketimpangan kekuasaan terutama karena kewenangan berlebihan pada otoritas. Pada 1970, ia sempat ditangkap dan dipenjarakan karena memprotes rasisme di kepolisian AS dan mendorong adanya reformasi dalam sistem hukum dan penjara di sana. Ia bahkan dilabeli teroris oleh Presiden Richard Nixon, tapi mendapat dukungan dari publik untuk segera dibebaskan dari penjara.

Sejak itu, Davis jadi salah satu muka pengkritik polisi dan sisten penjara di AS dan dunia. Baginya, anggaran negara yang begitu besar buat mempersenjatai polisi bisa dialihkan pada kebutuhan lebih manusiawi seperti sistem kesehatan, pendidikan, atau perumahan gratis bagi semua orang.

“Beberapa tahun belakangan, kita melihat permasalahan ini sebagai sebuah isu stuktural, yang tidak lagi melihatnya secara individual,” kata Angela Davis pada Al Jazeera Inggris, dua tahun lalu. Saat itu, konsep “Defund the Police” (atau gerakan cabut anggaran kepolisian) sempat ramai di publik setelah kekerasan polisi AS membunuh George Floyd. Dalam interview itu, Angela Davis diberikan data tentang 15 persen responden yang mulai setuju dengan Defund the Police sebagai bentuk protes. Sementara sekitar 85 persen masih merasa polisi perlu ada.

“Buat saya yang sudah bicara, belajar, dan mengorganisasi hal ini (abolisionisme), angka 15 persen itu besar. Saya masih terkejut karena ada 15 persen orang yang setuju, dan kita sampai di pembicaraan ini,” katanya. Davis paham bahwa antipati pada instansi polisi ini sudah mulai disadari banyak kelompok masyarakat. Namun, solusi dari kebobrokan itu sering kali tidak dibicarakan.

“Kebanyakan orang takut pada hal baru dan yang tidak kita ketahui, dan polisi selalu merepresentasikan diri mereka sebagai yang melindungi dan melayani (to protect and to serve). Dan mereka selalu merepresentasikan diri sebagai satu-satunya yang mungkin melindungi dan melayani,” tambah Davis. Sehingga, kebanyakan dari kita tidak bisa membayangkan solusi lain seperti mencabut anggaran mereka.

“Seruan untuk mencabut anggaran polisi (defund the police) sebetulnya adalah sebuah ajakan untuk membayangkan cara baru untuk menjamin keselamatan dan keamanan kita,” kata Davis. “Daripada membiayai institusi kekerasan bernama polisi ini, kita bisa mendanai sistem kesehatan yang lebih baik, sistem perumahan, sistem pendidikan yang gratis buat semua orang,” tambahnya.

Bagi Davis, penting untuk mengelola, lalu mengorganisasi antipati kita pada institusi polisi dan membayangkan cara baru saat kita membicarakan keselamatan dan keamanan. Cara baru yang tidak lagi bekerja dengan kerangka kekerasan dan memarginalkan kelompok mana pun.

Sehingga suatu saat nanti, saat pertanyaan retorik “ke mana melapor polisi kalau polisi membunuh?”, tidak lagi retorik. Kalau bisa, tidak lagi terjadi.

Dalam rangka HUT Bhayangkara, Magdalene merilis series liputan bertajuk #BasaBasiReformasiPolri yang akan tayang sepanjang Juli 2024. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *