Environment Issues Opini

Hindari Nuansa ‘Kiamat’ dalam Kampanye Perubahan Iklim, Kita Butuh Harapan

Pesan bernada harapan tentang perubahan iklim, rupanya lebih ampuh menggugah tindakan, ketimbang pakai pendekatan 'climate doomism'.

Avatar
  • May 10, 2023
  • 5 min read
  • 1103 Views
Hindari Nuansa ‘Kiamat’ dalam Kampanye Perubahan Iklim, Kita Butuh Harapan

Belakangan, kita makin sering mendapati berita tentang perubahan iklim dengan judul-judul menyeramkan. Bahkan sekaliber laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sering memakai judul menakutkan, macam “peringatan terakhir”, “sekarang atau tidak sama sekali”.

Beberapa aktivis menyebut pendekatan ini sebagai “climate doomism”. Mereka cepat mengritik beragam konten media ataupun pesohor yang memakai pendekatan tersebut. Nuansa climate doomism menyiratkan manusia telah kalah menghadapi perubahan iklim. Yang tersisa tinggal perasaan gelisah dan tak berdaya.

 

 

Dalam survei global masif yang tayang pada 2021, sekitar 10 ribu anak dan anak muda (usia 16-25) membagikan perasaan mereka tentang kondisi lingkungan. Hasilnya mencengangkan: dari Brazil sampai Prancis, Nigeria hingga Inggris, setidaknya 84 persen dari mereka merasakan kekhawatiran yang moderat tentang perubahan iklim. Sebanyak 59 persen di antaranya mengaku sangat atau sungguh-sungguh khawatir.

Lantas, apa gunanya menakut-nakuti orang yang sudah merasa ngeri? Nuansa informasi yang kita bagikan bisa sangat memengaruhi interaksi orang dengan informasi tersebut.

Saat menerima informasi, termasuk scrolling berita, respons alamiah kita berupa “fight or flight” (melawan atau kabur) juga bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa rasa takut membuat efek suatu informasi semakin parah, menyerang seluruh indera kita.

Kita harus bereaksi. Namun, tanpa instruksi yang jelas bagaimana kita menyalurkan energi, kemungkinan kita akan kabur dari informasi itu.

Pada dekade 1960-an, psikolog sosial dari Yale University mengadakan eksperimen seputar pengaruh cerita menakutkan terhadap pengambilan keputusan. Mereka meminta sekelompok mahasiswa membaca selebaran tentang risiko infeksi tetanus. Setelah itu, mereka ditanyakan apakah ingin divaksinasi untuk mencegah risiko itu.

Ada empat versi pamflet, masing-masing memuat level penggambaran ketakutan yang berbeda seputar penyakit dan studi kasusnya. Ada beberapa selebaran yang memberikan rekomendasi detail tempat vaksinasi.

Peneliti menemukan, mahasiswa pembaca teks selebaran yang paling dramatis memiliki tingkat ketakutan, kekhawatiran, dan bahkan kemuakan yang tinggi. Baguslah, kata peneliti, mahasiswa yang ketakutan pasti akan mengikuti vaksinasi.

Namun ternyata, mayoritas mahasiswa justru tidak mau pergi ke pusat vaksinasi–padahal ada di sudut gedung. Hanya 15 persen mahasiswa yang mendatangi tempat itu. Mereka inilah yang membaca selebaran yang memuat rekomendasi jelas. Mereka jadi tahu di mana pusat vaksinasi. Melihat peta, jam operasional, sekaligus pengingat bahwa vaksinasi itu gratis.

Penelitian ini dan juga studi lainnya menunjukkan, ketakutan dapat mengalahkan kita, kecuali kita memiliki instruksi yang jelas untuk menghadapinya.

Baca juga: ‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci

Menggugah Harapan Menjadi Aksi

Saya mempelajari jurnalisme viral, upaya jurnalis membuat berita yang menjadi trending topic di media sosial sekaligus menggaet pembaca. Saya melihat beberapa langkah yang bisa digunakan agar publik tertarik membaca sebuah berita.

Perasaan terpukau, marah, dan khawatir bisa memancing orang untuk menyukai, mengeklik, berkomentar, ataupun membagikan berita. Narasumber saya bilang, reaksi “LOL (laugh out loud atau terbahak), WTF (what the fuck atau astaga), dan OMG (oh my god: ya Tuhan) bisa menjamin suatu berita di-klik.

Sebaliknya, konten yang terlalu sedih malah membuat pembaca mundur, terdiam, dan tidak membagikan ataupun mengeklik beritanya.

Ada cara lain ketimbang doomism dalam postingan tentang perubahan iklim di media sosial yang memotivasi orang untuk bertindak. Sebelum kamu membagikan link atau membagikan posting di Instagram story, ada beberapa hal yang bisa diingat.

1. Bantu pembaca ‘melihat’ dirinya sendiri

Penelitian saya mengungkapkan, cara mudah membuat suatu cerita menjadi viral adalah dengan identity spin. Artinya, ketika subjek cerita memiliki kesamaan identitas dengan pembaca– orang tua, mahasiswa, anak –dapat “melihat dirinya sendiri” dan lebih terhubung dengan cerita.

Pikirkan, postingmu menyasar siapa. Mahasiswa akan tertarik dengan cerita tentang mahasiswa usia 20 tahun yang menderita karena panas terkait iklim berpeluang menarik perhatian mahasiswa lainnya. Cerita yang lebih umum seperti “Orang kota”.

Cerita berisi kiat menghadapi eco-anxiety (keresahan lingkungan) dengan gambar perempuan muda Gen Z bagus dibagikan kepada perempuan dengan demografi yang sama.

Baca juga: Perempuan Muslim Jadi Agen Perubahan Iklim, Lelaki ‘Ngapain’?

2. Sertakan solusi sederhana

Psikolog terkenal Albert Bandura menjelaskan bahwa orang-orang menggunakan langkah kecil untuk menambah kepercayaan diri ataupun mengembangkan keahlian mereka. Saat berhasil menapaki langkah kecil, kita bisa lebih terpacu untuk terus melompat lebih tinggi dan mematok target lebih besar.

Konsep yang self-efficacy ini juga bisa diterapkan ke aksi iklim. Meski mungkin terlihat remeh, solusi-solusi individu sebenarnya bisa membuka kunci self efficacy kita.

Bayangkan, berbagi informasi bisa membantu orang-orang memulai langkah sederhana seperti belanja barang bekas, mempraktikkan penggunaan ulang barang-barang (recycle), mengubah pola makan, dan memilih politikus yang serius menangani perubahan iklim.

Membersihkan sampah pantai
Bagaimana kamu menginspirasi orang lain untuk bertindak? Jacob Lund/Shutterstock

3. Berpikiran positif

Studi menunjukkan bahwa citra dan cerita pencapaian maupun solusi bisa memantik self efficacy pembacanya. Orang-orang bisa mengubah perilaku setelah melihat panel surya dalam berbagai cerita dan berita, ketimbang melihat kepulan asap dari cerobong pabrik.

Siapapun kamu: Jurnalis, influencer, aktivis, ataupun pengguna sosial media lainnya, berbagi cerita yang mendiskusikan perkembangan lingkungan yang baik lebih merangsang tindakan orang lainnya dibandingkan topik ‘krisis’ ataupun ‘kiamat’ .

Kita tidak mengatasi situasi menakutkan dengan menambah ketakutan, melainkan dengan mengendalikan rasa takut.The Conversation

Anastasia Denisova, Senior Lecturer in Journalism, University of Westminster.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Anastasia Denisova

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *