Narasi Moralitas di Balik Tragedi Ibu di Bandung: Masalahnya Tak Sesederhana itu
*Peringatan pemicu: Kasus bunuh diri dan felisida.
Sejak kasus EN mencuat di Kabupaten Bandung, publik ramai membicarakan tragedi yang menimpa ibu dua anak ini. Surat wasiat EN. Dikutip dari Detik, EN lebih rela “pergi ke neraka” daripada melihat kedua putranya menderita. EN mengakhiri hidup bersama kedua anaknya, yang menurutnya merupakan bentuk perlindungan terakhir bagi mereka.
Respons publik di media sosial beragam, tetapi sebagian besar berfokus pada penghakiman moral terhadap tindakan EN. Ia dicap sebagai ibu gagal karena membawa anak-anaknya mati bersamanya, meskipun tekanan ekonomi, tanggung jawab perawatan, dan beban sosial turut berperan. Beberapa orang lain juga turut mengadu nasib, mencibir, dan merasa EN tidak lebih sengsara daripada hidup mereka.
Kasus EN menjadi titik masuk untuk menjawab bagaimana beban ganda, kerja perawatan tak terlihat, dan narasi moralitas, bisa memengaruhi kesehatan mental perempuan.
Baca Juga: I Talked to 1,000 People from Around the World About Eco-Anxiety: It’s A Collective Trauma
Kerja Perawatan, Tanggung Jawab Ekonomi, dan Beban Tak Terlihat
Di rumah tangga Indonesia, perempuan masih menanggung mayoritas pekerjaan domestik dan perawatan. Penelitian University of Arizona menjelaskan invisible labor mencakup tanggung jawab manajerial, emosional, dan mental yang jarang diakui sebagai pekerjaan produktif. Beban ini meliputi memastikan kesejahteraan anak, menjaga nama baik keluarga, dan menghadapi tekanan ekonomi yang tidak selalu terlihat publik.
Hariati Sinaga, dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia bilang, “Perempuan dianggap manajer rumah tangga; mereka tidak hanya mengurus rumah dan anak, tapi juga harus memastikan ekonomi keluarga tetap berjalan. Tekanan ini sering kali tidak terlihat tapi berdampak besar pada kesehatan mental.”
Hariati menambahkan, beban akumulatif ini, terutama jika disertai tanggung jawab finansial keluarga, meningkatkan risiko stres kronis. Dalam kasus EN, selain mengurus rumah dan anak, ia menghadapi utang suami yang tidak jelas penggunaannya serta tekanan dari keluarga besar.
“Akhirnya mungkin dampak dari kerja yang enggak terlihat itu sudah terakumulasi kalau aku lihat ya. Bagaimana dia juga menghadapi hutang-hutang suaminya, kemudian (merasa) menjadi beban keluarga besar gitu ya, itu pasti akan berdampak pada si perempuan yang pada akhirnya harus mencoba mencari jalan keluar juga,” terangnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan perempuan di Indonesia menghabiskan rata-rata 6,4 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga tidak berbayar, lebih dari dua kali lipat dibanding laki-laki. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun yang sama mencatat, secara global perempuan menanggung 75 persen pekerjaan perawatan tak berbayar.
Dalam konteks lokal, fenomena ini juga terhubung dengan tekanan ekonomi keluarga dan pandemi yang memengaruhi sumber pendapatan rumah tangga. Imbasnya adalah memperbesar akumulasi stres pada perempuan yang menanggung peran ganda.
Baca Juga: #MerekaJugaPekerja: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif
Stigma Moral, Akumulasi Stres, dan Solusi
Kasus EN juga menyoroti tekanan moral yang melekat pada perempuan. Masyarakat menuntut perempuan menjadi ibu sempurna, menjaga citra keluarga, mengelola ekonomi, dan memastikan pertumbuhan anak optimal. Luh Ayu Candra, psikolog klinis, menjelaskan, “Yang jadi masalah, ketika perempuan tidak diberi pilihan dan selalu dituntut untuk jadi dan bisa ini itu, mental load-nya akan berlebih dan ini bisa merujuk pada stres.”
Menurut Ayu, peran ganda yang ditanggung perempuan dapat menimbulkan stres kronis dan depresi.
“Perempuan yang menanggung peran ganda dan beban moral yang ekstrem akan mengalami stres kronis yang mengarah pada gejala depresif. Jika tidak ada dukungan, akumulasi stres ini bisa mengarah pada keputusasaan dan risiko bunuh diri.”
Surat EN menunjukkan kelelahan menghadapi utang suami, rasa bersalah karena menyusahkan keluarga, dan tekanan sosial. Semua ini mencerminkan akumulasi stres yang memuncak dalam tindakan tragis.
Alisa Bedrov dan Shelly L. Gable dari University of California, Berkeley, berjudul Thriving Together: The Benefits of Women’s Social Ties for Physical, Psychological and Relationship Health (2023) mencatat pentingnya dukungan sosial bagi perempuan untuk kesejahteraan fisik, psikologis, dan hubungan interpersonal. Biasanya perempuan sering menghadapi stres dengan cara “tend-and-befriend”, yaitu membangun dan menjaga hubungan sosial untuk saling mendukung. Semakin kuat dan dekat hubungan sosial ini, semakin baik dampaknya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan.
Baca Juga: Diskusi ‘Eksperimen Sosial Kerja Perawatan’: Semua Harus Terlibat
Dalam hal ini, solusi yang pernah ditawarkan International Labour Organization (ILO) pada 2021 lewat kerangka 5R—Recognise, reduce, redistribute, reward, dan represent—menjadi rujukan relatif penting. Kerangka ini mendorong pengakuan dan redistribusi kerja perawatan sekaligus meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. UN Women menekankan, tanpa pengakuan dan dukungan, perempuan tetap rentan terhadap tekanan ekonomi dan risiko kesehatan mental.
Kasus EN memperlihatkan risiko nyata dari akumulasi beban kerja perawatan, tekanan finansial, dan stigma moral. Jaringan sosial dan kelompok pendamping—seperti ditunjukkan Bedrov dan Gable—dapat menjadi perlindungan tambahan, sementara pengakuan terhadap kerja perawatan, dukungan sosial yang konkret, dan reformasi kebijakan jadi langkah penting untuk mencegah tragedi serupa dan membangun lingkungan yang lebih aman serta adil bagi perempuan.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
















