Issues Politics & Society

Benarkah Tak Ada Masa Depan buat Jurnalis di Tengah Dwi Fungsi TNI? 

Teror beruntun pada ‘Tempo’ membawa kita pada pertanyaan: Apakah kebebasan pers masih punya harapan di Indonesia?

Avatar
  • March 28, 2025
  • 4 min read
  • 879 Views
Benarkah Tak Ada Masa Depan buat Jurnalis di Tengah Dwi Fungsi TNI? 

Kantor Tempo baru saja menerima dua paket yang jelas-jelas bertujuan untuk menebar teror. Paket pertama, ditujukan kepada jurnalis Cica, berisi kepala babi dengan telinga terpotong. Tak lama setelahnya, paket kedua datang, kali ini berisi enam ekor tikus mati penuh darah. Keduanya bukan cuma ancaman fisik, tetapi juga serangan psikologis yang menargetkan mereka yang berada di balik pena. 

Tentu saja, peristiwa ini memicu reaksi keras—dukungannya datang dari berbagai pihak, termasuk Pemimpin Redaksi Tempo dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), yang langsung melaporkan kasus teror ini ke Mabes Polri. Kapolri sendiri menanggapi dengan memastikan bahwa kasus ini tengah ditangani oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). 

 

Ironisnya, kasus ini terjadi bersamaan dengan disahkannya Revisi UU TNI yang menjadi UU TNI oleh DPR. Pembahasan yang kilat, dan cenderung tak transparan, memicu aksi protes dari sektor keamanan masyarakat sipil yang merasa ada yang tidak beres dalam proses tersebut, bahkan mengarah ke pembungkaman terhadap kebebasan media. 

Baca Juga : Paket Kepala Babi di Kantor ‘Tempo’: Teror Nyata Kebebasan Pers 

Kekhawatiran Masa Lalu: Media Dibredel 

Dengan disahkannya UU TNI yang baru, salah satu implementasi yang langsung diterapkan adalah peran TNI dalam mengurusi dunia siber. Mengutip Tempo, Brigjen TNI Frega Ferdinand Wenas, Kepala Biro Infohan Setjen Kementerian Pertahanan bilang, fungsi TNI di dunia siber adalah untuk melakukan operasi informasi dan disinformasi untuk mengatasi ancaman terhadap kedaulatan negara. 

Frega menjelaskan lebih lanjut, operasi ini bertujuan untuk membendung pihak-pihak yang berusaha melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah, termasuk yang berpotensi memecah belah bangsa. 

Namun, kekhawatiran terkait pembungkaman media bukan tanpa dasar. Sejarah mengajarkan kita tentang masa kelam Orde Baru, di mana negara secara terang-terangan membredel media yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Departemen Penerangan, yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru, berfungsi sebagai sensor bagi media yang dianggap tidak pro-pemerintah. Dalam bukunya, Pers di Masa Orde Baru, David T. Hill menyebutkan, media saat itu tak pernah benar-benar bebas. Media dipaksa menjadi alat propaganda, bukan wadah bagi demokrasi. 

Jejak sejarah ini semakin diperkuat dengan unggahan dari akun X Pusat Penerangan TNI yang kemudian dihapus. Pada (25/3), akun tersebut mengunggah video yang menampilkan Prabowo Subianto yang menyoroti pentingnya pers yang bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Dalam video tersebut, Prabowo mengatakan, “Walaupun kita menjunjung tinggi kebebasan pers, kita harus waspada terhadap penyebaran berita-berita yang tidak benar, hoaks, kebencian, serta upaya-upaya yang memecah belah bangsa.” Pernyataan ini seolah mengingatkan kita pada masa di mana kebebasan pers bisa dipandang sebagai ancaman, bukan hak. 

Kebebasan pers dalam konteks ini telah menjadi salah satu pilar utama bagi negara demokratis. Albert Camus, filsuf besar, pernah berkata, “Media yang bebas, tentu saja, bisa baik dan bisa buruk. Namun tanpa kebebasan pers, media akan selalu buruk.” Di Indonesia, kebebasan pers tak lepas dari hasil reformasi 1998 yang memberi ruang lebih luas bagi pers, melalui UU No. 40 tentang Pers. 

Namun, meski ada kemajuan, kenyataannya Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia terus merosot. Data terbaru dari Dewan Pers menunjukkan IKP Indonesia 2024 mencapai skor 69,36, turun 2,21 poin dari tahun sebelumnya, dan terus merosot sejak dua tahun terakhir. 

Baca Juga : Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa? 

Kekerasan terhadap Jurnalis: Ancaman yang Terus Menanti 

Statistik menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tetap menjadi masalah serius. Menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), sejak 1994 hingga April 2024, setidaknya ada 1.471 jurnalis yang terbunuh saat menjalankan tugas. Reporters Without Borders (RSF) mencatat 1.705 jurnalis dan pekerja media lainnya meninggal dunia di 94 negara pada periode yang sama. 

Ketua Divisi Riset AJI Indonesia Ahmad Arif mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis Indonesia sangat tinggi, dengan 75 persen jurnalis mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Kondisi ini semakin diperburuk dengan disahkannya revisi UU TNI yang dapat memperburuk situasi media di Indonesia. 

“Sekarang, kita kembali pada sistem swasensor dalam bentuk tekanan politik terhadap media. Seperti zaman Orde Baru, jurnalis akan mendapat telepon tengah malam, menanyakan judul berita yang akan terbit besok,” ujarnya dalam acara di Tempo Institute (19/3). 

Selain itu, kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga sangat masif. Penelitian oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) menunjukkan bahwa 85,7 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka. Penelitian terbaru yang dilakukan AJI-PR2Media pada 2023 mengungkapkan, 704 jurnalis perempuan di 34 provinsi Indonesia mengalami kekerasan, dengan 82,6 persen di antaranya pernah mengalami kekerasan fisik maupun digital. 

Baca Juga : 4 Dampak Psikologis UU TNI yang Dirasakan Rakyat Kecil 

Akhirnya, Kekuasaan atau Kebebasan? 

Media kini menjadi harapan terbesar di tengah-tengah keadilan yang terkendala. Peran besar media dalam menjaga kebebasan berbicara dan berpendapat sangat penting untuk masa depan negara ini. Namun, apakah kita akan kembali mengulang sejarah dengan membungkam kebebasan pers demi kepentingan politik sesaat? 

Kita hanya bisa berharap media tetap menjadi saluran yang mampu menyuarakan kebenaran di tengah gelombang kekerasan dan tekanan politik yang semakin intens. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
Avatar
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *