Politics & Society

‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’

Dua pekerja migran sekaligus aktivis asal Indonesia memaparkan situasi mereka di Hong Kong, diskriminasi yang dihadapi dan tuntutan yang mereka ajukan.

Avatar
  • December 19, 2016
  • 17 min read
  • 939 Views
‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’

Minggu adalah hari libur bagi sebagian besar pekerja rumah tangga (PRT) migran di Hong Kong, dan mereka biasanya datang ke Victoria Park di Causeway Bay, daerah yang padat dengan bangunan bertingkat di Pulau Hong Kong.

Hari Minggu siang kali itu, 6 November, beberapa ratus pekerja migran Indonesia berkumpul di sebuah plaza di tengah kompleks pertokoan dekat Victoria Park. Mereka menyewa tempat itu untuk merayakan ulang tahun salah satu organisasi mereka, Liga Pekerja Migran Indonesia (LIPMI).

 

 

Plaza tersebut mereka pagari dan di dalamnya sudah ada meja-meja dan kursi serta area yang dinaungi terpal, di mana para pekerja menjual beragam makanan Indonesia dan menyediakan layanan tata rias gratis dan konseling untuk sesama pekerja migran.

Di panggung, para peserta bergiliran menunjukkan bakat-bakat mereka, dari bernyanyi, menari, membaca puisi dan memperagakan kebaya. Puluhan warga yang lewat berhenti dan menonton mereka tampil. Di pinggir dan sebagai latar panggung ada spanduk-spanduk dan papan bertuliskan tuntutan dan keluhan mereka atas situasi bekerja di Hong Kong, seperti “Domestic Workers Do Job Hopping is Not a Crime”.

Ada sekitar 150.000 pekerja migran Indonesia di Hong Kong, kelompok kedua terbesar setelah Filipina, banyak diantaranya perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di Hong Kong sendiri, para BMI ini sangat terorganisir dan aktif, membentuk sekitar 70 organisasi, masing-masing dengan anggota antara 10 sampai 300 orang.

Tahun lalu, para pekerja migran Indonesia secara total mengirim US$10.5 miliar (Rp 140,6 triliun) dari penghasilan mereka ke Indonesia, naik 22 persen dari setahun sebelumnya. Uang tersebut biasanya untuk membiayai keluarga mereka dan membayar pendidikan anak-anak atau adik-adik mereka, tak terkecuali untuk Sumarti dan Seneng.

Sringatin, ketua Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong-Macau, melambaikan tangan dan mendekati saya. Dua hari sebelumnya, kami bertemu dan berkenalan seusai menghadiri sidang kasus pembunuhan keji atas dua BMI, Seneng Mujiarsih dan Sumarti Ningsih, oleh terpidana Rurik Jutting, seorang bankir Inggris.

“Sudah makan? Ini lumayan buat ganjel,” katanya sembari memberikan satu kotak makanan berisi dadar gulung dan tahu isi.

Siang menjelang sore, muncul Eni Lestari, ketua Aliansi Migran Internasional yang baru saja kembal dari sebuah konferensi di Norwegia untuk berbicara tentang situasi buruh migran. Eni telah menjadi menjadi kesayangan media sejak ia terpilih untuk berpidato pada KTT PBB untuk Pengungsi dan Migran pada 19 September di Markas Besar PBB di New York.

Saya berbincang dengan Sringatin dan Eni secara terpisah dan berikut adalah cuplikan dari wawancaranya.

Sringatin, ketua Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong-Macau. (Magdalene/Hera Diani)

Magdalene: Sangat memprihatinkan bahwa kasus pembunuhan Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih tidak banyak mendapat perhatian dari media di Indonesia.
Sringatin. Mungkin karena tidak banyak media yang datang ke sini ya. Mungkin juga isunya dianggap tidak menarik. Mereka hanya mengambil itu sih mbak, saya melihatnya, banyak mengambil sisi statusnya dia. Itu mungkin yang berbeda dari media di sini. Pertama kali (media di Indonesia) banyak mengambil sisi mereka sebagai pekerja seks. Kemudian setelah pembacaan sidang terakhir itu, media banyak meng-cover tentang bagaimana Rurik itu membunuh. Jadi sekarang mereka melihat betapa kejamnya dia membunuh. Di beberapa media juga dibahas bagaimana Seneng Mujiarsih dan Sumartiningsih memiliki anak, juga bekerja untuk keluarganya.

Kita menyampaikan bahwa apa pun status mereka, apa pun jenis pekerjaannya, mereka harus dilindungi. Kedua, mereka itu korban, korban kekerasan, baik karena kemiskinan, korban sistem, korban kemiskinan dsb. Sehingga kalau saya bilang, bagaimana melihat pekerjaannya. Tidak ada seorang pun yang mau jadi pekerja seks. Pekerja seks dibilang tidak baik. Tapi dia baik, dia baik untuk keluarganya, dan mungkin itu pilihan terakhir. Sumartiningsih misalkan, sudah belajar jadi DJ di Jakarta. Kemudian dia kembali ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan baru, tapi kita kan paham di Hong Kong, kalau status kita PRT (pembantu rumah tangga) migran, maka selamanya kita jadi PRT migran. Akan sulit untuk berganti jenis pekerjaan lain. Kecuali syaratnya kita menikah, atau kita mungkin sekolah yg lebih tinggi, dan saya nggak yakin itu bisa atau tidaknya.

Mbak sendiri masih kerja?
Masih. Kalau nggak, nggak bisa di sini, mbak.

Bagaimana dengan jumlah kasus menyangkut TKI di Hong Kong?
Setelah Sumartiningsih, ada kasus Alice, itu dikategorikan manslaughter, pembunuhan tak disengaja, karena tumpangan AC yang jatuh. Kemudian ada perempuan Indonesia yang dibunuh pacarnya di Mongkok. Dan juga perempuan Pakistan yang dibunuh pacarnya. Kita lihat sebenarnya korban kekerasan di Hong Kong itu minoritas, mengacu pada orang-orang yang minoritas, khususnya pekerja rumah tangga.

Mengapa mereka sangat rentan sekali jadi korban kekerasan? Karena, pertama, posisi mereka yang bekerja di rumah majikan, dengan gaji yang sangat…kalau kita lihat nilainya tidak bertambah gaji kita itu. Jadi buruh migran di sini berusaha, akan melakukan apa pun untuk mencukupi seluruh kebutuhan keluarganya. Saya bertanya pada seorang perempuan yang sudah memiliki anak yang sudah kuliah, berapa sebulan kirim duit? Dia bilang, semuanya dikirimkan untuk kuliah. Itu kalau anak satu, kalau dua orang berapa? Kemudian dari mana dia bisa mencukupi kebutuhan yang lain?  Maka dia harus mencari cara untuk mencukupi itu.

Di Hong Kong kita bekerja di luar pekerjaan rumah tangga itu nggak boleh. Maka pilihannya adalah sembunyi-sembunyi jualan, mencari pasangan yang bisa… harapannya ‘kan itu ya perempuan dari Indonesia yang dari keluarga miskin… harapannya adalah dapat bekerja untuk keluarganya, dapat pasangan yang baik, artinya secara ekonomi maupun secara fisik, ‘kan itu harapan perempuan yang juga dituntut keluarga. Makanya saya lihat perempuan khususnya buruh migran itu kemudian menjadi dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tahu kelemahannya buruh migran itu seperti apa. Ya kayak sindikat lah, kayak orang-orang seperti Rurik Jutting yang lainnya.

Apakah kasus Jutting ini menjadi seperti shock therapy untuk pemerintah?
Kayaknya belum. Mungkin karena statusnya tadi. Makanya saat ini JBMI datang dengan tuntutan baru. Bahwa kita melihat kompensasi untuk keluarganya tidak cukup. Karena belum tentu dapat. Misalkan begini, korban pembunuhan, kita ‘kan menuntut pada yang membunuh. Ya kalau yang membunuhnya ada uang. Kalau tidak, dari mana? Yang kedua, banyak ternyata di desa-desa itu buruh migran yang meninggal di luar negeri atau pulang cacat, itu tidak menjadi perhatian pemerintah. Dan bahkan mereka tidak tahu apakah mereka dapat kompensasi atau tidak. Untuk itu kita minta pemerintah agar ada sistem baru yang memastikan anak-anak buruh migran yang pulang cacat atau ibunya meninggal di luar negeri harus mendapat beasiswa. Untuk memastikan agar dia bisa sekolah, tidak terlantar. Daripada dana sosial diberikan ke yang nggak jelas, berikan dong pada anak-anak TKI yang memang membutuhkan itu.

Kita juga minta pemerintah menyediakan layanan hotline pengaduan buruh migran yang hilang. Misalnya di Indramayu atau di daerah-daerah yang sangat terpencil, itu kan banyak buruh migran yang hilang di Arab Saudi, Malaysia, yg keluarganya nggak tahu kemana harus mengadu.

Di sini orang hilang artinya overstay atau meninggal, kita nggak tahu. Banyak kasusnya, ada beberapa orang yang mencari kita untuk mencarikan orang. Ya kita nggak bisa mencarikan. Jadi yang kita bisa lakukan, pemerintah mungkin bisa menyiapkan pelayanan hotline khusus, jadi kita bisa lihat: “Oh, orang ini overstay.”

Situasi TKI di Hong Kong dianggap paling baik dibandingkan dengan negara lain. Apakah benar begitu?
Mungkin dilihatnya karena Hong Kong mengakui PRT sebagai pekerja, yang terwujud dengan dimasukkannya ke Undang-undang Perburuhan, jadi ada beberapa hal yang di-cover. Misalnya, ada upah minimum, hari libur mingguan, hak berserikat, sistem pengaduan dan ganti rugi juga sudah disamakan dengan buruh lokal. Jadi itu yg baik.

Tapi di luar itu ada kebijakan yang diturunkan oleh imigrasi yang membuat buruh migran itu rentan sekali: 3W – windows cleaning (membersihkan jendela), working hours (jam kerja) dan working visa (visa kerja). Kita melihat jumlah kecelakaan kerja karena membersihkan jendela itu bertambah. Hampir setiap tahun pasti ada buruh migran yang meninggal dan kita tidak tahu apakah itu karena jendela itu tidak ada grill-nya, atau grill-nya sudah lama dan tidak terjamin keamanannya, atau didorong oleh seseorang.

Karena itu, tahun ini kita mengangkat isu itu. Ini isu yang serius, ini bicara tentang kondisi hidup kita. Mengapa kita kemarin bilang, kita menyambut baik upaya pemerintah Hong Kong yang cepat merespon tuntutan kita terkait dengan larangan membersihkan jendela dengan menambah pasal dalam kontrak kerja, dimana di situ sangat jelas, buruh migran hanya bisa membersihkan jendela jika ada A-B-C-D. Tapi itu tidak cukup karena ternyata hanya akan diberlakukan pada kontrak kerja baru. Sedangkan kita melihat, jumlah mayoritas PRT migran dengan kontrak lama itu 340.000. Apakah mereka yg jumlahnya mayoritas itu ditiadakan? Makanya kita kemarin minta, pemerintah Hong Kong harus datang dengan kebijakan baru terkait 340.000 buruh migran ini. Apakah diubah kontrak kerjanya atau ada tambahan yang mereka tandatangani.

Lalu kita juga melihat belum ada sistem sanksi. Majikan Hong Kong tidak semuanya jahat, tapi tidak semuanya baik, ada yang jabat. Bagaimana kita mencegah, agar majikan-majikan ini tidak melanggar kontrak kerja. Kita diskusi dengan Departemen Tenaga Kerja, mereka mengatakan, sesuai aturan Hong Kong, seseorang baik pekerja atau majikan, jika tidak sesuai kesepakatan kontrak kerja, kedua belah pihak bisa memutuskan. Nah, tapi tidak semudah itu.

Untuk memutuskan kontrak kerja itu sangat banyak yang harus kita pikirkan. Pertama, memutuskan kontrak itu berarti kamu hanya punya dua minggu untuk tinggal di sini. Kamu harus keluar Hong Kong, kamu harus membayar biaya agen, kamu juga harus kehilangan pekerjaan dan penghasilan sampai 2-3 bulan selama menunggu khusus.  Ini kan banyak sekali. Maka, bagi kita ini gak cukup. Bagi PRT lokal nggak apa-apa, karena mereka nggak memikirkan ini. Majikan juga nggak apa-apa karena tinggal di sini. Kita minta ada sistem sanksi dan ganti rugi. Jadi majikan juga tidak sembarangan melanggar itu.

Kemudian terkait dengan masalah visa bekerja. Jadi Hong Kong sejak tahun 2014 mengeluarkan rilis bahwa Hong Kong akan memasukkan PRT migran ke dalam daftar khusus jika mereka dicurigai telah melakukan job hopping, atau berganti2 majikan dalam waktu setahun dua sampai tiga kali. Setelah kita lihat praktiknya, ternyata teman-teman itu tidak hanya di-pending visanya tapi di-blacklist. Jadi orang yang sudah dicurigai melakukan job hopping itu akan di-blacklist. Dan kita tidak tahu bagaimana mengambil keputusannya, apakah benar PRT itu memutuskan kontrak kerja satu kali dua kali kita tidak tahu.

Kita mempertanyakan, apa salah jika PRT migran berganti majikan untuk mendapat kondisi yang baik? Sama dengan pekerja-pekerja di Hong Kong, apakah mereka kriminal jiga berganti majikan? Bagi kita, ini aturan lain yang membuat PRT migran ini dimanfaatkan oleh majikan-majikan yang tidak baik. Sudah harus tinggal di dalam rumah, tidak boleh ganti majikan, terus harus ada aturan lainnya. Jadi sebenarnya aturan job hopping itu membuat PRT migran itu dilarang untuk mengadu. Cabut blacklist job hopping migran.

Aturan itu keluar 2014, tapi penerapannya intensif sekarang. Semakin hari kita mendapat banyak keluhan. Dan pertanyaannya itu dari imigrasi banyak sekali. Kalau PRT migrannya itu nggak ngerti bahasa Inggris bagaimana? Yang kedua, mereka ada di desa, kalau nggak dapat itu bagaimana? Itu juga akan di-blacklist.

Terus terkait working hours. Pemerintah Hong Kong sekarang ini sedang membahas jam kerja, bagaimana kamu bisa mengukur jam kerja, kamu ‘kan tinggal di dalam rumah? Sangat sulit mengatur jam kerja. Ok, kalo pemerintah HK sulit mengatur jam kerja, bisa nggak menetapkan jam istirahat buat kita. Kita menuntut 11 jam istirahat tanpa terputus, di luar jam kebutuhan privat kita, kayak kamar mandi, makan, dsb. Dan juga mereka ‘kan bilang, mereka ingin melindungi pekerja Hong Kong dengan memberikan jam kerja. Nah harusnya mereka memasukkan PRT Hong Kong ini dalam fokus mereka, Mengapa? Karena PRT migran memiliki jam kerja terpanjang. Jadi kita akan membawa serangkaian kampanye ke Hari Migran Sedunia tgl 18 Desember.

***

Eni Lestari, ketua ketua Aliansi Migran Internasional. (Magdalene/Hera Diani)

Magdalene: Media di Indonesia lebih jor-joran memberitakan kasus Jessica (Kumala Wongso, yang diduga membunuh Wayan Mirna Salihin dengan kopi berisi sianida), dibandingkan dengan kasus Seneng dan Sumarti.
Eni Lestari: Harus jadi artis dulu baru diliput. Jessica…beda strata sosialnya. Di Indonesia, berita (pembunuhan Seneng dan Sumarti) lebih news saja ya, nggak menjelaskan historisnya. Media luar negeri itu sibuk mengangkat persoalan struktural, apa yang menyebabkan orang menjadi overstayed, mungkin ia terjebak dengan iming-iming laki-laki bule, terus keluarganya, kehidupannya kayak apa. Mereka membahas isu struktural. Media Indonesia bahasnya news-nya saja. Media luar itu memang komprehensif, jadi orang bisa melihatnya dari dua sisi. Media Indonesia sama sekali tidak mengangkat Rurik Jutting itu siapa, kecuali dia seorang bankir.

Wartawan-wartawan (dari Indonesia) yang mengontak rata-rata hanya menanyakan perkembangannya. Waktu lagi sidang tidak ada, nanti baru kontak, perkembangannya bagaimana. Sekarang saja media lokal di sini (Hong Kong) datang dari keluarganya, ke Sulawesi, ke Cilacap, bahas ekonomi dan sosial yang menyebabkan keduanya sampai tidak berdaya.

Mbak Eni katanya malas diwawancara media?
Nggak sih, tapi kadang fokus atau angle-nya saja. Kalau media luar sebelum wawancara mencari background. Kalau media Indonesia cari sensasi, itu yang saya hindari soalnya. Saya nggak suka. Dan itu seksis. Jadi dia (media Indonesia) harus mengatakan “TKW bicara di PBB.” Dan saya memang menghindari hal-hal yang begitu. Makanya saya agak hati-hati. Kalau media luar jarang tanya, hobimu apa? Kalau media Indonesia malah suka nanya, hobimu apa, sukamu apa, sekolahmu di mana. Terus udah married apa belum, whatever, whatever. Kalau media luar sebagian besar nanyanya bagaimana saya bisa jadi buruh migran, mengapa memilih jadi aktivis, jadi saya punya keleluasaan untuk membahas hal-hal struktural. Kalau media Indonesia saya bingung memasukkannya karena itu nggak menarik buat mereka.

Makanya isu tentang dua korban ini menjadi tidak menarik bagi mereka, kecuali bahwa dua BMI (Buruh Migran Indonesia) dibunuh, dimutilasi. Padahal mereka nggak dimutilasi.

Apakah ada perbaikan terkait pekerja migran Hong Kong?
Perbaikan ada tapi sangat minimum. Perbaikan itu tidak memecahkan persoalan-persoalan mendasar yang bukan struktural. Dari segi pelayanan konsulat, lebih ramah. Konjen yang baru, jauh lebih proaktif. Dari segi pemerintah Hong Kong, mau memperhatikan hal-hal yang sifatnya biaya agen, tapi untuk mengubah kondisi kebijakan itu yang mereka nggak mau. Padahal itu yang kita keluhkan.

Misalnya tadi, jam kerja nggak ada aturannya, akhirnya tidak terbatas. Yang kedua, pemaksaan hidup serumah, tidak ada keleluasaan antara majikan-pekerja itu untuk menentukan apakah bisa stay in atau stay out, karena banyak majikan juga maunya stay out. Karena harus stay in ya semakin membabi buta kan. Padahal apartemen di sini sangat kecil-kecil, dan itu ketemu 24 jam sehari. Orang Hong Kong capek bisa pergi hang out, lah kita? Dua puluh empat jam kalo pergi tidak pamit… pamit pun belum tentu boleh.

Terus masalah visa, yang sangat diskriminatif antara satu orang asing dengan orang asing lainnya. Dan kita diikat dengan visa yang sangat ketat, dua minggu saja jika di-PHK harus keluar (negara). Itu membuat kita ada masalah lain yaitu biaya agen yang sangat mahal. Kalau dirata-rata orang di sini pendatang baru harus bayar enam bulan. Kalau di-PHK harus mengulang lagi. Nah, itu beberapa persoalan yng mendesak. Termasuk sekarang tentang mengelap jendela yang sebetulnya sudah kita suarakan sejak lama.

Orang asing dengan orang asing lainnya maksudnya diskriminatif antara kebangsaan?
Bukan, tapi antara bidang pekerjaan yang berbeda. Misalnya wartawan Indonesia yang bekerja di sini ada visa setahun. Tapi ketika dia kehilangan kerja, dia tidak perlu keluar, dia bisa di sini sampai visanya habis. Kita tidak. Dalam dua minggu harus out, kalau nggak out overstay. Dan tidak boleh mencari pekerjaan lain. Alasannya tidak ada.

Dari kasus ada pengurangan tidak?
Dari kasus masih terus banyak. Perbandingannya saya tidak bisa mengatakan, saya harus liat survei dari 2014 sampai 2016. Tapi jumlahnya saya yakin kalopun tidak steady, terus meningkat, tapi jarang menurun. Kenapa? Karena saat ini banyak sekali agen-agen dan penampungan yang menyediakan shelter. Jadi mereka tidak pergi ke satu shelter. Dan masalahnya selama ini tidak ada suatu pendataan. Berapa orang yang benar-benar menuntut. Pemerintah pun mungkin hanya bisa diambil dari Departemen Perburuhan Hong Kong, berapa yang mengadu. Tapi ‘kan tidak semua orang yang keluar dari majikan itu berarti harus ke Departemen.

Mbak Eni masih bekerja sebagai PRT?
Saya masih bekerja, sudah 16 tahun. Majikan yang pertama saja yang nggak baik, selebihnya manageable. Yang pertama saya ke sini ‘kan underpaid, nggak dapet libur. Terus di dalam rumah itu sangat tersiksa karena semua peralatan nggak boleh dipake, air hangat, sarung tangan… Apa-apa harus dengan tangan, tidur tanpa kasur, keluar nggak boleh. Jadi terlalu banyak aturan. Selain juga gaji saya di bawah standar, libur nggak boleh, sampai empat, lima bulan. Akhirnya saya nekat kabur. Dipotong oleh agen tiga bulan. Tahun 2000 kabur ke shelter…. Kemudian di situ saya mulai mengenal hak, hukum dan organisasi. Jadi saya tahu, Oh, ternyata kita ditipu-tipu.

Setelah itu manageable. Yang dua tiga terakhir ini, hanya satu orang, couple, dua orang aja, jadi tidak repot di rumah. Boleh pergi-pergi. Yang saya pergi-pergi ini kan hanya 2-3 tahun terakhir ini. Sebelumnya juga kadang setahun hanya 3-4 kali aja, 3-4 hari di Asia. Nah yang agak intensif ini ‘kan yang dua tahun terakhir ini aja, yg SDG (Sustainable Development Goal) sama ini. Tapi karena saya sudah lama dengan majikan ini jadi dia sudah tau.

Apakah perhatian terhadap buruh migran Indonesia jadi meningkat?
Iya, kalau saya perhatikan sejak dari PBB ini meningkat. Dalam arti begini, mengangkat tapi juga ada pengakuan lah sedikit untuk suara migran. Minimal lewat saya mereka masih mau wawancara. Dulu kan tidak. Hampir nggak pernah wartawan itu wawancara organisasi buruh migran. Makanya itu yang saya sindir ke teman-teman Indonesia. Kalau mau menulis isu, mau masalah revisi undang-undang atau isu lain, alangkah baiknya bertanya kepada organisasi migran.

Saya yakin di mana pun — Korea, Singapura, Hong Kong, ada semua organisasi. Hanya masalah mau cari atau nggak. Jadi memang itu perlu kita benahi. Karena yang ditanya selama ini ahli apa, ahli apa, nggak salah tapi nggak cukup untuk mewakili yang sesungguhnya. Dan ingat, teman-teman ini punya kelompok-kelompok yang menjadi dasar untuk bersuara. Jadi omongan mereka tuh bukan asal orang yang tidak tahu masalah. Mereka bisa menganalisis masalah. Kalau ditanya masalah sesuatu mereka bisa menjawab. Jadi itu juga yang harus diubah dari setting-an media Indonesia untuk lebih conscious ya.

Hong Kong selalu dianggap lebih baik dibandingkan Arab Saudi, atau negara-negara lain. Apakah itu jadi semacam excuse bagi pemerintah?
Ya, kami tahu. Kalau saya ngomong tujuh tahun yang lalu, setiap kali kita sosialisasikan tuntutan yang di Hong Kong, masalah agency fee, kondisi kerja, mereka menganggapnya, what’s your problem? Problem itu Malaysia, Timur Tengah. Kalau di Hong Kong apa problemnya? Akhirnya tahun 2008, ketika para anggota kami yang pulang itu kita organisir mereka untuk memperjuangkan isu-isu, isu strukturalnya masuk, dari mulai biaya penempatan, terminal khusus TKI, kemudian pemaksaan masuk PJTKI. Tapi makan waktu panjang untuk isu itu diterima di Indonesia, dan itu belum tentu masuk mainstream.

Tapi memang kita melihat yang bisa menyuarakan isu BMI, agar tidak menjadi isu sensual atau seksual semata, itu memang hanya kelompok-kelompok migran yang pulang. Karena kita tidak akan mensensualkan problem. Karena semua problem bagi kita problem. Jadi kita sudah membangun organisasi namanya Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia, atau Kabar Bumi. Itu basisnya di Ponorogo, Brebes… tergantung daerah mereka tadi dan ada kantor pusatnya di Jakarta.

Sejauh ini, kalo dari segi policy reform memang masih belum banyak (hasilnya). Mungkin tercapainya masih sangat kecil-kecil ya, misalnya kayak terminal khusus, kemudian biaya penempatan, 2012 ‘kan (biaya) diturunkan di empat negara, itu tercapai. Tapi yang sekarang menjadi sebuah poin konflik itu adalah kita menuntut tanggung jawab negara. Dan negara menolak, dengan menyerahkannya pada PJTKI, agen-agen luar negeri. Dan tidak memperbaiki pelayanan di kedutaan. Padahal itu menjadi poros dari semua itu. Termasuk kita menuntut agar semua negara ada MoU, mereka gak mau. Jadi moratorium maunya.

Kita sudah bilang, moratorium itu tidak menyelesaikan masalah. Kita mau moratorium 1.000 kali, justru orang yang menjadi tidak berdokumen dan human trafficking itu beribu pula. Nah, tapi ini menjadi poin yang keras memang, karena kita tahu ini menjadi poros jantung dari kepentingan negara yang secara esensi memang tidak mau (itu berubah). Mereka sudah sangat nyaman dengan struktur hari ini. Penempatan TKI oleh PJTKI, ngapain mengubah itu.

Poin kita adalah, penempatan TKI oleh PJTKI melahirkan eksploitasi berlipat ganda, dan kemudian memaksa orang dieksploitasi secara legal atau menjadi tidak berdokumen dan menjadi korban human trafficking. Bahkan akhirnya mereka pulang lewat jalur-jalur ilegal pula, tenggelam dsb. Nah ini menjadi pertentangan poros. Tapi untuk mengubah ini tidak mudah, karena di dalam pemerintah terlalu banyak kepentingan. Orang DPR punya PJTKI, orang DPRD punya PJTKI. Orang pemerintahan punya saham-saham di PJTKI. Artinya antara bisnis dan negara itu sudah sangat bercampur.

Untuk berubah itu kita perlu punya gerakan, sektor buruh migran yang kuat, di dalam dan luar negeri. Tapi itu tidak bisa diwujudkan tanpa kesadaran yang meningkat, baik di dalam negeri walaupun setelah mereka pulang. Ini lah yang sedang kita susun. Jadi motifnya memang reformasi kebijakan. Tapi reformasi kebijakan itu tidak cukup sekedar lobi atau advokasi atau perubahan parsial di titik-titik tertentu tapi harus agak komprehensif karena kamu sudah mendobrak esensi yang paling dilindungi pemerintah, yaitu kepentingan mereka untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja.

Organisasi BMI di Hong Kong banyak juga ya.
Organisasi banyak di Hong Kong. Karena semakin banyak yang diorganisir akan semakin luas, mempercepat kesadaran. Masalahnya dengan memasukkan ke JPMI, kita akan mudah meng-update mereka terkait perkembangan terbaru. Membuat mereka bergerak pula, artinya partisipasi politiknya ada. Kalau tidak, mereka akan menjadi tradisional.



#waveforequality


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *