Progresif dan Kontroversial: Paus Fransiskus dan Pandangannya
Paus Fransiskus dikenal dengan kebijakan progresifnya, tapi apa yang membuat beberapa kebijakan ini memicu kontroversi?
Pada hari Jumat (6/9) Pemimpin Gereja Katolik seluruh dunia, Paus Fransiskus, sudah mengakhiri kedatangannya ke Indonesia. Selama berada di Indonesia khususnya Jakarta, Paus terus mendapat sorotan terutama sikapnya yang sederhana serta keramahaannya kepada warga Indonesia dan umat Katolik. Kedatangannya selain bertemu dengan Presiden Jokowi dan tokoh agama, Paus juga menghadiri misa agung di Gelora Bung Karno.
Paus Fransiskus dikenal sebagai salah satu pemimpin Katolik yang paling progresif dalam sejarah gereja modern. Dengan visi yang terbuka dan kebijaksanaan yang mengedepankan kemanusiaan, beliau telah mengambil langkah-langkah besar dalam memodernisasi Gereja Katolik. Namun, kepemimpinannya juga tidak lepas dari kontroversi, terutama terkait pandangannya terhadap isu-isu sosial dan politik. Dalam artikel ini, kita akan membahas sisi progresif dari Paus Fransiskus, serta kontroversi yang menyertainya.
Baca Juga: Jadi Jemaat Gereja itu Hak Universal, Termasuk bagi LGBT
Visi Progresif Paus Fransiskus
Paus Fransiskus memiliki visi yang sering dianggap progresif, terutama jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Dikutip dari Surprising Leadership Lessons From the Pope, salah satu ciri utama dari visi ini adalah penekanan yang kuat pada kemanusiaan, belas kasih, dan kesederhanaan. Paus Fransiskus berusaha mengedepankan nilai-nilai Injil dalam konteks dunia modern yang semakin kompleks. Di bawah kepemimpinannya, Gereja Katolik mencoba untuk lebih relevan dengan isu-isu sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat global.
Paus sering kali menekankan pentingnya gereja untuk tidak hanya berfokus pada dogma atau hukum, tetapi juga pada cinta kasih terhadap sesama. Baginya, gereja tidak boleh menjadi institusi yang kaku dan tertutup, melainkan sebuah tempat di mana semua orang, terutama mereka yang terpinggirkan, merasa diterima. Ia kerap mengingatkan para pemimpin gereja bahwa misi utama mereka adalah melayani, bukan menghakimi.
- Fokus pada Kemiskinan dan Keadilan Sosial
Salah satu aspek paling mencolok dari visi progresif Paus Fransiskus adalah kepeduliannya terhadap kaum miskin dan termarjinalkan. Ia menekankan bahwa gereja harus berada di garis depan dalam perjuangan melawan kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Paus Fransiskus sering kali berbicara tentang ketidakadilan ekonomi yang terjadi di seluruh dunia dan bagaimana kekayaan yang berlebihan dan ketimpangan ekonomi dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Dikutip dari Vatican News, Pope on Evangelii Gaudium: ‘Redemption marked by the poor’, dalam berbagai kesempatan, Paus mengkritik sistem kapitalisme yang menurutnya mengabaikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan demi keuntungan materi semata. Ia menyerukan perubahan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, di mana kesejahteraan bersama menjadi prioritas utama. Hal ini tercermin dalam ensikliknya Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injil), di mana ia menegaskan bahwa ekonomi yang tidak didasarkan pada solidaritas dan keadilan sosial tidak dapat dianggap benar.
- Pendekatan Inklusif Terhadap Umat Katolik
Paus Fransiskus berusaha untuk menjadikan Gereja Katolik lebih inklusif. Salah satu ciri khas dari kepemimpinannya adalah upayanya untuk menjangkau mereka yang merasa terasing dari gereja. Dikutip dari Vox, 9 things to know from Pope Francis’s big statement on the Catholic Church and marriage, dalam banyak kesempatan, ia berbicara tentang perlunya gereja untuk lebih menerima dan mendekati umat yang mungkin merasa diabaikan atau dihakimi, seperti mereka yang bercerai, komunitas LGBT, dan kaum miskin.
Misalnya, dalam pandangannya tentang komunitas LGBT, Paus Fransiskus menekankan bahwa gereja harus bersikap lebih inklusif. Meskipun ajaran tradisional gereja tidak berubah secara mendasar, beliau percaya bahwa pendekatan yang lebih penuh kasih sayang dan tanpa penghakiman adalah jalan yang lebih tepat. Kutipan terkenalnya, “Siapa saya untuk menghakimi?” menjadi simbol dari upaya beliau untuk memoderasi sikap gereja terhadap berbagai kelompok yang selama ini kurang diterima di dalam institusi tersebut.
- Kepedulian terhadap Isu Lingkungan
Paus Fransiskus juga dikenal sebagai seorang pembela lingkungan yang vokal. Melalui ensiklik Laudato Si’, beliau menyatakan bahwa umat manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga bumi dan melindunginya dari kerusakan. Visi lingkungan Paus Fransiskus sangat progresif karena mengaitkan isu ekologi dengan etika sosial. Beliau menegaskan bahwa kerusakan lingkungan secara langsung mempengaruhi orang-orang miskin dan rentan, sehingga perhatian terhadap ekologi bukan hanya masalah teknis tetapi juga masalah moral.
Dalam Laudato Si’, Paus menyerukan tindakan global yang lebih kuat dalam melawan perubahan iklim, mengkritik konsumerisme yang berlebihan, dan meminta adanya reformasi ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Pesannya adalah bahwa bumi adalah rumah kita bersama, dan merawatnya adalah tanggung jawab bersama seluruh umat manusia.
Baca Juga: Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah: “19 Tahun Kami Berjuang untuk Dapat Izin Gereja”
Kontroversi tentang Pernikahan Sesama Jenis
Isu pernikahan sesama jenis adalah salah satu topik paling kontroversial dalam kepemimpinan Paus Fransiskus. Di satu sisi, beliau dikenal dengan pendekatannya yang lebih terbuka dan penuh belas kasih terhadap komunitas LGBT, namun di sisi lain, ajaran resmi Gereja Katolik tetap menolak pernikahan sesama jenis. Sikap Paus Fransiskus dalam menangani isu ini sering kali dipandang ambigu oleh banyak pihak—membuka ruang dialog tanpa secara tegas mengubah ajaran dasar gereja.
Dikutip dari BBC, Pope Francis: Who am I to judge gay people?, Paus Fransiskus pertama kali mengejutkan dunia dengan pernyataan “Siapa saya untuk menghakimi?” ketika berbicara tentang individu homoseksual pada tahun 2013. Pernyataan ini menjadi simbol dari pendekatan gereja yang lebih terbuka dan inklusif terhadap kaum LGBT di bawah kepemimpinannya. Dalam berbagai kesempatan, Paus menekankan bahwa semua orang harus diperlakukan dengan martabat, dan bahwa gereja harus menjadi tempat yang menyambut semua orang tanpa diskriminasi.
Namun, meskipun menunjukkan belas kasih yang besar terhadap individu-individu LGBT, Paus Fransiskus tetap menjaga garis yang jelas antara menerima individu dengan kecenderungan homoseksual dan mendukung pernikahan sesama jenis.
Bagi gereja, tindakan homoseksual tetap dianggap tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, dan pernikahan hanya dianggap sah jika dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan. Tapi Menurut Paus, pasangan sesama jenis juga memiliki hak untuk memiliki perlindungan hukum, seperti hak warisan, asuransi kesehatan, dan hak-hak keluarga lainnya yang biasanya hanya diberikan kepada pasangan heteroseksual yang menikah. Paus menyatakan bahwa “Apa yang harus kita buat adalah undang-undang persatuan sipil. Mereka memiliki hak untuk dilindungi secara hukum.”
Baca Juga: Kalau Mau Bahas Misdinar Korban Kekerasan Seksual, Harus Bahas Gereja Juga
Paus Fransiskus dan Skandal Seksual Gereja
Skandal pelecehan seksual yang melibatkan para imam Katolik telah mengguncang Gereja Katolik selama beberapa dekade terakhir, meninggalkan jejak yang mendalam terhadap citra dan moralitas institusi tersebut. Ketika Paus Fransiskus terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik pada tahun 2013, salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah memperbaiki krisis yang muncul akibat skandal-skandal tersebut.
Paus Fransiskus menghadapi tekanan besar untuk menegakkan transparansi, akuntabilitas, serta menawarkan solusi yang konkret guna mencegah kejadian serupa di masa depan. Meskipun beliau telah melakukan beberapa reformasi penting, responsnya terhadap krisis ini tetap menjadi topik kontroversial, baik di kalangan internal Gereja maupun di mata publik.
Dikutip dari BBC, Pope Francis: ‘About 2%’ of Catholic clergy paedophiles, Paus Fransiskus dalam wawancaranya dengan surat kabar La Repubblica tidak segan lagi untuk mengakui kalau 2 persen dari total jumlah imam Gereja Katolik, termasuk uskup dan kardinal adalah pedofil atau setara dengan 8.000 orang.
Setelah terpilih menjadi Paus, Fransiskus menyadari bahwa masalah ini harus ditangani dengan serius. Pada tahun-tahun awal masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus menyatakan komitmennya untuk memerangi pelecehan seksual di dalam gereja dan menyebutkan bahwa gereja harus bertanggung jawab penuh atas tindakan jahat yang dilakukan oleh para anggotanya. Salah satu langkah signifikan yang diambilnya adalah membentuk komisi kepausan untuk perlindungan anak-anak yang bertujuan untuk mencegah pelecehan di masa depan.
Paus Fransiskus juga kerap menegaskan bahwa gereja harus menerapkan kebijakan “nol toleransi” terhadap pelecehan seksual. Ini berarti bahwa setiap pelaku yang terbukti melakukan pelecehan harus diberhentikan dari jabatannya dan menghadapi proses hukum. Beliau mengakui bahwa pelecehan seksual oleh para pemuka agama adalah “kejahatan serius” yang merusak iman umat Katolik di seluruh dunia.